Kamis, 07 Oktober 2010

Zikir Saat I’tidal

Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا قَالَ الْإِمَامُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Jika Imam mengucapkan: SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Allah mendengar pujian orang yang memuji-Nya), maka ucapkanlah: ‘ALLAHUMMA RABBANAA LAKAL HAMDU (Wahai Rabb kami, bagi-Mu lah segala pujian). Karena barangsiapa yang ucapannya bersamaan dengan ucapan malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Al-Bukhari no. 796)
Dari Abu Said Al-Khudri -radhiallahu anhu- dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ قَالَ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam apabila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk maka beliau biasa membaca: ROBBANAA LAKAL HAMDU MIL’US SAMAAWAATI WAL ARDHI WAMIL’U MAA SYI”TA MIN SYAY`IN BA’DU. AHLATS TSANAA`I WAL MAJDI, AHAQQU MAA QOOLAL ‘ABDU, WAKULLUNA LAKA ‘ABDUN. ALLOOHUMMA LAA MAANI’A LIMAA A’THOITA WALAA MU’THIYA LIMAA MANA’TA WALAA YANFA’U DZAL JADDI MINKAL JADDU (Ya Allah, Rabb kami, segala puji bagimu sepenuh langit dan bumi serta sepenuh sesuatu yang Engkau kehendaki setelah itu. wahai Pemilik pujian dan kemulian, itulah yang paling haq yang diucapkan seorang hamba. Dan setiap kami adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada penghalang untuk sesuatu yang Engkau beri, dan tidak ada pemberi untuk sesuatu yang Engkau halangi. Tidaklah bermanfaat harta orang yang kaya dari azab-Mu).” (HR. Muslim no. 476)
Dari Rifa’ah bin Rafi’ Az Zuraqi -radhiallahu anhu- dia berkata:
كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ قَالَ أَنَا قَالَ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
“Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk beliau mengucapkan: ‘SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Allah mendengar punjian orang yang memuji-Nya). Kemudian ada seorang laki-laki yang berada di belakang beliau membaca; RABBANAA WA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI (Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala pujian, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik, dan penuh berkah).” Selesai shalat beliau bertanya: “Siapa orang yang membaca kalimat tadi?” Orang itu menjawab, “Saya.” Beliau bersabda: “Aku melihat 33 malaikat atau lebih berebut siapa di antara mereka yang lebih dahulu untuk mencatat kalimat tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 799)

Penjelasan ringkas:
Insya Allah maksud hadits-hadits di atas sudah jelas dan tinggal diamalkan saja. Hanya saja di sini ada beberapa catatan mengenai masalah i’tidal:
a. Yang disyariatkan membaca: SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH hanyalah imam atau yang sedang shalat sendiri. Adapun makmum, maka yang dia baca adalah: ALLAHUMMA RABBANAA LAKAL HAMDU, dan zikir lain yang tersebut dalam dalil-dalil di atas. Jadi makmum tidak ikut membaca: SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH. Ini berdasarkan lahiriah hadits Abu Hurairah di atas, dan inilah insya Allah pendapat yang paling kuat di kalangan ulama.

b. Makmum tidak boleh i’tidal duluan sebelum imam tegak berdiri, hal ini juga berdasarkan hadits Abu Hurairah di atas, bahkan ada hadits khusus yang mengancam pelakunya. Insya Allah akan kami sebutkan pada pembahasan sujud.

c. Ada silang pendapat di kalangan ulama mengenai posisi kedua tangan ketika i’tidal, apakah sedekap ataukah tidak, dan ada 3 pendapat dalam masalah ini. Ala kulli hal, manapun yang salah dari ketiga pendapat ini maka tidaklah sampai dalam taraf bid’ah. Walaupun kami sendiri menguatkan pendapat Imam Ahmad yang menyatakan bahwa dalam masalah ini ada keluasan, silakan seseorang memilih apakah dia sedekap atau tidak berdasarkan dalil yang dia pandang kuat. Wallahu a’lam. Insya Allah masalah ini akan kami sebutkan secara tersendiri pada tempatnya, yassarallah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar