Rabu, 26 Januari 2011

memilih untuk Bahagia.

Bismillah.....



Tulisan ini dibuat di sepertiga akhir malam yang syahdu, subhanalloh. Sekali lagi ingin kumaknai arti bahagia, yang mungkin sudah beberapa kali berubah makna di dalam diriku. ya.. makna bahagia saat aku kecil, berbeda dengan ketika aku masih belia, berbeda ketika aku larut dalam dunia yang melalaikan dan kini sungguh tlah berubah pula maknanya dalam diriku.


Duluu.. sekali sempat aku memilih makna bahagia dengan konsep seperti ini :

menjadi kaya di dunia dan akhirat ^_^ kaya dalam arti yang logis, yang nyata, yang benar-benar kaya maksudku. kaya di dunia adalah ketika keluargaku memiliki pekerjaan yang mapan, penghasilan tetap yang cukup buat apa saja, beli ini itu, membantu sana sini, ngaji kesana dan kemari itulah kaya. adapun kaya akhirat adalah ketika kelak tujuan ke surga itu tergapai dengan lancar (biidznillah) dengan tabungan amal sholih yang banyak, kekuatan iman dan taqwa yang tinggi sehingga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung. allohu akbar.

muluk sekali ya konsep bahagia itu.. tapi memang begitulah konsep bahagia ala aku dulu.. dan tentu untuk mencapainya aku harus menanggung konsekuensi yang tidak gampang. harus bekerja keras untuk “kaya” dunia dan “kaya” akhirat itu..

tapi sekali lagi.. itu dulu, bukan sekarang.

Seiring berjalannya waktu, kini.. konsep bahagia ku berubah lagi, bahagia yang lebih indah dari konsep2 yang pernah hadir dalam perjalanan hidupku. Semakin ku belajar semakin kuat keyakinanku bahwa ambisi terhadap dunia tidak mungkin berjalan beriringan dengan keinginan menggapai sukses akhirat dengan kesuksesan yang gemilang, karena salah satunya pasti akan saling mengalahkan dan melemahkan yang lain. maka bagaimana agar kita dapat menggapai bahagia? mana yang kita pilih? tentulah kita harus memilih orientasi yang mendatangkan kebahagiaan hakiki, bukan sekedar kebahagiaan sementara nan semu namun mendatangkan kesengsaraan abadi.

coba kita perhatikan landasan-landasan yang mendasari tercapaiinya kebahagiaan hakiki itu, yang diungkapkan oleh dzat yang Maha terpercaya dan kekasihnya. Alloh dan RosulNya sholallohu ‘alihi wasallam

Allah Ta’ala berfirman,

مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ

“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat maka akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia maka akan Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia, dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Qs. Asy-Syura: 20)

لْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Akan tetapi, kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Qs. Al-A’laa: 16–17)

Banyak dalil yang menerangkan janji-janji Allah Ta’ala kepada orang-orang yang berorientasi akhirat, bahwa orang yang berorientasi akhirat akan sukses dunia dan akhiratnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai anak Adam, beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku, niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dadamu dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan, dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia).’” (Hr. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim)

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa yang menjadikan kegelisahan, kegundahan, cita-cita, dan tujuannya hanya satu, yaitu akhirat, maka Allah akan mencukupi semua keinginannya. Barangsiapa yang keinginan dan cita-citanya bercerai-berai kepada keadaan-keadaan dunia, materi duniawi, yang dipikirkan hanya itu saja, maka Allah tidak akan peduli di lembah mana dia binasa.” (Hr. Ibnu Majah; sanadnya hasan)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa yang obsesinya adalah akhirat, tujuannya akhirat, niatnya akhirat, cita-citanya akhirat, maka dia mendapatkan tiga perkara: Allah menjadikan kecukupan di hatinya, Allah mengumpulkan urusannya, dan dunia datang kepada dia dalam keadaan dunia itu hina. Barangsiapa yang obsesinya adalah dunia, tujuannya dunia, niatnya dunia, cita-citanya dunia, maka dia mendapatkan tiga perkara: Allah menjadikan kemelaratan ada di depan matanya, Allah mencerai-beraikan urusannya, dan dunia tidak datang kecuali yang ditakdirkan untuk dia saja.” (Hr. At-Tirmidzi dan lain-lain; hadits shahih)

Nah, masihkah kita ragu dengan janji-janji Allah Ta’ala di atas? Apakah itu cuma dongeng di siang bolong? Siapakah yang paling mampu menepati janjinya? Sungguh sayang, banyak dari kita yang masih ragu dengan janji-janji Allah Ta’ala, dan ikut yakin dengan pameo ini, “Zaman ini zaman edan, kalau tidak ikut arus, bagaimana kita bisa dapat rezeki?”, atau “Yang haram saja susah, apalagi yang halal.”

Bagaimana mungkin karunia Allah Ta’ala, berupa rezeki, dapat diraih dengan maksiat? Mungkin rezeki itu akan didapat, tetapi rezeki itu tidak akan memiliki berkah. Justru, rezeki tersebut akan membawa petaka, istri dibawa lari orang, anak berzina, kita sendiri terkena penyakit strok dan merana seorang diri di rumah sakit jiwa. Akhir yang buruk, yang tidak satu pun dari kita menginginkannya.

Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
“Janganlah kamu merasa bahwa rezekimu datangnya terlambat, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan meninggal, hingga telah datang kepadanya rezeki terakhir (yang telah ditentukan) untuknya. Maka, tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram.” (Hr. Abdur Razaq, Ibnu Hibban, dan al-Hakim)

“Sesungguhnya, Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikkan dalam benakku bahwa jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itu, hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan memperbaiki mata pencarianmu. Apabila datangnya rezeki itu terlambat, janganlah kamu memburunya dengan jalan bermaksiat kepada Allah, karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya.” (Hr. Abu Dzar dan al-Hakim)

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah dan carilah nafkah dengan cara yang baik, karena sesungguhnya seseorang sekali-kali tidak akan meninggal dunia sebelum rezekinya disempurnakan, sekalipun rezekinya terlambat (datang) kepadanya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik, ambillah yang halal dan tinggalkanlah yang haram.” (Hadits shahih, Shahih Ibnu Majah no. 1743 dan Ibnu Majah II: 725 no. 214)

Hendaklah kita perhatikan hadits-hadits di atas. Kita diperintahkan untuk berusaha, bersungguh-sungguh, bekerja, memperbaiki mata pencarian, meninggalkan yang haram, dan kita diperintahkan untuk bertakwa. Rezeki yang ada di langit (dari Allah) bukan dicari dengan cara maksiat kepada-Nya. Namun, kita diperintahkan untuk bersungguh-sungguh bekerja, memperbaiki cara mencari rezeki, dan bertakwa.

Alloh berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. An-Nahl: 97)

Lihatlah, bahwa jika kita ingin hidup bahagia dengan mendapatkan semua kebaikan (karena ayat tersebut tidak membatasi kebaikan apa, maka ulama menerangkan bahwa yang dimaksud adalah semua kebaikan, baik rezeki, kebahagiaan, ketenangan jiwa, dan lain-lain), maka caranya adalah dengan beramal shalih, dalam keadaan beriman.

itulah konsep bahagia yang kami pilih untuk mewarnai sisa umur kami yang entah sampai kapan alloh ta’ala izinkan bersama kami. dan akhirnya setiap pilihan tentu menuntut pada konsekuensi pemilihannya. konsep bahagia berorientasi akhirat ini mewajibkan kita untuk benar-benar jeli memilah dan memilih detail aktivitas dan sikap terhadap berbagai tawaran hingar bingar dunia agar mudah bagi kita untuk dapat mengorientasikan tujuan pada kebahagiaan akhirat. wallohu waliiyut taufiq wa nastai’an billah

al faqir ilalloh

Ummu Raihan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar