Kamis, 07 Oktober 2010

Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar

مَثَلُ الْقَائِمِ فِي حُدُوْدِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيْهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوْا عَلَى سَفِيْنَةٍ, فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا, فَكَانَ الَّذِيْنَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوْا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ, فَقَالُوْا : لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا, فَإِنْ يَتْرُكُوْهُمْ وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا, وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعًا

“Perumpamaan orang yang tegak melaksanakan aturan-aturan Allah dan orang yang melanggarnya seperti sebuah kaum yang mengadakan undian di atas sebuah perahu ; (maka) sebagian mereka mendapatkan bagian atasnya dan sebagian yang lain bagian bawahnya. Adapun orang yang berada di bawah jika mereka mau mengambil air, mereka melalui orang-orang yang berada di atas mereka, maka merekapun berkata, “Seandainya kami membuat sebuah lobang pada bagian kami sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami”. Jika mereka (orang-orang yang di atas) membiarkan mereka (orang-orang yang di bawah) dan apa yang mereka inginkan maka mereka akan binasa (tenggelam) seluruhnya dan jika mereka (orang-orang yang di atas) mengambil tangan-tangan mereka (orang-orang yang di bawah) maka mereka akan selamat seluruhnya”.

Takhrij Hadits :
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhary (2361) dan Imam At-Tirmidzy (2173) dari jalan Asy-Sya’by ‘Amir bin Syarahil dari sahabat An-Nu’man bin Basyir -radhiallahu ‘anhuma-.
Imam At-Tirmidzy berkata setelah meriwayatkan hadits di atas, “Ini adalah hadits hasan shohih” dan haditsnya dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany rahimahullah dalam Ash-Shohihah no. 69.

Kosa Kata Hadits :
1. Sabda beliau [“yang tegak melaksanakan aturan-aturan Allah”], mereka adalah orang yang mengingkari kemungkaran dan yang tegak menolak dan menghilangkan kemungkaran tersebut.
2. Sabda beliau [“aturan-aturan Allah”], yang diinginkan dengannya adalah semua perkara yang Allah larang.
3. Sabda beliau [“orang yang melanggarnya”], mereka adalah orang yang mengerjakan kemungkaran tersebut.
4. Sabda beliau [“berlomba”] yakni mengadakan undian, siapa di antara mereka yang berada di bagian atas perahu dan siapa di antara mereka yang tinggal di bagian bawah.
5. Sabda beliau [“mengambil tangan-tangan mereka”], maksudnya mereka (orang-orang yang di atas) melarang dan mencegah mereka dari apa yang mereka inginkan berupa membocori perahu.
[Lihat: Riyadhus Sholihin dan syarahnya Bahjatun Nazhirin hal. 278]

Syarh:
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdillah Ar-Rojihy -hafizhohullah- berkata di dalam kitab beliau Al-Qaulul Bayyinul Azhhar hal. 26, “Hadits ini adalah hadits yang agung dan memiliki kedudukan yang mulia, para ulama telah mengambil darinya banyak faidah yang agung dalam masalah amar ma’ruf dan nahi mungkar”.

A. Definisi Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Sebelum kita berbicara lebih jauh mengenai amar ma’ruf dan nahi mungkar, maka terlebih dahulu kita akan berbicara mengenai definisi amar ma’ruf dan nahi mungkar. Berikut uraiannya:
Makna ma’ruf secara bahasa kebanyakannya berputar di atas makna ‘semua perkara yang diketahui dan dimaklumi oleh manusia satu dengan yang lainnya dan mereka tidak mengingkarinya’. Adapun secara istilah, ma’ruf bermakna ‘semua perkara yang diketahui, diperintahkan, dan dipuji pelakunya oleh syari’at, maka masuk di dalamnya semua bentuk ketaatan, dan yang paling utamanya adalah beriman kepada Allah -Ta’ala- dan mentauhidkan-Nya’.
Mungkar secara bahasa, maka maknanya kebanyakan berputar di atas makna ‘semua perkara yang tidak diketahui dan tidak diakui oleh manusia dan mereka mengingkarinya’. Adapun secara istilah, mungkar adalah ‘semua perkara yang diingkari, dilarang, dicela, dan dicela pelakunya oleh syari’at, maka masuk di dalamnya semua bentuk maksiat dan bid’ah, dan yang paling jeleknya adalah kesyirikan kepada Allah -’Azza wa Jalla-, mengikari keesaan-Nya dalam peribadahan atau ketuhanan-Nya atau pada nama-nama dan sifat-sifatNya’.
[Lihat Al-Qaulul Bayyinul Azhhar hal. 8-12]

B. Dalil-Dalil Seputar Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
1. Surah Ali ‘Imran ayat 104.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
2. Surah Ali ‘Imran ayat 110.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.
3. Surah An-Nisa` ayat 114.
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia”.
4. Surah Al-Ma`idah ayat 78-79.
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ. كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
“Telah dila`nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan `Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir ‘alaihis salam-Sa’dy -rahimahullah- berkata menafsirkan ayat di atas, “Yakni, mereka melakukan kemungkaran dan mereka tidak saling melarang (dari kemungkaran), maka bersyerikatlah (dalam hal dosa) antara orang yang mengerjakannya dengan selainnya dari orang yang diam (baca: tidak mau) melarang dari yang mungkar padahal dia mampu. Ini menunjukkan akan penyepelean dia terhadap perintah Allah dan menunjukkan bahwa bermaksiat kepada-Nya adalah perkara yang ringan atas mereka, seandainya pada diri-diri mereka ada pengagungan terhadap Tuhan mereka, maka tentunya mereka akan cemburu terhadap perkara-perkara yang Allah haramkan dan mereka akan marah karena kemarahan-Nya”. Lihat Taisirul Karimir Rahman.
5. Surah Al-A’raf ayat 165.
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik”.
Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Maka Allah menegaskan akan selamatnya orang-orang yang melarang (dari kemungkaran), binasanya orang-orang yang zholim, dan Allah diam (baca: tidak mengomentari) orang-orang yang diam (tidak melarang dari kemungkaran) (1), karena balasan itu disesuaikan dengan jenis amalan. Mereka ini (golongan yang ketiga), mereka tidak pantas mendapatkan pijian sehingga harus dipuji dan mereka juga tidak melakukan dosa sehingga harus dicela. Bersamaan dengan itu, para imam berselisih tentang mereka, apakah mereka termasuk dari yang binasa atau yang selamat? Ada dua pendapat”.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rojihy -hafizhohullah- berkata dalam Al-Qaulul Bayyinul Azhhar hal. 46-47,“Yang nampak bahwa mereka (golongan ketiga) termasuk ke dalam golongan yang selamat, karena Allah telah mengkhususkan kebinasaan hanya kepada orang-orang yang zholim sedangkan mereka bukanlah orang-orang yang zholim dengan dua alasan:
Pertama: Sesungguhnya amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah fardhu kifayah yang jika sudah ada sebahagian orang yang menegakkannya maka gugurlah (kewajiban) dari yang lainnya. Maka mereka (golongan ketiga) mencukupkan diri (2) dengan pengingkaran mereka (golongan yang selamat) atas mereka (golongan yang binasa)”.
Kedua: Mereka (golongan ketiga) menampakkan kemarahan mereka atas mereka (golongan yang binasa) yang menunjukkan bahwa mereka (golongan ketiga) sangat membenci apa yang mereka (golongan yang binasa) perbuat, dengan ucapan mereka kepada orang-orang yang melarang, “Mengapa kalian menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?”. Maka mereka (golongan ketiga) tidak bertoleransi dan tidak pula diam atas mereka (golongan yang binasa), akan tetapi mereka hanya mencukupkan diri (dari melerang) karena sudah ada orang lain yang menegakkan kewajiban yang agung ini”.
6. Surah Al-Anfal ayat 25
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian”.
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy -rahimahullah- berkata, “Yang benar tentang maknanya bahwa yang diinginkan dengan fitnah yang umum menimpa orang zholim dan selainnya (yang tidak zholim) adalah jika manusia melihat kemungkaran lantas mereka tidak mengubahnya maka Allah akan meratakan siksaan atas mereka seluruhnya, yang sholih maupun yang tholih (tidak sholih). Inilah yang ditafsirkan oleh sekelompok ahlil ilmi, dan hadits-hadits yang shohih menjadi bukti akan hal tersebut, sebagaimana yang telah kami bawakan sebahagian di antaranya”(3).
7. Hadits Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al-Khudry -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’.
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya, jika dia tidak sanggup maka dengan lisannya, jika dia tidak sanggup maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemah keimanan”. (HR. Muslim)
8. Hadits Hudzaifah ibnul Yaman -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’.
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
“Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian betul-betul harus memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar ataui Allah betul-betul akan mengirimkan kepada kalian siksaan dariNya, lalu kalian berdo’a kepada-Nya dan Dia tidak mengabulkan do’a kalian”. (HR. At-Tirmidzy dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 7070)
9. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’.
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
“Tidak ada seorangpun nabi sebelumku yang Allah utus kepada suatu ummat kecuali dia mempunyai penolong dan sahabat di antara ummatnya, yang mereka ini mengambil sunnahnya dan menjalankan perintahnya. Kemudian akan datang setelahnya generasi penerus yang mereka ini mengucapkan apa-apa yang mereka tidak kerjakan dan mereka mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Maka barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia adalah mukmin, barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya maka dia adalah mukmin, barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya maka dia adalah mukmin, dan tidak ada setelah itu keimanan walaupun sebesar biji khardal”. (HR. Muslim)
10. Hadits Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’.
مَا مِنْ رَجُلٍ يَكُونُ فِي قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا عَلَيْهِ فَلَا يُغَيِّرُوا إِلَّا أَصَابَهُمْ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَمُوتُوا
“Tidak ada seorangpun yang berada di tengah-tengah sebuah kaum yang diperbuat di tengah-tengah mereka kemaksiatan, mereka mampu untuk mengubahnya akan tetapi mereka tidak mau mengubahnya kecuali Allah akan menimpakan kepada mereka siksaan sebelum mereka meninggal”. (HR. Abu Daud dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih Sunan Abi Daud 3/819/4339)
11. Hadits Abu Bakr Abdullah bin ‘Utsman As-Siddiq -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’:
مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي ثُمَّ يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لَا يُغَيِّرُوا إِلَّا يُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ
“Tidak ada satu kaum pun yang diperbuat di tengah-tengah mereka sebuah kemaksiatan, kemudian mereka sanggup untuk mengubahnya akan tetapi mereka tidak mengubahnya kecuali Allah akan meratakan kepada mereka seluruhnya siksaan dari-Nya”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 1974)

C. Hukum Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Dari seluruh dalil-dalil yang telah kami paparkan di atas -dan juga dalil-dalil lain yang semakna dengannya- nampak jelas bagi kita bahwa hukum dari amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah wajib.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata, “Amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah (suatu prkara) yang dengannyalah Allah menurunkan kitab-kitab-Nya, dengannyalah Dia mengutus para rasul-Nya, dan dia adalah bahagian dari agama”.(4)
Dan Imam Al-Qurthuby -rahimahullah- menyatakan, “Amar ma’ruf dan nahi mungkar, keduanya adalah perkara yang wajib pada umat-umat terdahulu, dan dia adalah tujuan kerasulan dan khilafah kenabian”.(5)
Dan dalam (6/253) beliau menukil ucapan Ibnu ‘Athiyyah dengan nash sebagai berikut, “Dan ijma’ menyatakan bahwa nahi mungkar adalah kwajiban bagi yang mampu dan merasa aman dari mudharat atas dirinya dan atas kaum muslimin. Jika dia takut (akan terkena midharat) maka dia mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan serta tidak bergaul dengan pelaku kemungkaran tersebut”.
Dan nukilan ijma’ akan wajibnya amar ma’ruf dan nahi mungkar juga dinukil oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr sebagaimana dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (4/48), Imam Ibnu Hazm dalam Al-Fishol fil Milal wan Nihal (5/19), Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (2/22), dan Abu Bakr Al-Jashshosh dalam Ahkamul Qur`an (2/486).
Hanya saja mereka berselisih, apakah hukumnya fardhu ‘ain atau fardhu kifayah? Dan yang merupakan pendapat jumhur ulama, dan ini pula yang dikuatkan oleh Imam Al-Qurthuby, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qudamah, An-Nawawy, dan Asy-Syaukany adalah pendapat yang menyatakan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar hukumnya adalah fardhu kifayah.
Imam Abu Bakr Al-Jashshosh berkata dalam Ahkamul Qur`an (2/29) mengomentari ayat ke-104 dari surah Ali ‘Imran di atas, “Ayat ini telah mencakup dua makna, yang pertama: wajibnya amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan yang lainnya (kedua): bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah, jika sebagian di antara mereka telah mengerjakannya maka gugurlah (kewajiban tersebut) dari yang lainnya”.
Dan termasuk dalil yang menguatkan pendapat ini adalah firman Allah -Ta’ala-:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS. At-Taubah : 122)
Sisi pendalilannya, bahwa bertafaqquh dalam agama Allah -’Azza wa Jalla- adalah fardhu kifayah, karena Allah -’Azza wa Jalla- meminta sebahagian kaum mu`minin untuk keluar (berperang) dan Dia tidak meminta seluruh kaum mu`minin untuk keluar menuntut ilmu, dan tanggung jawab untuk memperingatkan dan menyampaikan ajaran agama terletak atas mereka yang bertafaqquh dan yang menuntut ilmu, bukan atas seluruh kaum muslimin. Lihat Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (8/293) dan Fathul Qodir (2/434).

Faidah:
1. Imam An-Nawawy -rahimahullah- menyatakan di dalam Zawa`idur Raudhoh hal. 22, “Orang yang tegak melaksanakan (amalan yang) fardhu kifayah memiliki keistimewaan (kelebihan) dibandingkan orang yang tegak melaksanakan (amalan yang) fardhu ‘ain, ditinjau dari sisi bahwasanya dia (orang yang mengerjakan fardhu kifayah) telah menggugurkan dosa dari dirinya dan dari kaum muslimin. Dan imam Al-Haromain telah berkata dalam Al-Ghiyats, [“Yang saya lihat bahwa orang yang tegak melaksanakan fardhu kifayah lebih afdhol daripada (orang yang melaksanakan yang) fardhu ‘ain, karena jika orang yang mengerjakan fardhu ‘ain ini meninggalkan amalan tersebut maka yang mendapat dosa hanya dirinya, dan seandainya dia menlaksanakannya maka gugurnya kewajiban hanya terkhusus pada dirinya. Adapun (orang yang melaksanakan yang) fardhu kifayah, jika dia meninggalkannya maka semuanya akan berdosa, dam jika dia melaksanakannya maka akan gugur dosa dari seluruhnya, maka pelakunya (fardhu kifayah) berusaha untuk menjaga umat dari dosa. Dan tidak ada keraguan akan lebih utamanya orang yang menempati tempatnya kaum muslimin seluruhnya dalam menegakkan suatu perkara penting dari perkara-perkara penting dalam agama, wallahu A’lam”. Lihat Tanbihul Ghofilin hal. 17-18.
2. Walaupun hukum asal dari amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah fardhu kifayah, akan tetapi dia bisa menjadi fardhu ‘ain dalam beberapa keadaan, yaitu:
a. Bagi al-muhtasib. Muhtasib adalah suatu lembaga khusus yang dibentuk atau ditinjuk oleh pemerintah yang syah untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar di suatu negara.
Imam Al-Mawardy berkata dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah hal. 391, “Sesungguhnya, kewajibannya adalah ‘ain bagi al-muhtasib ...”.
b. Bersendirian dalam memiliki suatu ilmu.
Imam An-Nawawy berkata, “Sesungguhnya amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah fardhu kifayah, akan tetapi terkadang dia bisa menjadi fardhu ‘ain jika dia berada pada suatu perkara (6) yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia”. Lihat Syarh Muslim (2/23)
c. Terkhususnya kemampuan atas orang-orang tertentu.
Imam An-Nawawi -rahimahullah- menyatakan, “Amar ma’ruf dan nahi mungkar terkadang bisa menjadi fardhu ‘ain jika dia berada pada suatu perkara yang tidak ada yang mampu untuk mengangkatnya kecuali dia, misalnya seseorang yang melihat istrinya atau anaknya atau budaknya berbuat kemungkaran atau menyepelekan kebaikan”.(7)
d. Ketika keadaan berubah.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz -rahimahullah- berkata, “... Maka ketika berkurangnya da’i dan bertambah banyaknya kemungkaran, dan ketika kebodohan (terhadap agama) mendominasi -seperti keadaan kita di zaman ini-, maka berdakwah (hukumnya) adalah fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya”.(8)

Sebagaimana kewajiban-kewajiban syari’at yang lain, jika dia ditinggalkan maka akan mengakibatkan banyak kejelekan dan kerusakan. Demikian halnya dengan kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar, kapan ditinggalkan padahal dia mampu untuk melaksanakannya, maka akan timbul kejelekan dan kerusakan yang banyak. Berikut di antaranya:
1. Orang yang Meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar padahal dia mampu adalah orang yang telah berbuat maksiat, walaupun dia sendiri tidak mengerjakan kemungkaran tersebut, karena meninggalkan maksiat dan melarang dari yang mungkar keduanya merupakan kewajiban dalam agama yang jika ditinggalkan salah satunya maka berarti dia telah berbuat maksiat kepada Tuhannya.
2. Diam dari kemungkaran menunjukkan akan penyepelean dia terhadap maksiat dan menganggap enteng perintah-perintah dan larangan-larangan Allah.
3. Orang yang Meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar telah kehilangan kecemburuan terhadap larangan-larangan Allah, dan ini merupakan tanda yang besar akan kurangnya pengagungan dia terhadap Allah -Ta’ala-.
4. Diam dari kemungkaran mendorong para pelaku maksiat dan kefasikan untuk memperbanyak maksiat dan kefasikan mereka, hal ini dikarenakan tidak ada seorangpun yang mencegah atau minimal menasehati mereka sehingga mereka (para pelaku maksiat) bertambah keberanian dan kekuatannya, dan sebaliknya keberanian dan kekuatan ahlil iman akan melemah.
5. Meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar akan menyebabkan sirnanya imu dan merebaknya kebodohan tentang agama. Karena maksiat, jika dia dilakukan terus-menerus oleh banyak manusia tanpa adanya pengingkaran dari orang-orang yang berilmu, maka orang yang bodoh akan menyangkan bahwa perbuatan tersebut bukanlah maksiat bahkan terkadang dia menganggapnya sebagai suatu ibadah yang baik. Dan kerusakan apakah yang lebih besar daripada meyakini halalnya apa yang Allah haramkan, atau memandang benar suatu kebatilan?!
6. Sesungguhnya mendiamkan kemungkaran ketika para pelaku maksiat melakukan kemaksiatan secara terang-terangan merupakan persetujuan, izin, serta seruan untuk mencontoh dan mengikuti pelaku maksiat tersebut.
Karena banyaknya kerusakan yang ditimbulkan dari mendiamkan kemungkaran, maka wajar jika mendiamkan kemungkaran -padahal dia mampu untuk mencegah atau menghilangkannya- mengharuskan adanya siksaan hissiah (yang dirasakan oleh panca indera) atau ma’nawiyah. Dan sebesar-besar siksaan yang menimpa manusia adalah siksaan ma’nawiyah berupa matinya hati sehingga dia tidak mengetahuinya baiknya kebaikan dan mungkarnya kemungkaran, tidak membenarkan kebenaran dan tidak menyalahkan kebatilan, tidak bisa membedakan antara yang baik dengan yang jelek. Adapun siksaan hissiyah berupa (kebinasaan) pada harta, jiwa, dan anak-anak, atau dengan dikuasakannya musuh atas mereka.
[Lihat Al-Qaulul Bayyinul Azhhar hal. 118-119]

D. Syarat-Syarat Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Perlu diketahui bahwasanya hukum wajib yang telah dijelaskan di atas, nantilah berlaku jika telah terpenuhi syarat-syarat terlaksananya amar ma’ruf dan nahi mungkar. Imam Ibnun Nuhhas -rahimahullah- berkata dalam Tanbihul Ghofilin hal. 33, “Disyaratkan akan wajibnya amar ma’ruf dan nahi mungkar 3 syarat: Islam, mukallaf, dan mempu”. Berikut uraiannya :
1. Islam. Karena tujuan amar amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah untuk menegakkan syari’at Allah dan untuk menyuruh manusia melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan hal ini tidak boleh dikerjakan oleh seorangpun kecuali oleh seorang yang muslim.
2. Mukallaf, dalam artian memiliki akal dan telah balig. Akan tetapi jika ada anak kecil yang mengingkari kemungkaran, maka hal itu diperbolahkan dan tidak boleh ada seorangpun yang melarangnya, karena hal itu adalah ibadah dan dia berhak untuk melakukannya walaupun belum wajib atasnya. Demikian pula wajib atas budak dan wanita jika memiliki kemampuan.
3. Mampu. Ini merupakan syarat wajib untuk seluruh ibadah, karena Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah menegaskan di dalam firman-Nya:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a), [“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”]”. (QS. Al-Baqarah : 286)
Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata menafsirkan ayat di atas, “Yaitu tidak ada seorangpun yang dibebani melebihi kemampuannya, dan ini adalah dari kelembutan (Allah) -Ta’ala- kepada para makhluk-Nya, kasih sayang-Nya kepada mereka, dan kebaikan-Nya kepada mereka”.(9)
Bagi orang yang tidak bisa membela dirinya jika ditimpakan kepadanya mudarat, apakah karena tubuhnya yang lemah atau karena tidak memiliki kekuatan atau karena yang lainnya, maka di sini ada beberapa keadaan:
a. Dia yakin (10) bahwa ucapannya tidak bermanfaat dan dia akan dipukul jika berbicara (11), maka yang seperti ini tidak wajib atasnya amar ma’ruf dan nahi mungkar.
b. Dia yakin bahwa kemungkaran tersebut akan sirna dengan sebab ucapan atau amalannya dan tidak akan mengantarkan dia kepada perkara yang dibenci (12), maka yang seperti ini wajib atasnya amar ma’ruf dan nahi mungkar.
c. Dia yakin pengingkarannya tidak akan bermanfaat, hanya saja dia takut perkara yang dia benci -misalnya dipukul atau yang lainnya-, maka yang seperti ini tidak wajib atasnya amar ma’ruf dan nahi mungkar, akan tetapi disunnahkan baginya amar ma’ruf dan nahi mungkar untuk menampakkan syi’ar-syi’ar Islam dan untuk mengingatkan manusia terhadap perkara-perkara agama.
d. Dia yakin akan tertimpa perkara yang dia benci, akan tetapi dia juga yakin bahwa kemungkaran tersebut akan sirna jika dia mengingkarinya. Misalnya ada seseorang yang sanggup melempar dan memecahkan gentong tempat khamar milik seseorang yang fasik, dan dia yakin bahwa orang fasik tersebut akan mendatanginya dan memukulnya, maka yang seperti ini tidak wajib atasnya amar ma’ruf dan nahi mungkar dan tidak juga diharamkan atasnya, akan tetapi disunnahkan baginya untuk melaksanakannya.

Catatan:
Bukan tergolong tidak mampu jika dia tidak menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar hanya dikarenakan oleh perasaan sungkan kepada orang yang akan diingkari, bahkan ini termasuk ke dalam larangan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebagaimana dalam sabda beliau:
أَلآ لاَ يَمْنَعَنَّ رَجُلاً هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ
“Ketahuilah, jangan sekali-kali seseorang terhalangi untuk mengucapkan yang benar -jika dia mengetahuinya- hanya dikarenakan dia sungkan kepada manusia (yang lain)”. (HR. Ibnu Majah dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudry dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih Sunan Ibni Majah (2/368/4007)).

Ketiga perkara di atas disyaratkan ada pada diri orang yang mau melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Adapun perbuatan yang akan diingkari, maka disyaratkan padanya empat syarat, yaitu:
4. Dia jelas merupakan kemungkaran dalam syari’at berdasarkan nash Al-Qur`an atau hadits atau ijma’, baik kemungkarannya besar maupun kecil, baik kemungkaran tersebut dilakukan oleh mukallaf atau bukan. Maka wajib mengingkari anak kecil atau orang gila yang berbuat kemungkaran.
5. Kemungkaran tersebut ada. Dalam hal ini ada tiga keadaan:
a. Dia (pelaku maksiat tersebut) belum melakukan kemungkaran akan tetapi dia (pelaku kemungkaran) sudah memiliki tekad yang kuat (arab: hamma) untuk melakukannya, ini diketahui dengan adanya pendahuluan-pendahuluan atau tanda-tanda atau isyarat-isyarat yang kuat menunjukkan akan terjadinya maksiat tersebut. Misalnya ada seorang lelaki yang tiap hari berdiri di depan pintu gerbang sekolah wanita untuk bisa melihat salah seorang di antara mereka atau dia (orang yang melakukan nahi mungkar) tidak sengaja mendengarkan percakapan telepon antara seorang lelaki dan wanita yang bukan mahramnya dengan suara yang mesra dan mereka (lelaki dan wanita itu) membuat janji untuk bertemu. Maka pada kedua keadaan ini dan yang semisal dengannya, yang wajib atas orang yang akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar hanyalah menasehati dan mengingatkan lelaki tersebut serta mentarhibnya dengan ancaman-ancaman Allah -’Azza wa Jalla-, akan tetapi dengan cara yang lemah lembut dan penuh kasih sayang, tidak dengan tangan (pemukulan) atau meninggikan suara (membentak) atau menyebarkannya kepada orang lain.
b. Dia sedang mengerjakan kemungkaran tersebut, misalnya ada seseorang yang duduk dan didepannya ada cerek berisi khamar yang dia sedang minum darinya, atau seseorang (lelaki) yang memasukkan wanita yang bukan mahramnya ke dalam rumahnya lalu menutup pintunya. Maka dalam keadaan seperti ini dan yang semisalnya, wajib bagi atas orang yang akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar untuk mencegah dan melarangnya sesegera mungkin dengan cara apapun juga jika dia mampu melakukannya. Al-Qhodhy ‘Iyadh -sebagaimana dalam Syarh Muslim karya An-Nawawy (2/25)- menyatakan, “Wajib atas setiap orang yang akan mengubah (kemungkaran) untuk mengubahnya (kemungkaran itu) dengan semua cara yang dia mampu, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Maka dia mematahkan alat-alat kebatilan, mengalirkan sendiri minuman-minuman yang memabukkan (13) atau dia menyuruh orang lain melakukannya, dan dia mencabut (baca: mengambil) tanah yang dirampas dan mengembalikannya kepada pemiliknya”.
c. Dia sudah selesai melakukan kemungkaran dan tidak ada yang terlihat kecuali bekas-bekasnya. Misalnya ada seseorang yang sudah selesai minum khamar dan nampak bahwa dia sedang mabuk atau ada seorang lelaki yang diketahui bujangan, tiba-tiba keluar dari rumahnya seorang wanita yang bukan mahramnya. Maka dalam keadaan seperti ini dan yang semisalnya, yang wajib bagi atas orang yang akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar hanyalah menasehati dan memperingatkannya agar dia tidak mengulanginya di masa yang akan datang. Adapun untuk menghukum atau menegakkan hadd terhadapnya, maka ini adalah urusan pemerintah atau lembaga yang diwakilkan oleh pemerintah. Oleh karena itulah tidak ada seorangpun yang boleh mengingkarinya dengan tangan, akan tetapi dia melaporkannya kepada pihak yang berwenang agar menghukumnya.
Al-‘Allamah Ibnu Nujaim berkata dalam Al-Bahrur Ro`iq (5/42), “Adapun setelah selesainya -yakni suatu maksiat- maka tidak ada (yang mempunyai urusan) dalam hal itu kecuali hakim (pemerintah)”.
6. Kemungkaran tersebut nampak dengan jelas dan terang-terangan, bukan perbuatan yang diketahui kemungkarannya dengan cara mengintip, mengawasi, atau memata-matai. Karenanya, siapa saja yang menyembunyikan kemungkarannya di dalam rumahnya maka tidak boleh ada seorangpun yang berhak untuk memata-matainya, sepanjang dia tidak menampakkan seseuatu dari kemungkarannya, kapan dia menampakkan sesuatu dari kemungkarannya walaupun hanya diketahui oleh segelintir orang maka wajib bagi yang melakukan nahi mungkar untuk mengingkarinya. Misalnya ada seseorang yang memainkan alat musik di dalam rumahnya, akan tetapi suaranya terdengar oleh sebagian tetangganya atau sekelompok orang yang minum khamar di dalam rumah akan tetapi suara kegiatan mereka terdengan oleh sebagian orang, maka dalam keadaan seperti ini dan yang semisalnya, wajib atas orang yang akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar untuk mengingkarinya.
7. Kemungkaran tersebut adalah perkara yang diketahui kemungkarannya secara jelas dan disepakati, bukan sesuatu yang merupakan kemungkaran menurut ijtihad. Akan tetapi kalimat ‘menurut ijtihad’ tidak boleh dipahami terlalu luas sehingga meninggalkan mengingkari suatu perbuatan yang jelas kemungkarannya hanya karena ada ulama yang berpendapat dengannya. Perlu diketahui, bahwa perselisihan di kalangan para ulama ada dua jenis:
a. Perselisihan yang sifatnya ada keluasan, yakni masing-masing pendapat berlandaskan dalil yang bisa diterima (14). Maka dalam hal ini, tidak ada seorangpun yang boleh mengingkari yang lainnya dan memaksanya untuk mengikuti pendapat yang dia pilih, yang ada hanyalah menasehati serta menjelaskan yang benar -menurut dia- agar mereka semua keluar dari perselisihan. Sebagian ulama membolehkan adanya amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam perkara ini, dengan syarat orang yang melakukannya adalah seorang yang sudah mencapai jenjang mujtahid.
b. Perselisihan yang tidak ada keluasan di dalamnya, yaitu penyelisihan yang ganjil (arab: syadz) atau penyelisihan yang batil dan tidak teranggap karena tidak dibangun di atas satupun dalil yang bisa diterima, seperti pendapat yang menyelisihi nash Al-Qur`an atau hadits yang shohih mutawatir atau hadits hohih yang masyhur atau menyelisihi ijma’ atau menyelisihi apa yang diketahui secara darurat (15) dari perkara agama. Maka penyelisihan-penyelisihan yang bentuknya seperti ini tidaklah diperhitungkan, sehingga tetap wajib untuk mengingkari semua perkara yang menyelisihi perkara-perkara di atas. Misalnya, boleh memotong jenggot jika panjangnya sudah sampai ukuran tertentu atau boleh membangun kubah di atas kuburan atau boleh melihat seluruh tubuh wanita tanpa berpakaian saat nazhor atau yang sejenisnya Semua perkara ini, walaupun ada segelintir ulama yang berpendapat dengannya, akan tetapi tetap wajib untuk diingkari dengan tegas karena pendapat-pendapat mereka tidak dibangun di atas dalil-dalil yang bisa diterima bahkan menyelisihi dalil-dalil yang jelas menunjukkan larangannya, wallahu A’lam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- menyatakan, “Adapun jika dalam suatu masalah tidak ada sunnah dan tidak pula ijma’ dan ada tempatnya berijtihad dalam masalah itu, maka orang yang mengamalkannya tidak boleh diingkari, (sama saja) apakah yang mengamalkannya adalah seorang mujtahid atau muqillid (orang yang mengikuti seorang ulama)”. Lihat Al-Adabus Syar’iyyah karya Ibnu Muflih (1/190)
[Lihat: Haqiqatul Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Mungkar karya Dr. Ahmad bin Nashir Al-‘Ammar hal. 56-75 dan 142-159 dan Al-Qaululul Bayyinul Azhhar karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rojihy hal. 32-34]

E. Ancaman atas Orang yang Perbuatannya Menyelisihi Ucapannya
Yang wajib bagi setiap muslim yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah mengikuti kebenaran yang dia perintahkan dan menjauhi larangan yang dia larang. Dan telah datang nash-nash ancaman yang sangat pedih dan cercaan yang menghinakan atas orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar lantas perbuatan dan tindak-tanduknya menyelisihi apa yang dia ucapkan. Berikut di antaranya:
1. Surah Al-Baqarah ayat 44:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kalian melupakan diri-diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?”.
2. Surah Ash-Shoff ayat 2 dan 3:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tiada kalian kerjakan”.
3. Dan dalam surah Hud ayat 88, Allah -Ta’ala- menghikayatkan ucapan Syu’aib -’alaihis salam-:
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan”.
4. Hadits Usamah bin Zaid -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’:
يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلَانُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
“Akan didatangkan seorang lelaki pada Hari Kiamat lalu dia akan dilemparkan ke dalam neraka, maka keluarlah usus-usus perutnya kemudian dia mengelilinginya seperti keledai mengelilingi penggilingan. Maka penduduk nerakapun berkumpul di sekitarnya lalu mereka berkata, “Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankan dulunya (di dunia) kamu memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar?”, maka dia menjawab, “Betul, dulu saya memerintahkan kepada yang ma’ruf tapi saya sendiri tidak mengerjakannya dan saya melarang dari yang mungkar tapi saya sendiri yang melanggarnya””. (HR. Bukhary dan Muslim)
5. Hadits Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’:
أُتِيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ تَقْرُضُ شَفَاهَهُمْ بَمَقَارِيْضَ مِنْ نَارٍ, كُلَّمَا قُرِضَتْ وَفَّتْ. فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيْلُ مَنْ هَؤُلاَءِ؟ قَالَ: خُطَبَاءُ أُمَّتِكَ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ وَيَقْرَءُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَلاَ يَعْمَلُوْنَ بِهِ. ‌
“Pada malam saya Isra`, saya didatangkan kepada sebuah kaum yang menggunting bibir-bibir mereka sendiri dengan gunting-gunting dari api neraka, setiap kali bibirnya (selesai) digunting maka akan kembali (seperti semula). Maka saya bertanya, “Wahai Jibril, siapa mereka?”, dia menjawab, “(Mereka adalah) para khathib (tukang ceramah) dari ummatmu yang mereka ini mengatakan sesuatu yang mereka sendiri tidak mengerjakannya dan mereka membaca kitab Allah tapi mereka tidak beramal dengannya”. (HR. Ahmad dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 129)
Dan sungguh benar ucapan seorang penya`ir tatkala dia menyatakan:
لاَ تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَتَأْتِيَ مَثْلَهُ عَارٌ عَلَيْكَ إِذَا فَعَلْتَ عَظِيْمُ
“Janganlah engkau melarang dari suatu akhlak sedang engkau sendiri melakukannya, suatu aib yang besar jika engkau melakukan hal tersebut”.
Dan yang lainnya berkata:
وَغَيْرُ تَقِيٍّ يَأْمُرُ النَّاسَ بِالتُّقَى طَبِيْبُ يُدَاوِي النَّاسَ وَهُوَ مَرِيْضُ
“Seorang yang tidak bertaqwa memerintahkan manusia untuk bertakwa, seorang dikter mengobati manusia sedang dia sendiri sedang sakit”.
Dan juga perkataan yang lainnya:
فَإِنَّكَ إِذْ مَا تَأْتِ مَا أَنْتَ آمِرُ بِهِ تَلْقَ مَنْ إِيَّاهُ تَأْمُرُ آتِيًا
“Maka jika engkau tidak mengerjakan apa yang kamu sendiri perintahkan, niscaya kamu akan menjumpai orang yang dulu kamu perintah akan mendatangimu (untuk mencelamu)”.

Catatan:
Semua dalil-dalil di atas tidaklah menunjukkan bahwa pelaku maksiat tidak boleh atau tidak wajib menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dan tidak juga menunjukkan bahwa jika seseorang belum sanggup melaksanakan suatu perintah dan masih mengerjakan maksiat tertentu, maka tidak boleh atau tidak wajib baginya untuk memerintahkan kewajiban tersebut kepada orang lain serta tidak boleh atau tidak wajib baginya melarang orang lain dari maksiat tersebut. Tapi yang wajib baginya adalah tetap menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar sambil menjaga dirinya agar tidak terjatuh ke dalam suatu maksiat atau meninggalkan suatu larangan, dan kapan dia melanggarnya apa yang dia sendiri telah ucapkan -karena menyepelekan hal tersebut- maka ancaman-ancaman dalam dalil-dalil di atas berlaku untuknya.
Imam Al-Qurthuby berkata dalam Tafsirnya (6/253-254), “Ibnu Athiyyah berkata, [“Para ulama terkemukan mengarakan, [“Bukan termasuk syarat (wajib) bagi orang yang melarang (kemungkaran) adalah orangnya (yang melarang tersebut-pent.) harus selamat dari maksiat, bahkan (wajib) bagi para pelaku maksiat untuk saling larang-melarang di antara mereka”]”]”.
Imam An-Nawawy berkata dalam Syarh Shohih Muslim (2/23), “Tidak disyaratkan bagi orang yang memerintahkan (kebaikan) dan melarang (kemungkaran) harus sempurna keadaannya, (dalam artian) dia mengamalkan apa yang dia sendiri perintahkan dan menjauhi apa yang dia sendiri larang. Bahkan wajib baginya untuk memerintahkan (kebaikan) walaupun dia sendiri tidak mengamalkan apa yang dia perntahkan serta (wajib baginya untuk) melarang walaupun dia sendiri melakukan apa yang dia larang. Karena sesungguhnya yang baginya adalah dua perkara: (1)Memerintahkan dan melarang dirinya dan (2) memerintahkan dan melarang orang lain. Maka jika dia meninggalkan salah satunya, bagaimana mungkin dia dibolehkan untuk meninggalkan yang lainnya?!”.
Ini merupakan pendapat hampir seluruh ulama dan inilah yang kuat dari dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Oleh karena itulah Imam Malik dan Imam Sa’id bin Jubair pernah berkata, “Sekiranya seseorang itu tidak menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar sampai tidak ada padanya sesuatu apapun (berupa maksiat-pent.)(16), niscaya tidak akan ada seorangpun yang menegakkan amar ma’ruf dan (tidak akan ada seorang pun yang menegakkan) nahi mungkar”.( Jami’ li Ahkamil Qur`an (1/367-368).)
Dan Al-Hasan Al-Bashry pernah berkata kepada Muthorrif ibnu ‘Abdillah, “Berilah peringatan kepada temnan-temanmu”, maka dia menjawab, “Saya takut jikalau saya mengatakan kepada mereka sesuatu yang tidak saya amalkan”, maka beliau menjawab, “Semoga Allah merahmatimu, siapakah di antara kita yang telah mengamalkan apa yang dia telah ucapkan?!, setan berharap dia bisa menang dengan (tipuan semacam) ini, sehingga tidak akan ada seorangpun yang akan memerintahkan kebaikan dan (tidak akan ada seorangpun) yang akan melarang kemungkaran”.( Jami’ li Ahkamil Qur`an (1/367))
__________
(1) Mereka adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah dalam ayat sebelumnya:
وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kalian menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka (orang-orang yang melarang) menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa”. (QS. Al-A’raf : 164)
(2) Yakni mereka (golongan ketiga) tidak mengingkari golongan yang binasa karena sudah ada orang yang mengingkari mereka, dan ini membuat kewajiban mereka gugur.
(3) Adhwa`ul Bayan (2/171).
(4) Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar hal. 30 karya Ibnu Taimiyah, tahqiq Abu Abdillah ibnu Ruslan.
(5) Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (4/47)
(6) Yakni perkara yang akan diperintahkan atau dilarang.
(7) Syarh Muslim (2/23)
(8) Ad-Da’wah Ilallahi wa Akhlaqud Du’at hal. 16
(9) Tafsirul Qur`anil ‘Azhim (1/342)
(10) Atau minimal dugaan besarnya.
(11) Yakni dia yakni bahwa kalaupun dia menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar maka mereka tetap dalam kemungkaran mereka dan tidak mengindahkan ucapannya, bahkan mereka akan memukulnya.
(12) Seperti dipukul atau yang lebih parah dari itu.
(13) Maksudnya dia sendiri yang memecahkan tempat penyimpanan minuman-minuman keras.
(14) Yakni Al-Qur`an, hadits yang shohih, ijma’, dan kias yang jelas. Kebanyakan perselisihan fiqhiyah sifatnya seperti ini, misalnya: masalah menggerak-gerakkan jari saat tasyahhud, bersedekap saat i’tidal, mengepalkan tangan ketika mau berdiri dalam sholat, dan yang semisal dengannya.
(15) Yakni perkara yang keharamannya diketahui tanpa harus mempelajarinya, misalnya: membunuh, mencuri, berzina, riba, minum khamar, dan yang semisalnya.
(16) Maksudnya, orang tersebut tidak menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan dalih dirinya belum sanggup mengamalkan apa yang dia akan ucapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar