Kamis, 07 Oktober 2010

Air Najis & Hukum Hewan Air yang Juga Hidup di Darat

Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata:
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, dia berkata, “Wahai Rasulullah, kami orang yang sering berlayar di lautan dan kami biasa hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya maka kami akan kehausan, karenanya apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menjawab: “Dia (laut) adalah penyuci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Abu Daud no. 83, At-Tirmizi no. 66, An-Nasai no. 59, Ibnu Majah no. 380, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil no. 9)
Dari Abu Sa’id Al Khudri -radhiallahu anhu- dia berkata:
أَنَّهُ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيهَا الْحِيَضُ وَلَحْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“Pernah ditanyakan kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Bolehkah kita berwudhu dari sumur Budha’ah? Yaitu sumur yang sering masuk ke dalamnya darah haid, daging anjing, dan sesuatu yang berbau busuk.” Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menjawab, “Air itu penyuci, tidak ada sesuatu pun yang dapat menjadikannya najis.” (HR. Abu Daud no. 66, At-Tirmizi no.69, An-Nasai no. 324, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 14)

Penjelasan Fiqhiah:
Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata tentang hadits Abu Hurairah di atas“Hadits ini adalah setengah ilmu thaharah.” Dinukil dalam Al-Majmu’ (1/129) Dan Ibnu Al-Mulaqqin juga berkata dalam Al-Badr Al-Munir (2/140), “Hadits ini adalah hadits yang agung, landasan dalam ilmu thaharah, berisi hukum yang sangat banyak dan kaidah-kaidah yang penting.”
1. Perlu diketahui bahwa walaupun hadits Abu Hurairah berbicara tentang laut, akan tetapi kata البحر pada hadits tersebut mencakup laut, danau, sungai, dan semacamnya dari air-air yang jumlahnya mustabhir (melaut/sangat banyak).
Ibnu Al-Mulaqqin berkata dalam Al-Badr Al-Munir (2/40), “Al-bahr adalah air yang sangat banyak, baik yang asin maupun yang tawar.” Lihat Subul As-Salam: 1/14-15 dan Aun Al-Ma’bud: 1/152.

2. Dari kedua hadits di atas, para ulama berbeda pendapat mengenai pembagian air, apakah dia terbagi menjadi tiga atau terbagi menjadi dua:
a. Mayoritas ulama berpendapat bahwa air terbagi menjadi tiga: Thahur (suci lagi menyucikan), thahir (suci tapi tidak menyucikan), dan najis. Di antara dalil mereka adalah hadits Abu Hurairah di atas.
Sisi pendalilannya: Para sahabat mengetahui kalau air laut itu bukan najis, kalau begitu tidak diragukan kalau mereka meyakini bahwa air laut itu suci. Akan tetapi bersamaan dengan itu mereka tetap bertanya kepada Nabi -alaihishshalatu wassalam- apakah dia bisa dipakai bersuci/menyucikan atau tidak? Maka ini menunjukkan bahwa para sahabat membedakan antara air yang thahir dan air yang thahur.
b. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa air itu hanya ada dua jenis: Thahur (suci dan menyucikan) dan najis. Ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan di antara dalil mereka adalah hadits Abu Said di atas.
Sisi pendalilannya: Hadits di atas menetapkan salah satu jenis air yaitu air yang thahur, dan ijma’ juga menetapkan adanya air yang najis. Maka inilah dua jenis air yang ditetapkan oleh nash, adapun air thahir (suci tapi tidak menyucikan), maka tidak ada dalil shahih lagi tegas yang menetapkannya. Atau dikatakan: Air itu -sebagaimana yang disifati dalam hadits di atas- selalu dalam keadaan thahur, sehingga kapan ada air maka hukumnya adalah thahur kecuali ada dalil yang mengecualikannya. Dan dalil hanya mengecualikan air yang najis, yaitu yang berubah salah satu dari 3 sifatnya karena najis yang masuk ke dalamnya.
Tarjih:
Yang rajih -insya Allah- adalah pendapat Imam Ahmad, yang menyatakan bahwa air itu hanya ada dua jenis. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiah, dan Asy-Syaukani -rahimahumullah-.
Adapun dalil pendapat pertama bisa disanggah dari 3 sisi:
1. Yang mengalami kejadian ini hanyalah sebagian kecil sahabat (yang berlayar), maka bagaimana bisa pemahaman mereka bisa disama ratakan dengan semua sahabat. Maksudnya, anggaplah para sahabat yang berlayar ini memahami adanya air yang thahir tapi tidak thahur, namun apakah bisa kita katakan kalau pemahaman seperti ini juga dipahami oleh seluruh sahabat? Maka dari sisi ini masih perlu ditinjau kembali.
2. Ada kemungkinan sahabat ini mempertanyakan hukum air laut karena mereka mengetahui adanya sebagian sahabat yang tidak senang bersuci dengan air laut, sehingga tujuan mereka bertanya di sini adalah untuk mengetahui mana yang benar dalam masalah ini.
3. Nabi  tegas menyatakan bahwa air laut itu suci, padahal air laut telah mengalami perubahan karena masuknya benda suci ke dalamnya. Sementara mereka (mayoritas ulama) berdalil dengan keraguan sebagian sahabat apakah air laut itu thahur, dan keraguan mereka ini timbul karena mereka melihat air laut ini berbeda dari air pada umumnya, baik dalam hal warna, bau, dan rasanya akibat benda suci yang masuk ke dalamnya. Maka berdalil dengan ucapan Nabi -alaihishshalatu wassalam- tentu saja lebih utama dibandingkan berdalil dengan keraguan sebagian sahabat.
[Ahkam Ath-Thaharah jilid 1 hal. 51-94]

3. Hadits Abu Hurairah di atas jelas menunjukkan bahwa air laut bisa dipakai untuk bersuci secara mutlak. Ini merupakan mazhab Imam Empat dan juga merupakan pendapat Ibnu Hazm. Karenya pendapat yang menyatakan dilarangnya bersuci dengan air laut adalah pendapat yang tertolak, walaupun pendapat ini telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan Abdullah bin Amr bin Al-Ash. (Sunan At-Tirmizi no. 69)
Karenanya air yang bercampur dengan sesuatu yang asin, baik sesuatu itu bentuknya cair maupun padat (garam), baik dicampurkan dengan sengaja maupun tidak, air yang seperti ini juga tetap boleh dipakai bersuci sebagaimana halnya air laut. Ini adalah mazhab Al-Hanafiah, Al-Malikiah, dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiah dalam Majmu’ Al-Fatawa (21/24)

4. Hadits itu Juga menunjukkan bahwa air al-ajin syah dipakai untuk bersuci. Air al-ajin adalah air yang mengalami perubahan sifat karena lamanya dia berdiam pada suatu tempat.
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Dari hadits ini juga dipetik pelajaran bahwa jika sifat sebuah air berubah karena lamanya dia berada pada suatu tempat, maka perubahan itu tidak berpengaruh padanya (yakni: Tetap bisa menyucikan).” Fath Zil Jalali wal Ikram (1/45) Semisal dengannya air yang tinggal lama di dalam gentong atau bak yang tertutup sehingga salah satu dari sifatnya berubah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Adapun air yang berubah sifatnya karena lamanya dia berdiam dan menetap di suatu wadah/tempat, maka dia tetap berada di atas sifat thahurnya (penyuci), berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Al-Fatawa Al-Kubra: 1/6)
Nukilan ijma’ juga dinukil oleh Ibnu Al-Mundzir dalam Al-Ausath (1/259) dan Ibnu Muflih dalam Al-Mubdi’ (1/36) hal. 121-124

5. Hadits itu juga menunjukkan thahurnya (bisa dipakai bersuci) air yang panas, baik yang terkena panas matahari tanpa disengaja (seperti air sungai, air laut, dan semacamnya) maupun air yang sengaja dipanaskan, baik dipanaskan dengan sinar matahari maupun dengan cara direbus. Dan ini adalah hal yang disepakati oleh para ulama, walaupun mereka berbeda pendapat dalam hal apakah makruh atau tidak?
Yang benarnya dia tidaklah makruh digunakan karena semua hadits yang dipakai ulama yang memakruhkannya adalah lemah. Ini adalah mazhab Al-Hanabilah dan Azh-Zhahiriah, serta yang dirajihkan oleh Imam An-Nawawi -rahimahumullah-. Hal.397-400

6. Tatkala Nabi -alaihishshalatu wassalam- menyatakan air laut itu adalah penyuci padahal terkadang sifatnya berubah dikarenakan adanya zat-zat suci yang masuk ke dalamnya, maka ini menunjukkan bahwa jika ada air yang kemasukan benda suci lalu benda tersebut tidak menghilangkan penamaannya sebagai ‘air’ -walaupun telah merubah sifat air tersebut-, maka air ini tetap bisa dipakai bersuci.
Ini adalah mazhab Al-Hanafiah, dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla masalah no. 147 dan Ibnu Taimiah dalam Al-Fatawa (21/24). Di antara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah hadits Abu Said di atas yang menunjukkan semua air itu thahur (penyuci) dan juga hadits Ummu Hani` dimana dia berkata, “Nabi  dan Maimunah pernah mandi bersama dari satu baskom yang di dalamnya terdapat bekas adonan tepung.” (HR. Ahmad: 6/341,342). Dan juga hadits Ibnu Abbas dan hadits Ummu Athiyah yang keduanya diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, yang pada keduanya disebutkan bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan untuk memandikan jenazah dengan air yang dicampur dengan daun bidara. Bahkan dalam hadits Ummu Athiyah, beliau memerintahkan untuk menambahkan kapur ke dalam air tersebut. Dan sudah dimaklumi bahwa bidara dan kapur pasti akan merubah bau, rasa, dan warna air tersebut -terlebih lagi jika airnya tidak terlalu banyak-, akan tetapi bersamaan dengan itu Nabi -alaihishshalatu wassalam- tetap menggunakannya untuk mandi junub dan memerintahkan untuk memandikan jenazah dengannya.

7. Imam Al-Khathathabi berkata dalam menjelaskan hadits Abu Said di atas dalam Ma’alim As-Sunan (1/72), “Mungkin banyak orang yang akan menyangka -jika dia mendengar hadits ini- bahwa hal itu (membuang najis ke dalam sumur) merupakan kebiasaan mereka dan bahwa mereka melakukannya secara sadar dan sengaja. Padahal sangkaan seperti ini tidak boleh disangkakan kepada kafir zimmi bahkan tidak pula kepada penyembah berhala, terlebih lagi mau disangkakan pada seorang muslim. Hal itu karena sudah menjadi adat orang-orang Arab -baik yang muslim maupun yang kafir- dari dahulu hingga sekarang untuk senantiasa membersihkan dan menjaga air jangan sampai terkena najis. Maka bagaimana bisa hal ini disangkakan kepada manusia di zaman itu (para sahabat), padahal mereka adalah penghuni tingkatan tertinggi dalam agama dan jamaah kaum muslimin yang paling utama. Apalagi air di negeri mereka sulit ditemukan dan kebutuhan mereka terhadapnya sangat mendesak, maka bagaimana mungkin mereka memperlakukan dan menghinakan air seperti itu. Sungguh Rasulullah  telah melaknat orang yang buang air di tempat-tempat berkumpul dan mengalirnya air, maka bagaimana lagi dengan mereka yang menjadikan mata-mata air dan tempat-tempat berkumpulnya air sebagai tempat penampungan najis dan tempat untuk melemparkan kotoran?! Tentu saja hal ini tidak sejalan dengan kebiasaan mereka.
Hanya saja apa yang tersebut dalam hadits itu bisa terjadi karena sumur budha’ah ini terletak di tempat yang rendah, sehingga aliran air membawa kotoran dari jalanan dan halaman/tanah lapang yang ada lalu air tersebut menyeret dan menjatuhkan kotoran tersebut ke dalam sumur itu. AKan tetapi tatkala air yang terdapat dalam sumur itu sangat banyak maka kotoran yang jatuh ke dalamnya tidaklah mempengaruhi dan merubahnya.” Lihat juga Tuhfah Al-Ahwadzi (1/170)

8. Berdasarkan keterangan di atas maka jika ada air yang jumlahnya mustabhir (sangat banyak) lalu dia kemasukan najis maka air tersebut tetap suci dan najis yang masuk ke dalamnya tidaklah memperngaruhi dan merubahnya. Semisal air danau, air sungai, air rawa, dan semacamnya. Ibnu Daqiq Al-Id berkata dalam Al-Ihkam (1/126-127) tentang hadits yang melarang kencing di dalam air yang tidak mengalir, “Ketahuilah bahwa makna hadits ini harus dikeluarkan dari makna lahiriahnya dengan pengkhususan atau pembatasan. Karena para ulama telah bersepakat bahwa air yang jumlahnya mustabhir lagi sangat banyak junlahnya, najis tidak bisa mempengaruhinya.” Ijma’ juga dinukil oleh Ibnu Al-Mundzir dalam Al-Ausath (1/260-261)

9. Juga berdasarkan keterangan dalam hadits Abu Said di atas bisa kita katakan bahwa jika ada air -sedikit maupun banyak- yang kemasukan najis akan tetapi tidak merubah salah satu dari ketiga sifatnya maka air itu tetap suci lagi menyucikan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Al-Mundzir.

10. Hadits Abu Said di atas dikhususkan oleh ijma’ yang menyatakan adanya air yang najis. Para ulama telah bersepakat bahwa jika air kemasukan najis lantas najis tersebut merubah salah satu dari ketiga sifat air tersebut -yakni baunya, rasanya, dan warnanya-, maka air tersebut menjadi air yang najis. Di antara para ulama yang menukil ijma’ ini adalah: Asy-Syafi’i dalam Al-Umm (8/612), Al-Baihaqi dalam As-Sunan (1/260), Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan (4/59), Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar (1/12), Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/332), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1/1/31), An-Nawawi dalam Al-Mamu’ (1/212), Ibnu Taimiah dalam Al-Fatawa (21/504), Ibnu Al-Mundzir dalam Al-Ausath (1/260), Ibnu Al-Qayyim dalam Tahdzib As-Sunan (1/67), dan Al-Iraqi dalam Tharh At-Tatsrib (2/32)
Karenanya hukum asal air itu suci dan tidak ada sesuatu yang bisa menajisinya kecuali jika ada najis yang masuk ke dalamnya lalu bau atau rasa atau warnanya berubah, maka air tersebut berubah menjadi najis.

11. Hadits Abu Hurairah di atas tegas menunjukkan bahwa semua hewan laut adalah halal untuk dimakan baik dia masih hidup lalu disembelih maupun dia ditemukan sudah mati (bangkai). Dan telah kami sebutkan di atas bahwa kata laut di sini juga mencakup danau, sungai, dan semacamnya yang airnya berjumlah sangat banyak.
Adapun hewan air tapi juga bisa hidup di darat, maka berikut kami nukilkan pembahasan Asy-Syaikh Saleh Al-Fauzan dalam kitab Al-Ath’imah:
Masalah ketiga: Hukum memakan hewan yang hidup di daratan dan lautan.
Adapun hewan air yang hidup di darat seperti kodok, kura-kura, kepiting dan penyu, maka mereka berselisih dalam penghalalannya:
Imam Malik berpendapat halalnya secara mutlak berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut,” dan selain binatang buruannya, tidak ada makanan dari laut kecuali bangkainya, sebagaimana yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Juga sabda beliau , “Laut itu penyuci airnya dan halal bangkainya,” dalam hadits ini ada penegasan bahwa bangkai laut adalah halal, sehingga dia mencakup semua bangkai yang ada di laut. [Tafsir Asy-Syinqithi (1/91-93) secara ringkas dan lihat juga Asy-Syarhil Kabir karya Ad-Dardir (2/115)]
An-Nawawi menukil (Al-Majmu’: 9/32-33) bahwa yang shahih dan menjadi patokan dalam mazhab Asy-Syafi’iyah adalah halalnya bangkai semua yang hidup di air kecuali kodok. Adapun apa yang disebutkan oleh al-ashhab (penganut mazhabnya) atau sebagiannya bahwa kura-kura, ular laut dan kera air haram, maka itu diarahkan jika dia mati di air selain air laut. Burung air seperti bebek, angsa dan semisalnya adalah halal -sebagaimana yang telah berlalu- tapi bangkainya tidak halal tanpa ada perselisihan, bahkan disyaratkan dia harus disembelih. Pengarang Mughnil Muhtaj menambahkan dengan mengatakan, “Ini didukung oleh ucapan Asy-Syamil setelah dia membawakan nash-nash yang menghalalkannya, “Ashhab kami atau sebagiannya mengatakan: Semua yang ada padanya adalah halal kecuali kodok karena adanya larangan untuk membunuhnya.”
Adapun pendapat Al-Hanabilah dalam masalah ini, maka sebagaimana yang pengarang Al-Mughni (beserta Asy-Syarh Al-Kabir: 11/83) nukilkan untuk kita dengan ucapannya, “Semua hewan laut yang hidup di darat hukumnya tidak halal untuk dimakan tanpa disembelih terlebih dahulu, seperti burung-burung air, kura-kura dan anjing laut, kecuali yang tidak mempunyai darah seperti kepiting, maka dia halal untuk dimakan tanpa perlu disembelih.” Selesai
Adapun Al-Hanafiah maka mazhab mereka dibawakan oleh pengarang Bada`i’ Ash-Shana`i’ (5/35) ketika dia berkata, “Semua hewan yang hidup di laut haram untuk dimakan kecuali ikan karena dia halal untuk dimakan, kecuali ath-thafi. Ini adalah pendapat ashhab kami .”
Maka dari pemaparan yang ringkas ini, kita bisa menarik kesimpulan mengenai pendapat-pendapat keempat mazhab dalam masalah hukum memakan hewan laut yang hidup di darat sebagai berikut:
1. Menurut Al-Malikiah, dia halal secara mutlak.
2. Menurut Asy-Syafi’iyah, halal secara mutlak kecuali kodok dan juga kecuali burung air, karena dia tidak halal tanpa penyembelihan.
3. Menurut Al-Hanabilah, tidak halal secara mutlak kalau tanpa penyembelihan, selain kepiting karena dia tidak mempunyai darah.
4. Menurut Al-Hanafiah, semuanya tidak halal kecuali ikan.
[Selesai dari kitab Al-Ath’imah pada bab kedua, pembahasan kedua, masalah ketiga]
Kami katakan: Yang lebih kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan halalnya memakan semua hewan air yang juga hidup di darat kecuali kodok karena adanya larangan untuk membunuhnya (HR. Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasai). Adapun burung air -seperti bebek dan angsa-, maka dia tidak boleh dimakan kecuali setelah di sembelih.

12. Pelajaran lain yang terdapat pada hadits Abu Hurairah di atas:
a. Bolehnya berlayar mengarungi lautan, kecuali jika ada bahaya yang mengancam di lautan berupa perompak atau cuaca yang buruk.
b. Jika seorang musafir tidak mempunyai air kecuali yang untuk dia minum, maka dia bolehg bertayammum ketika akan mengerjakan shalat.
c. Disyariatkan seorang mufti (pemberi fatwa) atau alim agar melebihkan jawaban dari pertanyaan penanya jika dia melihat ada maslahat di baliknya. Tatkala sahabat ini bertanya tentang hukum air laut, maka beliau menjawab pertanyaannya dan menambahkan tentang hukum bangkai laut, karena mereka sering berlayar sehingga sangat membutuhkan hukum tentang bangkai laut.

Demikian pembahasan ringkas mengenai kedua hadits di atas, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar