Kamis, 30 Desember 2010

Kaifiat Mandi Junub

Kaifiat Mandi Junub

Para ulama menyebutkan bahwa kaifiat mandi junub ada 2 cara:
1. Cara yang sempurna, yaitu mengerjakan semua rukun, wajib dan sunnah dalam mandi junub.
2. Cara yang mujzi’ (yang mencukupi), yaitu hanya melakukan yang merupakan rukun dalam mandi junub.
(Lihat Al-Mughni: 1/287, Al-Majmu’: 2/209 dan Al-Muhalla: 2/28)
Kaifiat mandi yang mujzi’:
1. Niat.
2. Mencuci dari kotoran yang menimpa atau najis –kalau ada-.
3. Menyiram kepala sampai ke dasar rambut dan seluruh anggota badan dengan air.
Ada beberapa dalil yang menunjukkan cara ini, diantaranya:
1. Firman Allah Ta’ala, “Dan kalau kalian junub maka bersucilah.” (QS. Al-Maidah: 6)
Imam Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla (2/28), “Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi) maka dia telah menunaikan kewajiban yang Allah wajibkan padanya.”
2. Ummu Salamah pernah bertanya kepada Rasulullah -shalllallahu alaihi wasallam-, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah wanita yang mempunyai gulungan rambut yang tebal, apakah saya harus membukanya saat mandi junub?” beliau menjawab, “Tidak perlu, yang wajib atas kamu hanyalah menuangkan air di atas kepalamu sebanyak tiga kali tuangan kemudian kamu menuangkan air ke seluruh tubuhmu. Maka dengan itu kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 742 dan selainnya)
3. Hadits Imran bin Hushain yang panjang dalam Ash-Shahihain, dia berkata, “Dan yang terakhir adalah diberikannya satu bejana air kepada yang orang yang terkena janabah lalu beliau (Nabi) bersabda: Pergilah dan tuangkan air itu ke seluruh tubuhmu.” (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’: 1/424).
Kami katakan: Bagi mereka yang kekurangan air atau yang tidak punya banyak waktu untuk mandi -karena harus segera shalat atau selainnya-, maka hendaknya mereka cukup mengerjakan kaifiat ini karena ini adalah ukuran minimal syahnya mandi.

Kaifiat mandi sempurna:
Sifat mandi yang sempurna ada dua cara, disebutkan dalam hadits Aisyah dan Maimunah yang keduanya diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim. Berikut penyebutannya:
A. Cara mandi junub yang pertama:
Aisyah berkata, “Sesungguhnya kebiasaan Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kalau beliau mandi junub adalah: Beliau mulai dengan mencuci kedua (telapak) tangannya, kemudian beliau berwudhu (sempurna) seperti wudhu beliau kalau mau shalat. Kemudian beliau mengambil air lalu memasukkan jari-jemarinya ke dasar-dasar rambutnya, sampai tatkala beliau merasa air sudah membasahi semua bagian kulit kepalanya, beliau menyiram kepalanya dengan air sebanyak tiga kali tuangan, kemudian beliau menyiram seluruh bagian tubuh yang lainnya.” (HR. Al-Bukhari no. 248, 272 dan Muslim no. 316)
Kesimpulan cara yang pertama adalah:
1. Mencuci kedua telapak tangan tanpa ada pembatasan jumlah.
2. Berwudhu sempurna, dari mencuci telapak tangan sampai mencuci kaki. Jadi telapak tangannya kembali dicuci, berdasarkan lahiriah hadits.
3. Setelah berwudhu sempurna, beliau mengambil air dengan kedua telapak tangan beliau lalu menyiramkannya ke kepala seraya memasukkan jari jemari beliau ke bagian dalam rambut agar seluruh bagian rambut dan kulit kepala terkena air.
4. Setelah yakin seluruh bagian kulit kepala telah terkena air, beliau menuangkan air ke atas kepalanya sebanyak tiga kali tuangan.
5. Kemudian yang terakhir beliau menyiram seluruh tubuhnya yang belum terkena air.

B. Cara mandi junub yang kedua:
Ini disebutkan dalam hadits Maimunah, istri Nabi -shallallahu alaihi wasallam-. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 259, 265, 266, 274, 276, 281 dan berikut lafazh gabungan seluruh riwayatnya:
Maimunah berkata, “Saya meletakkan air yang akan digunakan oleh Nabi -shallallahu alaihi wasallam- untuk mandi lalu menghijabi beliau dengan kain. Maka beliau menuangkan air ke kedua (telapak) tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak dua kali atau tiga kali, kemudian beliau menuangkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya dan bagian yang terkena kotoran, kemudian beliau menggosokkan tangannya ke lantai atau ke dinding sebanyak dua kali atau tiga kali. Kemudian beliau berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung, kemudian beliau mencuci wajahnya dan kedua lengannya (tangannya sampai siku), kemudian beliau menyiram kepalanya sebanyak tiga kali kemudian menuangkan air ke seluruh tubuhnya. Kemudian beliau bergeser dari tempatnya lalu mencuci kedua kakinya.” Maimunah berkata, “Lalu saya membawakan sepotong kain kepada beliau (sebagai handuk) tapi beliau tidak menghendakinya lalu beliau mengusap air dari badannya dengan tangannya.” (Diriwayatkan juga yang semisalnya oleh Muslim no. 723)
Kesimpulan cara yang kedua:
1. Menuangkan air ke kedua telapak tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak dua atau tiga kali.
2. Mengambil air dengan tangan kanannya lalu menuangkannya ke tangan kirinya, lalu beliau mencuci kemaluannya dengan tangan kirinya dan juga mencuci bagian tubuh yang terkena kotoran (madzi atau mani).
3. Menggosokkan tangan kirinya itu ke lantai atau dinding atau tanah untuk membersihkannya, sebanyak dua atau tiga kali.
4. Berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung lalu mengeluarkannya.
5. Mencuci wajah lalu mencuci kedua tangan sampai ke siku.
6. Lalu menyiram kepala sebanyak tiga kali siraman.
7. Menyiram seluruh bagian tubuh yang belum terkena air.
8. Bergeser dari tempatnya berdiri lalu mencuci kedua kaki.

Inilah dua kaifiat mandi junub sempurna yang setiap muslim hendaknya mengerjakan keduanya secara bergantian pada waktu yang berbeda, terkadang mandi junub dengan kaifiat Aisyah dan pada kesempatan lain dengan kaifiat Maimunah, wallahu a’lam.

Berikut beberapa permasalahan dalam mandi junub yang tidak tersebut pada kedua hadits di atas:
1. Wajibnya niat dan tempatnya didalam hati.
Karena niat adalah syarat sahnya seluruh ibadah, sebagaimana dalam hadits Umar bin Al-Khaththab yang masyhur, “Sesungguhnya setiap amalan -syah atau tidaknya- tergantung dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1 dan 54 dan Muslim no. 1907)
2. Hukum membaca basmalah.
Tidak disebutkan dalam satu nash pun adanya bacaan basamalah dalam mandi junub, karenanya kami berpendapat tidak adanya bacaan basmalah di awal mandi junub. Kecuali kalau dia membaca bismillah untuk gerakan wudhu yang ada di tengah-tengah kaifiat mandi, maka itu kembalinya kepada hukum membaca basmalah di awal wudhu. Dan telah kami bahas pada beberapa edisi yang telah berlalu bahwa hukumnya adalah sunnah.
3. Diharamkan seorang yang mandi junub untuk menceburkan dirinya ke dalam air yang diam seperti kolam dan sejenisnya. Berdasarkan hadits Abu Hurairah secara marfu, “Janganlah salah seorang di antara kalian mandi di dalam air yang diam sementara dia junub.” (HR. Muslim no. 283)
4. Disunnahkan untuk memulai dengan anggota tubuh bagian kanan. Aisyah berkata, “Kami (istri-istri Nabi) jika salah seorang di antara kami junub, maka dia mengambil air dengan kedua tangannya lalu meletakkannya di atas kepalanya. Salah satu tangannya menuangkan air ke bagian kepalanya yang kanan dan tangannya yang lainnya di atas bagian kepalanya yang kiri. Dia melakukan itu sebanyak tiga kali.” (HR. Al-Bukhari no. 277)
5. Bagi yang mengikat rambutnya, apakah dia wajib melepaskan ikatannya?
Imam Al-Baghawi berkata -tentang hadits Ummu Salamah yang telah berlalu di awal pembahasan- dalam kitab Syarh Sunnah (2/18), “Hadits inilah yang diamalkan di kalangan semua ahli ilmi, bahwasanya membuka kepang rambut tidak wajib pada mandi junub selama air bisa masuk ke dasar rambutnya.”
Kami katakan: Kalau tidak bisa masuk maka wajib membukan ikatan rambutnya.
6. Bolehkah memakai handuk setelah mandi junub?
Wallahu a’lam, lahiriah hadits Maimunah di atas dimana Nabi -shallallahu alaihi wasallam- menolak handuk yang diberikan oleh Maimunah, menunjukkan disunnahkannya untuk tidak membasuh badan dengan kain akan tetapi dengan tangan. Walaupun hukum asalnya adalah boleh membasuh tubuh dengan kain setelah mandi, hanya saja yang kita bicarakan adalah mana yang lebih utama.
7. Setelah mandi junub, seseorang boleh langsung shalat tanpa berwudhu kembali karena mandi junub sudah mencukupi dari wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah, “Adalah Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tidak berwudhu lagi setelah mandi.” (HR. Abu Daud no. 172)
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny 1/289, “Mandi (junub) dijadikan sebagai akhir dari larangan untuk shalat, karenanya jika dia telah mandi, maka wajib untuk tidak terlarang dari sholat. Sesungguhnya keduanya yaitu mandi dan wudhu, dua ibadah yang sejenis, maka yang kecil di antara keduanya (wudhu) masuk (terwakili) ke dalam yang besar sebagaiamana halnya umrah di dalam haji.”
8. Tidak boleh menggabungkan antara mandi junub dengan mandi haid, karena kedua jenis mandi ini telah tegak dalil yang menerangkan wajibnya untuk mengerjakan masing-masing darinya secara tersendiri, karenanya tidak boleh disatukan pada satu mandi. Lihat pembasan masalah ini dalam Tamamul Minnah hal. 126, Al-Muhalla (2/42-47)
Adapun mandi junub dengan mandi jumat, maka boleh digabungkan. Berdasarkan hadits Aisyah secara marfu’, “Barangsiapa yang mandi pada hari jumat maka hendaknya dia mandi dengan cara mandi junub.” (HR. Ahmad)
Para ulama menerangkan bahwa pengamalan hadits di atas bisa dengan dua cara:
a. Apakah dia sengaja membuat dirinya junub yaitu dengan berhubungan dengan istrinya pada hari jumat, agar dia bisa mandi junub pada hari itu.
b. Ataukah dia mandi jumat dengan kaifiat mandi junub, walaupun dia tidak dalam keadaan junub, wallahu a’lam.
9. Dimakruhkan untuk berlebih-lebihan (boros) dalam menggunakan air, baik dalam wudhu maupun dalam mandi junub. Ini berdasarkan dalil umum yang melarang untuk tabdzir (boros) dan berlebih-lebihan dalam segala sesuatu.
10. Cara mandi bersih dari haid/nifas sama dengan mandi junub kecuali dalam dua hal:
a. Disunnahkan setelah mandi untuk menggosok kemaluan dan yang bagian terkena darah dengan kapas atau yang semacamnya yang telah diolesi dengan minyak wangi. Ini untuk membersihkan dan mensucikan dari bau yang kurang sedap.
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah secara marfu’, “Salah seorang di antara kalian (wanita haid) mengambil air yang dicampur dengan daun bidara lalu dia bersuci dan memperbaiki bersucinya. Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya seraya menggosoknya dengan gosokan yang kuat sampai air masuk ke akar-akar rambutnya, kemudian dia menyiram seluruh tubuhnya dengan air. Kemudian dia mengambil secarik kain yang telah dibaluri dengan minyak misk lalu dia berbersih darinya.” Aisyah berkata, “Dia mengoleskannya ke bekas-bekas darah.” (HR. Muslim no. 332 dari Aisyah)
b. Disunnahkan mandi dengan air dan daun bidara sebagaimana dalam hadits di atas.
Wallahu a’lam bishshawab

Sifat Mandi Junub Nabi -shallallahu alaihi wasallam-

Sifat Mandi Junub Nabi -shallallahu alaihi wasallam-

Allah Ta’ala berfirman:
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُواْ
“Dan jika kalian junub maka bersucilah (mandilah).” (QS. Al-Maidah: 6)
Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ حَتَّى إِذَا رَأَى أَنْ قَدْ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
“Kebiasaan Rasulullah -shallallahu’alaihiwasallam- jika beliau mandi junub adalah: Beliau memulainya dengan mencuci kedua tangan beliau, kemudian beliau menuangkan air dengan tangan kanan ke atas tangan kiri lalu mencuci kemaluanya, kemudian beliau berwudhu seperti wudhu untuk shalat, kemudian beliau mengambil air lalu memasukkan jari-jemarinya ke semua pangkal rambut. Sampai setelah beliau memandang bahwa airnya sudah merata mengenai semua rambut beliau, beliau lalu menyiram kepalanya sebanyak tiga kali tuangan, kemudian beliau mencuci seluruh tubuh beliau, kemudian akhirnya mencuci kedua kaki beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)
Dari Maimunah bintu Al-Harits -radhiallahu anha- dia berkata:
أَدْنَيْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُسْلَهُ مِنْ الْجَنَابَةِ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ ثُمَّ أَفْرَغَ بِهِ عَلَى فَرْجِهِ وَغَسَلَهُ بِشِمَالِهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ الْأَرْضَ فَدَلَكَهَا دَلْكًا شَدِيدًا ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ مِلْءَ كَفِّهِ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى عَنْ مَقَامِهِ ذَلِكَ فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِالْمِنْدِيلِ فَرَدَّهُ
“Aku pernah membawa air mandi untuk junub kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Lalu beliau memulai dengan membasuh dua telapak tangannya sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah berisi air, lalu menuangkan air tersebut pada kemaluan beliau, dan beliau mencucinya (kemaluan) dengan tangan kiri. Setelah itu, beliau menggosokkan tangan kiri ke tanah dengan gosokan yang kuat. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau menuangkan air ke kepala beliau sebanyak tiga kali sepenuh telapak tangan, lalu beliau mencuci seluruh tubuhnya. Kemudian beliau bergerak mundur dari tempat beliau berdiri, lalu beliau mencuci kedua kakinya. Kemudian aku mengambilkan handuk untuk beliau, tetapi beliau menolaknya.” (HR. Al-Bukhari pada banyak tempat, di antaranya no. 259 dan Muslim no. 723)
Kalimat [berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat], diterangkan dalam riwayat lain, “Kemudian beliau berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung, kemudian beliau mencuci wajahnya dan kedua lengannya (tangannya sampai siku).”

Penjelasan ringkas:
Para ulama menyebutkan bahwa kaifiat mandi junub ada 2 cara, dan bisa dipilih salah satunya:
1. Cara yang sempurna, yaitu mengerjakan semua rukun, wajib dan sunnah dalam mandi junub.
Ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Aisyah dan Maimunah di atas.
2. Cara yang mujzi’ (yang mencukupi), yaitu hanya melakukan yang merupakan rukun dalam mandi junub.
Seperti yang diisyaratkan dalam ayat di atas. Imam Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla (2/28) menjelaskan ayat di atas, “Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi) maka dia telah menunaikan kewajiban yang Allah wajibkan padanya.”
Penjelasan lebih detail masalah ini silakan baca di sini: http://al-atsariyyah.com/?p=649

Masalah lain yang bisa dipetik dari dalil-dalil di atas adalah:
1. Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin menyatakan tidaknya wajib berwudhu setelah mandi junub berdasarkan ayat di atas. Karena Allah Ta’ala telah menyatakan mandi itu sebagai thaharah dan wudhu termasuk thaharah.
2. Hukum gerakan wudhu yang ada di pertengahan mandi junub adalah sunnah, karena pada mandi junub yang cukup tidak disinggung masalah wudhu.
3. Bolehnya ada jarak antara mencuci anggota wudhu yang satu dengan yang lainnya dalam wudhu, selama anggota wudhu sebelumnya belum kering. Pada hadits Maimunah beliau mengundurkan mencuci kaki dari semua gerakan wudhu sebelumnya.
4. Sebaiknya tidak menggunakan handuk atau yang semacamnya untuk membasuh tubuh setelah mandi junub, akan tetapi hendaknya menggunakan tangan sebagaimana yang diterangkan dalam riwayat lain hadits Maimunah.
5. Menggunakan tangan kiri ketika akan menyentuh sesuatu yang najis.

Mandi yang Disunnahkan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Pada beberapa kesempatan yang lalu telah dibahas tata cara mandi dan mandi yang diwajibkan. Saat ini kami akan mengetengahkan beberapa mandi yang disunnahkan, tidak sampai derajat wajib. Semoga bermanfaat.

Pertama: Mandi Hari Raya.

Hari raya yang dimaksudkan adalah Idul Fithri dan Idul Adha. Mandi ketika itu disunnahkan. Dalil tentang hal ini adalah hadits sahabat Al Faakih bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ عَرَفَةَ وَكَانَ الْفَاكِهُ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالْغُسْلِ فِى هَذِهِ الأَيَّامِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mandi di hari Idul Fithri, Idul Adha dan hari Arafah, ” Dan Al Faakih sendiri selalu memerintahkan keluarganya untuk mandi pada hari-hari itu” (HR. Ibnu Majah no. 1316)

Juga hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الأَضْحَى.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha.” (HR. Ibnu Majah no. 1315)

Kedua hadits di atas dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunannnya. Namun kedua hadits tersebut lemah (dho’if). Hadits pertama dari Al Faakih bin Sa’ad, di dalamnya terdapat perowi yang bernama Yusuf bin Khalid bin ‘Umair. Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa ia pendusta. Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar Al Asqolani menyatakan ia matruk (mesti ditinggalkan). Hadits pertama ini pun dinyatakan dho’if oleh Ibnul Mulaqqin[1], Ibnu Hajar Al Asqolani[2], Adz Dzahabi[3], dan dinyatakan maudhu’ (palsu) oleh Syaikh Al Albani[4].

Adapun hadits Ibnu ‘Abbas terdapat dua orang perowi yang dinilai dho’if oleh Ibnu Hajar yaitu Juabarah bin Al Mughallis dan Hajjaj bin Tamim. Hadits Ibnu ‘Abbas ini dinilai dho’if oleh An Nawawi[5], Al Mizzi[6], Adz Dzahabi[7], Ibnul Mulaqqin[8] dan Ibnu Hajar Al Asqolani.[9]

Namun ada atsar sahabat yang menunjukkan dianjurkannya mandi ketika hari raya yaitu dari ‘Ali bin Abi Tholib dan Ibnu ‘Umar yang dikenal yang sangat ittiba’ (meneladani) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Riwayat dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu,

سَأَلَ رَجُلٌ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهَ عَنِ الغُسْلِ قَالَ اِغْتَسِلْ كُلًّ يَوْمٍ إِنْ شِئْتَ فَقَالَ لاَ الغُسْل الَّذِي هُوَ الغُسْلُ قَالَ يَوْمَ الجُُُمُعَةِ وَيَوْمَ عَرَفَةَ وَيَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الفِطْرِ

Seseorang pernah bertanya pada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengenai mandi. ‘Ali menjawab, “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Orang tadi berkata, “Bukan. Maksudku, manakah mandi yang dianjurkan?” ‘Ali menjawab, “Mandi pada hari Jum’at, hari ‘Arofah, hari Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR. Al Baihaqi 3/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ 1/177)

Riwayat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى

Dari Nafi’, (ia berkata bahwa) ‘Abdullah bin ‘Umar biasa mandi di hari Idul Fithri sebelum ia berangkat pagi-pagi ke tanah lapang. (HR. Malik dalam Muwatho’ 426. An Nawawi menyatakan bahwa atsar ini shahih[10])

Kedua: Mandi ketika ihrom untuk haji atau umroh.

Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَجَرَّدَ لإِهْلاَلِهِ وَاغْتَسَلَ

“Ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas pakaian beliau yang dijahit, lalu beliau mandi.” Abu Isa At Tirmidzi berkata, “Ini merupakan hadits hasan gharib. Sebagian ulama menyunahkan mandi pada waktu ihram. Ini juga pendapat Asy Syafi’i.” (HR. Tirmidzi no. 830. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Anjuran untuk mandi ketika ihrom ini adalah pendapat mayoritas ulama[11].

Ketiga: Ketika masuk Mekkah.

Hal ini dianjurkan berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Nafi’ berkata,

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ لاَ يَقْدَمُ مَكَّةَ إِلاَّ بَاتَ بِذِى طَوًى حَتَّى يُصْبِحَ وَيَغْتَسِلَ ثُمَّ يَدْخُلُ مَكَّةَ نَهَارًا وَيَذْكُرُ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ فَعَلَهُ.

“Ibnu Umar tidak pernah memasuki kota Makkah kecuali ia bermalam terlebih dahulu di Dzi Thuwa sampai waktu pagi datang. Setelah itu, ia mandi dan baru memasuki kota Makkah pada siang harinya. Ia menyebutkan bahwa hal tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau melakukannya.” (HR. Muslim no. 1259)

An Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa ulama Syafi’iyah mengatakan, “Mandi ketika memasuki Mekkah adalah mandi yang disunnahkan. Jika tidak mampu melakukannya, maka diperkenankan dengan tayamum.”[12]

Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar rahimahullah, Ibnul Mundzir mengatakan, “Mandi ketika memasuki Mekkah disunnahkan menurut kebanyakan ulama. Jika tidak dilakukan, tidak dikenai fidyah ketika itu. Kebanyakan ulama mengatakan bahwa mandi ketika itu bisa pula diganti dengan wudhu.”[13]

Keempat: Mandi ketika sadar dari pingsan.

Dianjurkannya hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits yang cukup panjang.

Dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah berkata, “Aku masuk menemui ‘Aisyah aku lalu berkata kepadanya, “Maukah engkau menceritakan kepadaku tentang peristiwa yang pernah terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit?” ‘Aisyah menjawab, “Ya. Pernah suatu hari ketika sakit Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam semakin berat, beliau bertanya: “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab, “Belum, mereka masih menunggu tuan.” Beliau pun bersabda, “Kalau begitu, bawakan aku air dalam bejana.” Maka kami pun melaksanakan apa yang diminta beliau. Beliau lalu mandi, lalu berusaha berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh pingsan. Ketika sudah sadarkan diri, beliau kembali bertanya, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab, “Belum wahai Rasulullah, mereka masih menunggu tuan.” Kemudian beliau berkata lagi, “Bawakan aku air dalam bejana.” Beliau lalu duduk dan mandi. Kemudian beliau berusaha untuk berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh pingsan lagi. Ketika sudah sadarkan diri kembali, beliau berkata, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab lagi, “Belum wahai Rasulullah, mereka masih menunggu tuan.” Kemudian beliau berkata lagi, “Bawakan aku air dalam bejana.” Beliau lalu duduk dan mandi. Kemudian beliau berusaha untuk berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh dan pingsan lagi. Ketika sudah sadarkan diri, beliau pun bersabda, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Saat itu orang-orang sudah menunggu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid untuk shalat ‘Isya di waktu yang akhir. (HR. Bukhari no. 687 dan Muslim no. 418)

An Nawawi menjelaskan, “Hadits ini adalah dalil disunnahkannya untuk mandi setelah sadar dari pingsan. Jika pingsan tersebut terjadi berulang kali, maka mandi pun dianjurkan berulang kali. Namun jika ia baru mandi setelah beberapa kali pingsan, maka itu pun boleh dengan cukup sekali mandi.”[14]

Kelima: Mandi ketika ingin mengulangi jima’ (bersenggama dengan istri).

Berdasarkan hadits Abu Rofi’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- طَافَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى نِسَائِهِ يَغْتَسِلُ عِنْدَ هَذِهِ وَعِنْدَ هَذِهِ. قَالَ فَقُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَجْعَلُهُ غُسْلاً وَاحِدًا قَالَ « هَذَا أَزْكَى وَأَطْيَبُ وَأَطْهَرُ »

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari pernah menggilir istri-istri beliau, beliau mandi tiap kali selesai berhubungan bersama ini dan ini. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah lebih baik engkau cukup sekali mandi saja?” Beliau menjawab, “Seperti ini lebih suci dan lebih baik serta lebih bersih.” (HR. Abu Daud no. 219 dan Ahmad 6/8. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Penulis ‘Aunul Ma’bud mengatakan, “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya mandi ketika ingin mengulangi senggama dengan istri. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.”[15]

Namun ketika ingin mengulangi senggama cukup dengan berwudhu saja, itu dibolehkan. Sebagaimana dalam hadits Abu Sa’id, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi istrinya, lalu ia ingin mengulangi senggamanya, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Muslim no. 308)

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Semua hadits ini menunjukkan bahwa boleh bagi seseorang yang dalam keadaan junub untuk tidur, makan, minum, dan kembali bersenggama dengan istrinya sebelum ia mandi. Hal ini telah disepakati oleh para ulama. Para ulama pun sepakat bahwa badan dan keringat orang yang junub itu suci. Namun untuk melakukan hal-hal tadi dianjurkan untuk berwudhu dengan mencuci kemaluan (lebih dulu).”[16]

Keenam: Mandi setiap kali shalat bagi wanita istihadhoh.

Ini disunnahkan berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ اسْتُحِيضَتْ سَبْعَ سِنِينَ ، فَسَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ ذَلِكَ ، فَأَمَرَهَا أَنْ تَغْتَسِلَ فَقَالَ « هَذَا عِرْقٌ » . فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ لِكُلِّ صَلاَةٍ

“Ummu Habibah mengeluarkan darah istihadhah (darah penyakit) selama tujuh tahun. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah itu. Beliau lalu memerintahkan kepadanya untuk mandi, beliau bersabda, “Ini akibat urat yang luka (darah penyakit).” Maka Ummu Habibah selalu mandi untuk setiap kali shalat.” (HR. Bukhari no. 327 dan Muslim no. 334)

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ummu Habibah untuk mandi, lalu shalat. Namun mandi setiap kali shalat untuknya hanyalah sunnah (tidak sampai wajib)”. Demikian pula dikatakan oleh Al Laits bin Sa’ad dalam riwayatnya pada Imam Muslim, di sana Ibnu Syihab tidak menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ummu Habibah untuk mandi setiap kali shalat. Namun Ummu Habibah saja yang melakukannya setiap kali shalat. [17]

Mayoritas ulama berpandangan bahwa wanita istihadhoh tidak wajib mandi untuk setiap kali shalat. Di antara alasannya disampaikan oleh Al Muhallab bahwa darah istihadhoh adalah darah penyakit (akibat urat yang luka) sehingga tidak menyebabkan wajib mandi.[18] Sudah barang tentu jika setiap kali shalat diwajibkan untuk mandi, maka ini adalah sesuatu yang teramat sulit.

Masalah: Mandi Setelah Memandikan Mayit

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ غُسْلِهِ الْغُسْلُ وَمِنْ حَمْلِهِ الْوُضُوءُ

“Setelah memandikan mayit, maka hendaklah mandi dan setelah memikulnya, hendaklah berwudhu.” (HR. Tirmidzi no. 993. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dalam lafazh lain,

مَنْ غَسَّلَ الْمَيِّتَ فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa memandikan mayit, maka hendaklah ia mandi. Barangsiapa yang memikulnya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud no. 3161. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hadits di atas dikatakan sebagai hadits mudhthorib yang didho’ifkan oleh ulama pakar hadits semacam Ibnul Madini, Ahmad bin Hambal, Muhammad bin Yahya, Asy Syafi’i, Ibnul Mundzir, Al Baihaqi dan selainnya.[19]

Ada penjelasan menarik dari Abu Isa At Tirmidzi berikut ini.

(Abu Isa At Tirmidzi) berkata, “Hadits semakna diriwayatkan dari Ali dan ‘Aisyah.” Abu ‘Isa berkata, “Hadits Abu Hurairah merupakan hadits hasan. Hadits ini juga diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mauquf (cuma perkataan Abu Hurairah).

Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang memandikan mayit. Sebagian mereka dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya berpendapat, “Jika dia memandikan mayit maka dia wajib mandi”. Dan sebagian mereka berpendapat, “Dia hanya wajib berwudhu.”

Malik bin Anas berkata, “Saya lebih suka mandi setelah memandikan mayit, namun tidak menganggapnya wajib.” Demikian juga pendapat Imam Asy Syafi’i. Imam Ahmad berkata, “Seorang yang telah memandikan mayit, aku berharap dia tidak wajib untuk mandi, namun minimal dia berwudlu.” Ishaq berkata, “Dia wajib berwudlu.”

(Abu Isa At Tirmidzi) berkata, “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mubarak, ia berkata bahwa seorang yang memandikan mayit tidak wajib baginya untuk mandi atau juga berwudhu.”[20]

Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah seseorang yang memandikan mayit tidak diwajibkan mandi hanya disunnahkan saja. Inilah pendapat mayoritas ulama dari para sahabat dan ulama sesudahnya.[21] Namun minimal ia bisa berwudhu sebagaimana pendapat sebagian ulama yang kami sebutkan di atas. Wallahu a’lam bish showab.

Masalah: Mandi Jum’at

Mandi Jum’at disunnahkan menurut mayoritas ulama. Sedangkan ulama lainnya mewajibkan hal ini. [22] Oleh karena itu, sudah sepantasnya mandi Jum’at tidak ditinggalkan. Inilah pilihan yang lebih selamat ketika menghadapi perselisihan ulama yang ada.

Catatan penting yang perlu diperhatikan, mandi Jum’at bukanlah syarat sahnya shalat Jum’at. Sebagaimana dinyatakan oleh Al Khottobi dan selainnya bahwa para ulama sepakat (berijma’), mandi Jum’at bukanlah syarat sahnya shalat Jum’at. Shalat tersebut tetap sah walaupun tanpa mandi Jum’at.[23]

Mandi Jum’at disyari’atkan bagi orang yang menghadiri shalat Jum’at dan bukan karena hari tersebut adalah hari Jum’at[24]. Sehingga wanita atau anak-anak yang tidak punya kewajiban untuk shalat Jum’at, tidak terkena perintah ini.

Sebagaimana dinukil dari Al Fath, Az Zain bin Al Munir berkata, “Telah dinukil dari Imam Malik bahwa siapa saja yang menghadiri shalat Jum’at selain pria, jika ia menghadirinya dalam rangka mengharap keutamaan, disyari’atkan baginya mandi dan adab-adab di hari Jum’at lainnya. Akan tetapi, jika menghadirinya cuma kebetulan saja, seperti ini tidak disyari’atkan”.[25]

An Nawawi dalam Al Majmu’[26] menyatakan, “Mandi Jum’at adalah sunnah dan bukanlah wajib yang menyebabkan seseorang jika meninggalkannya menjadi berdosa. Hal ini tidak ada beda pendapat di antara kami ulama Syafi’iyah. … Mayoritas ulama menyatakan bahwa siapa saja yang menghadiri shalat Jum’at baik itu pria, wanita, anak-anak, musafir, budak dan selainnya tetap disunnahkan untuk mandi Jum’at. Hal inilah yang jelas nampak pada hadits Ibnu ‘Umar. Karena memang maksud mandi Jum’at adalah untuk membersihkan diri. Mereka yang disebutkan tadi sama dalam hal ini. Sedangkan orang-orang yang tidak menghadiri shalat Jum’at, tidak disunnahkan untuk mandi Jum’at –meskipun ia terkena kewajiban shalat Jum’at (namun ia meninggalkannya karena udzur, pen)-. Hal ini disebabkan ketika itu maksud untuk mandi Jum’at telah hilang. Dalam hadits Ibnu ‘Umar disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من أتى الجمعة من الرجال والنساء فليغتسل ومن لم يأتها فليس عليه غسل من الرجال والنساء

“Barangsiapa menghadiri shala Jum’at baik laki-laki maupun perempuan, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan yang tidak menghadirinya –baik laki-laki maupun perempuan-, maka ia tidak punya keharusan untuk mandi”. (HR. Al Baihaqi, An Nawawi mengatakan bahwa hadits ini shahih).” Demikian nukilan dari An Nawawi.

Dalil yang menunjukkan disyari’atkannya mandi Jum’at.

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ

“Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at, maka hendaklah ia mandi.” (HR. Bukhari no. 919 dan Muslim no. 845)

لِلَّهِ تَعَالَى عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ حَقٌّ أَنْ يَغْتَسِلَ فِى كُلِّ سَبْعَةِ أَيَّامٍ يَوْمًا

“Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim adalah ia mandi dalam satu hari dalam sepekan dari hari-hari yang ada.” (HR. Bukhari no. 898 dan Muslim no. 849). Dua dalil ini adalah di antara sekian dalil yang digunakan untuk menyatakan bahwa mandi Jum’at itu wajib.

Sedangkan ulama yang menyatakan bahwa mandi Jum’at itu sunnah berdalil dengan dalil-dalil berikut.

مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ

“Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An Nasai no. 1380, At Tirmidzi no. 497 dan Ibnu Majah no. 1091). Hadits ini diho’ifkan oleh sebagian ulama. Sebagian lagi menshahihkannya semacam Syaikh Al Albani rahimahullah[27].

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا

“Barang siapa berwudhu’ kemudian menyempurnakan wudhu’nya lalu mendatangi shalat Jum’at, lalu dia mendekat, mendengarkan serta berdiam diri (untuk menyimak khutbah), maka akan diampuni dosa-dosanya di antara hari itu sampai Jum’at (berikutnya) dan ditambah tiga hari setelah itu. Barang siapa yang bermain kerikil, maka ia telah melakukan perbuatan sia-sia.”(HR. Muslim no. 857). Ulama yang menyatakan bahwa mandi Jum’at itu sunnah berargumen bahwa dalam hadits ini hanya menyatakan wudhu, tidak disebutkan mandi. Alasan semacam ini pun dibantah oleh ulama yang menyatakan wajib dengan dalil yang sama, diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafazh,

مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّىَ مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى وَفَضْلَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ

“Barangsiapa yang mandi kemudian mendatangi Jum’at, lalu ia shalat semampunya dan diam (mendengarkan khutbah) hingga selesai, kemudian ia lanjutkan dengan shalat bersama Imam, maka akan diampuni (dosa-dosa yang dilakukannya) antara hari itu dan hari jum’at yang lain. Dan bahkan hingga lebih tiga hari.” (HR. Muslim no. 857). Sehingga dari lafazh kedua ini (مَنِ اغْتَسَلَ) tidak benar jika dikatakan bahwa cukup dengan wudhu.

Intinya, hukum mandi Jum’at apakah wajib ataukah sunnah, lebih selamat kita tidak meninggalkannya. Karena pendapat yang menyatakan wajib nampak lebih kuat. Wallahu a’lam.

Sejak kapan waktu mandi Jum’at?

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang mandi Jum’at sebelum terbit fajar (sebelum masuk waktu Shubuh, pen), maka mandi Jum’atnya tidak sah menurut pendapat terkuat dari ulama Syafi’iyah, seperti ini pula dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun Al Auza’i menganggapnya sah.”

An Nawawi rahimahullah kembali melanjutkan, “Jika seseorang mandi setelah terbit fajar, maka mandi Jum’atnya sah menurut ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama. Demikian dinyatakan oleh Ibnul Mundzir, Al Hasan Al Bashri, Mujahid, An Nakho’i, Ats Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa mandi Jum’at tidak sah kecuali dilakukan ketika hendak berangkat shalat Jum’at. Namun para ulama tadi menyatakan bahwa mandi Jum’at sebelum terbit fajar tidaklah sah, dan yang menyatakan sah hanyalah Al Auza’i. Al Auza’i menyatakan bahwa boleh mandi sebelum fajar bagi yang ingin mandi junub dan mandi Jum’at.”[28]

Al Bahuti Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Awal mandi Jum’at adalah ketika terbit fajar dan tidak boleh sebelumnya. Namun yang paling afdhol adalah ketika hendak berangkat shalat Jum’at. Inilah yang lebih mendekati maksud.”[29]

Apakah mandi Jum’at boleh digabungkan dengan mandi junub?

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud tersebut dibolehkan.”[30]

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Mandi Jum’at dan mandi junub boleh dalam satu niat dan satu kali mandi. Kami tidak mengetahui adanya beda pendapat dalam masalah ini.”[31]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub, maka mandi Jum’at bisa tercakup di dalamnya asalkan mandi junub tersebut dilakukan setelah terbit matahari. Jika ia meniatkan kedua mandi tersebut sekaligus, maka itu dibolehkan dan ia akan mendapatkan pahala keduanya. Jika ia meniatkan mandi Jum’at saja, maka mandi junub tidak bisa tercakup di dalamnya. Karena mandi Jum’at itu wajib meskipun tidak berhadats. Sedangkan mandi junub itu wajib karena adanya hadats. Oleh karena itu, mandi Jum’at ini harus diniatkan untuk menghilangkan hadats (yaitu diniatkan sekaligus untuk mandi junub, pen). Sebagian ulama mengharuskan untuk mandi dua kali, namun pendapat ini tidak berdalil sama sekali. ”[32]

Semoga sajian ini bermanfaat. Segala puji bagi Allah atas nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Diselesaikan di waktu penuh kesunyian, Panggang-GK, 10 Rajab 1431 H (23/06/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

seputar mandi jum'at

Jumat, 16 Juli 2010 00:00 Muhammad Abduh Tuasikal Hukum Islam
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sebelumnya kita telah mempelajari bersama mengenai mandi yang diwajibkan, mandi yang disunnahkan, serta tata cara mandi. Pada kesempatan kali ini, kita akan lanjutkan dengan permasalahan seputar mandi Jum'at. Semoga bermanfaat bagi pengunjung Rumaysho.com sekalian.

Mandi Jum’at disunnahkan menurut mayoritas ulama. Sedangkan ulama lainnya mewajibkan hal ini. [1] Oleh karena itu, sudah sepantasnya mandi Jum’at tidak ditinggalkan. Inilah pilihan yang lebih selamat ketika menghadapi perselisihan ulama yang ada.

Catatan penting yang perlu diperhatikan, mandi Jum’at bukanlah syarat sahnya shalat Jum’at. Sebagaimana dinyatakan oleh Al Khottobi dan selainnya bahwa para ulama sepakat (berijma’), mandi Jum’at bukanlah syarat sahnya shalat Jum’at. Shalat tersebut tetap sah walaupun tanpa mandi Jum’at.[2]

Mandi Jum’at disyari’atkan bagi orang yang menghadiri shalat Jum’at dan bukan karena hari tersebut adalah hari Jum’at[3]. Sehingga wanita atau anak-anak yang tidak punya kewajiban untuk shalat Jum’at, tidak terkena perintah ini.

Sebagaimana dinukil dari Al Fath, Az Zain bin Al Munir berkata, “Telah dinukil dari Imam Malik bahwa siapa saja yang menghadiri shalat Jum’at selain pria, jika ia menghadirinya dalam rangka mengharap keutamaan, disyari’atkan baginya mandi dan adab-adab di hari Jum’at lainnya. Akan tetapi, jika menghadirinya cuma kebetulan saja, seperti ini tidak disyari’atkan”.[4]

An Nawawi dalam Al Majmu’[5] menyatakan, “Mandi Jum’at adalah sunnah dan bukanlah wajib yang menyebabkan seseorang jika meninggalkannya menjadi berdosa. Hal ini tidak ada beda pendapat di antara kami ulama Syafi’iyah. ... Mayoritas ulama menyatakan bahwa siapa saja yang menghadiri shalat Jum’at baik itu pria, wanita, anak-anak, musafir, budak dan selainnya tetap disunnahkan untuk mandi Jum’at. Hal inilah yang jelas nampak pada hadits Ibnu ‘Umar. Karena memang maksud mandi Jum’at adalah untuk membersihkan diri. Mereka yang disebutkan tadi sama dalam hal ini. Sedangkan orang-orang yang tidak menghadiri shalat Jum’at, tidak disunnahkan untuk mandi Jum’at –meskipun ia terkena kewajiban shalat Jum’at (namun ia meninggalkannya karena udzur, pen)-. Hal ini disebabkan ketika itu maksud untuk mandi Jum’at telah hilang. Dalam hadits Ibnu ‘Umar disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من أتى الجمعة من الرجال والنساء فليغتسل ومن لم يأتها فليس عليه غسل من الرجال والنساء

“Barangsiapa menghadiri shala Jum’at baik laki-laki maupun perempuan, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan yang tidak menghadirinya –baik laki-laki maupun perempuan-, maka ia tidak punya keharusan untuk mandi”. (HR. Al Baihaqi, An Nawawi mengatakan bahwa hadits ini shahih).” Demikian nukilan dari An Nawawi.

Dalil yang menunjukkan disyari’atkannya mandi Jum’at.

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ

“Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at, maka hendaklah ia mandi.” (HR. Bukhari no. 919 dan Muslim no. 845)

لِلَّهِ تَعَالَى عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ حَقٌّ أَنْ يَغْتَسِلَ فِى كُلِّ سَبْعَةِ أَيَّامٍ يَوْمًا

“Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim adalah ia mandi dalam satu hari dalam sepekan dari hari-hari yang ada.” (HR. Bukhari no. 898 dan Muslim no. 849). Dua dalil ini adalah di antara sekian dalil yang digunakan untuk menyatakan bahwa mandi Jum’at itu wajib.

Sedangkan ulama yang menyatakan bahwa mandi Jum’at itu sunnah berdalil dengan dalil-dalil berikut.

مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ

“Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An Nasai no. 1380, At Tirmidzi no. 497 dan Ibnu Majah no. 1091). Hadits ini diho’ifkan oleh sebagian ulama. Sebagian lagi menshahihkannya semacam Syaikh Al Albani rahimahullah[6].

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا

“Barang siapa berwudhu' kemudian menyempurnakan wudhu'nya lalu mendatangi shalat Jum'at, lalu dia mendekat, mendengarkan serta berdiam diri (untuk menyimak khutbah), maka akan diampuni dosa-dosanya di antara hari itu sampai Jum'at (berikutnya) dan ditambah tiga hari setelah itu. Barang siapa yang bermain kerikil, maka ia telah melakukan perbuatan sia-sia.”(HR. Muslim no. 857). Ulama yang menyatakan bahwa mandi Jum’at itu sunnah berargumen bahwa dalam hadits ini hanya menyatakan wudhu, tidak disebutkan mandi. Alasan semacam ini pun dibantah oleh ulama yang menyatakan wajib dengan dalil yang sama, diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafazh,

مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّىَ مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى وَفَضْلَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ

“Barangsiapa yang mandi kemudian mendatangi Jum'at, lalu ia shalat semampunya dan diam (mendengarkan khutbah) hingga selesai, kemudian ia lanjutkan dengan shalat bersama Imam, maka akan diampuni (dosa-dosa yang dilakukannya) antara hari itu dan hari jum'at yang lain. Dan bahkan hingga lebih tiga hari.” (HR. Muslim no. 857). Sehingga dari lafazh kedua ini (مَنِ اغْتَسَلَ) tidak benar jika dikatakan bahwa cukup dengan wudhu.

Intinya, hukum mandi Jum’at apakah wajib ataukah sunnah, lebih selamat kita tidak meninggalkannya. Karena pendapat yang menyatakan wajib nampak lebih kuat. Wallahu a’lam.

Sejak kapan waktu mandi Jum’at?

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang mandi Jum’at sebelum terbit fajar (sebelum masuk waktu Shubuh, pen), maka mandi Jum’atnya tidak sah menurut pendapat terkuat dari ulama Syafi’iyah, seperti ini pula dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun Al Auza’i menganggapnya sah.”

An Nawawi rahimahullah kembali melanjutkan, “Jika seseorang mandi setelah terbit fajar, maka mandi Jum’atnya sah menurut ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama. Demikian dinyatakan oleh Ibnul Mundzir, Al Hasan Al Bashri, Mujahid, An Nakho’i, Ats Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa mandi Jum’at tidak sah kecuali dilakukan ketika hendak berangkat shalat Jum’at. Namun para ulama tadi menyatakan bahwa mandi Jum’at sebelum terbit fajar tidaklah sah, dan yang menyatakan sah hanyalah Al Auza’i. Al Auza’i menyatakan bahwa boleh mandi sebelum fajar bagi yang ingin mandi junub dan mandi Jum’at.”[7]

Al Bahuti Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Awal mandi Jum’at adalah ketika terbit fajar dan tidak boleh sebelumnya. Namun yang paling afdhol adalah ketika hendak berangkat shalat Jum’at. Inilah yang lebih mendekati maksud.”[8]

Apakah mandi Jum’at boleh digabungkan dengan mandi junub?

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud tersebut dibolehkan.”[9]

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Mandi Jum’at dan mandi junub boleh dalam satu niat dan satu kali mandi. Kami tidak mengetahui adanya beda pendapat dalam masalah ini.”[10]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub, maka mandi Jum’at bisa tercakup di dalamnya asalkan mandi junub tersebut dilakukan setelah terbit matahari. Jika ia meniatkan kedua mandi tersebut sekaligus, maka itu dibolehkan dan ia akan mendapatkan pahala keduanya. Jika ia meniatkan mandi Jum’at saja, maka mandi junub tidak bisa tercakup di dalamnya. Karena mandi Jum’at itu wajib meskipun tidak berhadats. Sedangkan mandi junub itu wajib karena adanya hadats. Oleh karena itu, mandi Jum’at ini harus diniatkan untuk menghilangkan hadats (yaitu diniatkan sekaligus untuk mandi junub, pen). Sebagian ulama mengharuskan untuk mandi dua kali, namun pendapat ini tidak berdalil sama sekali. ”[11]

Semoga sajian ini bermanfaat. Segala puji bagi Allah atas nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.



Diselesaikan di waktu penuh kesunyian, Panggang-GK, 10 Rajab 1431 H (23/06/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

5 Hal Yang Menyebabkan Mandi Wajib

Segala puji bagi Allah, pujian yang terbaik untuk-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Saat ini kami akan menjelaskan beberapa hal yang berkenaan dengan mandi (al ghuslu). Insya Allah, pembahasan ini akan dikaji secara lebih lengkap dalam tiga artikel. Pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji beberapa hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi (al ghuslu).

Yang dimaksud dengan al ghuslu secara bahasa adalah mengalirkan air pada sesuatu. Sedangkan yang dimaksud dengan al ghuslu secara syari’at adalah menuangkan air ke seluruh badan dengan tata cara yang khusus. Ibnu Malik mengatakan bahwa al ghuslu (dengan ghoin-nya didhommah) bisa dimaksudkan untuk perbuatan mandi dan air yang digunakan untuk mandi. [1]

Beberapa hal yang mewajibkan untuk mandi (al ghuslu):

Pertama: Keluarnya mani dengan syahwat.

Sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, mani bisa dibedakan dari madzi dan wadi[2] dengan melihat ciri-ciri mani yaitu: [1] baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau telur ketika kering, [2] birnya memancar, [3] keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas). Jika salah satu syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut disebut mani. Wanita sama halnya dengan laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita tidak disyaratkan air mani tersebut memancar sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah.[3]

Dalill bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)

Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ

“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim no. 343)

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, yang menyebabkan seseorang mandi wajib adalah karena keluarnya mani dengan memancar dan terasa nikmat ketika mani itu keluar. Jadi, jika mani tersebut keluar tanpa syahwat seperti ketika sakit atau kedinginan, maka tidak ada kewajiban untuk mandi. Berbeda halnya dengan ulama Syafi’iyah yang menganggap bahwa jika mani tersebut keluar memancar dengan terasa nikmat atau pun tidak, maka tetap menyebabkan mandi wajib. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.[4]

Lalu bagaimana dengan orang yang mimpi basah?

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika ihtilam (mimpi), sedangkan yang menyelisihi hal ini hanyalah An Nakho’i. Akan tetapi yang menyebabkan mandi wajib di sini ialah jika orang yang bermimpi mendapatkan sesuatu yang basah.”[5]

Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلاَ يَذْكُرُ احْتِلاَمًا قَالَ « يَغْتَسِلُ ». وَعَنِ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدِ احْتَلَمَ وَلاَ يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ « لاَ غُسْلَ عَلَيْهِ ». فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ الْمَرْأَةُ تَرَى ذَلِكَ أَعَلَيْهَا غُسْلٌ قَالَ « نَعَمْ إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ ».

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapatkan dirinya basah sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab, “Dia wajib mandi”. Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki yang bermimpi tetapi tidak mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab: “Dia tidak wajib mandi”.” (HR. Abu Daud no. 236, At Tirmidzi no. 113, Ahmad 6/256. Dalam hadits ini semua perowinya shahih kecuali Abdullah Al Umari yang mendapat kritikan[6]. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِى طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِى مِنَ الْحَقِّ ، هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِىَ احْتَلَمَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ »

“Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhari no. 282 dan Muslim no. 313)

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits di atas adalah sanggahan bagi yang berpendapat bahwa mandi wajib itu baru ada jika seseorang yang mimpi tersebut merasakan mani tersebut keluar (dengan syahwat) dan yakin akan hal itu.”[7]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas berkata, “Pada saat itu diwajibkan mandi ketika melihat air (mani), dan tidak disyaratkan lebih dari itu. Hal ini menunjukkan bahwa mandi itu wajib jika seseorang bangun lalu mendapati air (mani), baik ia merasakannya ketika keluar atau ia tidak merasakannya sama sekali. Begitu pula ia tetap wajib mandi baik ia merasakan mimpi atau tidak karena orang yang tidur boleh jadi lupa (apa yang terjadi ketika ia tidur). Yang dimaksud dengan air di sini adalah mani.”[8]

Kedua: Bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar mani.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ

“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)

Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,

وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ

“Walaupun tidak keluar mani.”

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى لأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ ».

“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah, pen) namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.” (HR. Muslim no. 350)

Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “junub” dalam bahasa Arab dimutlakkan secara hakikat pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar mani. Jika kita katakan bahwa si suami junub karena berhubungan badan dengan istrinya, maka walaupun itu tidak keluar mani dianggap sebagai junub. Demikian nukilan dari Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari.[9]

Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna hadits tersebut adalah wajibnya mandi tidak hanya dibatasi dengan keluarnya mani. Akan tetapi, -maaf- jika ujung kemaluan si pria telah berada dalam kemaluan wanita, maka ketika itu keduanya sudah diwajibkan untuk mandi. Untuk saat ini, hal ini tidak terdapat perselisihan pendapat. Yang terjadi perselisihan pendapat ialah pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya. Kemudian setelah itu terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak keluar mani ketika hubungan badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang pernah kami sebutkan.”[10]

Ketiga: Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.

Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,

فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى

“Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333).

Untuk nifas dihukumi sama dengan haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Mengenai wajibnya mandi karena berhentinya darah haidh tidak ada perselisihan di antara para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah dalil Al Qur’an dan hadits mutawatir (melalui jalur yang amat banyak). Begitu pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika berhenti dari darah nifas.”[11]

Keempat: Ketika orang kafir masuk Islam.

Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّهُ أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

“Beliau masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Perintah yang berlaku untuk Qois di sini berlaku pula untuk yang lainnya. Dalam kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib.[12] Ulama yang mewajibkan mandi ketika seseorang masuk Islam adalah Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya dari ulama Hanabilah[13], Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnull Mundzir dan Al Khottobi[14].

Kelima: Karena kematian.

Yang dimaksudkan wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang hidup, maksudnya orang yang hidup wajib memandikan orang yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya.[15] Penjelasan lebih lengkap mengenai memandikan mayit dijelaskan oleh para ulama secara panjang lebar dalam Kitabul Jana’iz, yang berkaitan dengan jenazah.

Dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan anaknya,

اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مَنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).

Berdasarkan kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib. Sedangkan tentang masalah ini tidak ada dalil yang memalingkannya ke hukum sunnah (dianjurkan). Kaum muslimin pun telah mengamalkan hal ini dari zaman dulu sampai saat ini.

Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang mati, baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, orang merdeka atau budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang yang mati di medan perang ketika berperang dengan orang kafir.[16]

Lalu bagaimana dengan bayi karena keguguran, wajibkah dimandikan?

Jawabannya, dapat kita lihat dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata, “Jika bayi karena keguguran tersebut sudah memiliki ruh, maka ia dimandikan, dikafani dan disholati. Namun jika ia belum memiliki ruh, maka tidak dilakukan demikian. Waktu ditiupkannya ruh adalah jika kandungannya telah mencapai empat bulan, sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu….”[17]

Demikian pembahasan singkat ini. Insya Allah selanjutnya kita akan melanjutkan pada pembahasan tata cara mandi (al ghuslu). Semoga bermanfaat.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.


Selesai disusun di Pangukan-Sleman, Kamis, 15 Jumadal Awwal 1431 H (29/04/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Tata Cara Mandi Haid dan Mandi Junub

Diringkas dari majalah As Sunah Edisi 04/Th.IV/1420-2000, oleh Ummu ‘Athiyah
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar

Haid adalah salah satu najis yang menghalangi wanita untuk melaksanakan ibadah sholat dan puasa (pembahasan mengenai hukum-hukum seputar haidh telah disebutkan dalam beberapa edisi yang lalu), maka setelah selesai haidh kita harus bersuci dengan cara yang lebih dikenal dengan sebutan mandi haid.


Agar ibadah kita diterima Allah maka dalam melaksanakan salah satu ajaran islam ini, kita harus melaksanakannya sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan Rasulullah telah menyebutkan tata cara mandi haid dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa Asma’ binti Syakal Radhiyallahu ‘Anha bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang mandi haidh, maka beliau bersabda:

تَأْخُذُإِحْدَا كُنَّ مَائَهَا وَسِدْرَهَا فَتََطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ أوْ تَبْلِغُ فِي الطُّهُورِ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُُهُ دَلْكًا شَدِ يْدًا حَتََّى تَبْلِغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا المَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطْهُرُ بِهَا قَالَتْ أسْمَاءُ كَيْفَ أتََطَهَّرُبِهَا قَالَ سُبْحَانَ الله ِتَطَهُّرِي بِهَا قَالَتْْ عَائِشَةُ كَأنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ تَتَبَّعِي بِهَا أثَرَالدَّمِ

“Salah seorang di antara kalian (wanita) mengambil air dan sidrahnya (daun pohon bidara, atau boleh juga digunakan pengganti sidr seperti: sabun dan semacamnya-pent) kemudian dia bersuci dan membaguskan bersucinya, kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air sampai pada kulit kepalanya, kemudian dia menyiramkan air ke seluruh badannya, lalu mengambil sepotong kain atau kapas yang diberi minyak wangi kasturi, kemudian dia bersuci dengannya. Maka Asma’ berkata: “Bagaimana aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah” maka ‘Aisyah berkata kepada Asma’: “Engkau mengikuti (mengusap) bekas darah (dengan kain/kapas itu).”

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa seorang wanita bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang mandi dari haid. Maka beliau memerintahkannya tata cara bersuci, beliau bersabda:

تَأْخُذُ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهُّرُ بِهَا قَالَتْ كَيْفَ أَتَطَهُّرُ بِهَاقَالَ تَطَهَّرِي بِهَاسُبْحَانَ اللهِ.قَالَتْ عَائِشَةُ وَاجْتَذَبْتُهَا إِلَيَّ فَقُلْتُ تَتَبْعِي بِهَاأَثَرَا لدَّمِ

“Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya. Wanita itu berkata: “Bagaimana caranya aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah bersucilah!” Maka ‘Aisyah menarik wanita itu kemudian berkata: “Ikutilah (usaplah) olehmu bekas darah itu dengannya(potongan kain/kapas).” (HR. Muslim: 332)

An-Nawawi rahimahullah berkata (1/628): “Jumhur ulama berkata (bekas darah) adalah farji (kemaluan).” Beliau berkata (1/627): “Diantara sunah bagi wanita yang mandi dari haid adalah mengambil minyak wangi kemudian menuangkan pada kapas, kain atau semacamnya, lalu memasukkannya ke dalam farjinya setelah selesai mandi, hal ini disukai juga bagi wanita-wanita yang nifas karena nifas adalah haid.” (Dinukil dari Jami’ Ahkaam an-Nisaa’: 117 juz: 1).

Syaikh Mushthafa Al-’Adawy berkata: “Wajib bagi wanita untuk memastikan sampainya air ke pangkal rambutnya pada waktu mandinya dari haidh baik dengan menguraikan jalinan rambut atau tidak.Apabila air tidak dapat sampai pada pangkal rambut kecuali dengan menguraikan jalinan rambut maka dia (wanita tersebut) menguraikannya-bukan karena menguraikan jalinan rambut adalah wajib-tetapi agar air dapat sampai ke pangkal rambutnya, Wallahu A’lam.” (Dinukil dari Jami’ Ahkaam An-Nisaa’ hal: 121-122 juz: 1 cet: Daar As-Sunah).

Maka wajib bagi wanita apabila telah bersih dari haidh untuk mandi dengan membersihkan seluruh anggota badan; minimal dengan menyiramkan air ke seluruh badannya sampai ke pangkal rambutnya; dan yang lebih utama adalah dengan tata cara mandi yang terdapat dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ringkasnya sebagai berikut:

Wanita tersebut mengambil air dan sabunnya, kemudian berwudhu’ dan membaguskan wudhu’nya.
Menyiramkan air ke atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air dapat sampai pada tempat tumbuhnya rambut. Dalam hal ini tidak wajib baginya untuk menguraikan jalinan rambut kecuali apabila dengan menguraikan jalinan akan dapat membantu sampainya air ke tempat tumbuhnya rambut (kulit kepala).
Menyiramkan air ke badannya.
Mengambil secarik kain atau kapas(atau semisalnya) lalu diberi minyak wangi kasturi atau semisalnya kemudian mengusap bekas darah (farji) dengannya.
TATA CARA MANDI JUNUB BAGI WANITA

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, beliau berkata:

كُنَّاإِذَأَصَابَتْ إِحْدَانَاجَنَابَةٌأَخَذَتْ بِيَدَيْهَاثَلَاثًافَوْقَ رَأْسَهَا ثُمَََّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَاالْأيَْمَنِ وَبِيَدِهَااْلأُخْرَى عََََلَى شِقِّهَااْلأ يْسَرِ

“Kami ( istri-istri Nabi) apabila salah seorang diantara kami junub, maka dia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya tiga kali lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia mengambil air dengan satu tangannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh kanan dan dengan tangannya yang lain ke bagian tubuh yang kiri.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari: 277 dan Abu Dawud: 253)

Seorang wanita tidak wajib menguraikan (melepaskan) jalinan rambutnya ketika mandi karena junub, berdasarkan hadits berikut:

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha berkata:

قُاْتُ ياَرَسُولَ اللهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَرَأْسِي أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ:لاَإِنَّمَايَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيْنَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍثُمََّ تُفِيْضِيْنَ عَلَى سَائِرِ جَسَادِكِ الماَءَ فَتَطْهُرِيْن

Aku (Ummu Salamah) berkata: “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang wanita, aku menguatkan jalinan rambutku, maka apakah aku harus menguraikannya untuk mandi karena junub?” Beliau bersabda: “Tidak, cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu tiga kali kemudian engkau mengguyurkan air ke badanmu, kemudian engkau bersuci.” (Hadits Shahih riwayat Muslim, Abu Dawud: 251, an-Nasaai: 1/131, Tirmidzi:1/176, hadits: 105 dan dia berkata: “Hadits Hasan shahih,” Ibnu Majah: 603)

Ringkasan tentang mandi junub bagi wanita adalah:

Seorang wanita mengambil airnya, kemudian berwudhu dan membaguskan wudhu’nya (dimulai dengan bagian yang kanan).
Menyiramkan air ke atas kepalanya tiga kali.
Menggosok-gosok kepalanya sehingga air sampai pada pangkal rambutnya.
Mengguyurkan air ke badan dimulai dengan bagian yang kanan kemudian bagian yang kiri.
Tidak wajib membuka jalinan rambut ketika mandi.
Tata cara mandi yang disebutkan itu tidaklah wajib, akan tetapi disukai karena diambil dari sejumlah hadits-hadits Rasululllah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Apabila dia mengurangi tata cara mandi sebagaimana yang disebutkan, dengan syarat air mengenai (menyirami) seluruh badannya, maka hal itu telah mencukupinya. Wallahu A’lam bish-shawab.

Bacaan Sujud Tilawah dalam Tinjauan

Pembahasan Rinci Sujud Tilawah
Seri Dua dari Tiga Tulisan



Apakah Disyariatkan Sujud Tilawah (Dil Luar Shalat) Dalam Keadaan Suci (Berwudhu)?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam sujud tilawah disyari’atkan untuk berwudhu sebagaimana shalat. Oleh karena itu, para ulama mensyariatkan untuk bersuci (thoharoh) dan menghadap kiblat dalam sujud sahwi sebagaimana berlaku syarat-syarat shalat lainnya.

Namun, ulama lain yaitu Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak disyari’atkan untuk thoharoh karena sujud tilawah bukanlah shalat. Namun sujud tilawah adalah ibadah yang berdiri sendiri. Dan diketahui bahwa jenis ibadah tidaklah disyari’atkan thoharoh. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu ‘Umar, Asy Sya’bi dan Al Bukhari. Pendapat kedua inilah yang lebih tepat.

Dalil dari pendapat kedua di atas adalah hadits dari Ibnu ‘Abbas. Beliau radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ سَجَدَ بِالنَّجْمِ وَسَجَدَ مَعَهُ المُسْلِمُوْنَ وَالمُشْرِكُوْنَ وَالجِنُّ وَالأِنْسُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sujud tilawah tatkala membaca surat An Najm, lalu kaum muslimin, orang-orang musyrik, jin dan manusia pun ikut sujud.” (HR. Bukhari)

Al Bukhari membawa riwayat di atas pada Bab “Kaum muslimin bersujud bersama orang-orang musyrik, padahal kaum musyrik itu najis dan tidak memiliki wudhu.” Jadi, menurut pendapat Bukhari berdasarkan riwayat di atas, sujud tilawah tidaklah ada syarat berwudhu. Dalam bab tersebut, Al Bukhari juga membawakan riwayat bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berwudhu dalam keadaan tidak berwudhu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

وَسُجُودُ الْقُرْآنِ لَا يُشْرَعُ فِيهِ تَحْرِيمٌ وَلَا تَحْلِيلٌ : هَذَا هُوَ السُّنَّةُ الْمَعْرُوفَةُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ عَامَّةُ السَّلَفِ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَنْ الْأَئِمَّةِ الْمَشْهُورِينَ . وَعَلَى هَذَا فَلَيْسَتْ صَلَاةً فَلَا تُشْتَرَطُ لَهَا شُرُوطُ الصَّلَاةِ بَلْ تَجُوزُ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ . كَمَا كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَسْجُدُ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ ؛ لَكِنْ هِيَ بِشُرُوطِ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُخِلَّ بِذَلِكَ إلَّا لِعُذْرِ

“Sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah tidaklah disyari’atkan untuk takbiratul ihram, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’ruf dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga dianut oleh para ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah masyhur. Oleh karena itu, sujud tilawah tidaklah seperti shalat yang memiliki syarat yaitu disyariatkan untuk bersuci terlebih dahulu. Jadi, sujud tilawah diperbolehkan meski tanpa thoharoh (bersuci). Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Beliau pernah bersujud, namun tanpa thoharoh. Akan tetapi apabila seseorang memenuhi persyaratan sebagaimana shalat, maka itu lebih utama. Jangan sampai seseorang meninggalkan bersuci ketika sujud, kecuali ada udzur.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/165)

Asy Syaukani mengatakan,

لَيْسَ فِي أَحَادِيثِ سُجُودِ التِّلَاوَةِ مَا يَدُلُّ عَلَى اعْتِبَارِ أَنْ يَكُونَ السَّاجِدُ مُتَوَضِّئًا وَقَدْ كَانَ يَسْجُدُ مَعَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَضَرَ تِلَاوَتَهُ ، وَلَمْ يُنْقَلْ أَنَّهُ أَمَرَ أَحَدًا مِنْهُمْ بِالْوُضُوءِ ، وَيَبْعُد أَنْ يَكُونُوا جَمِيعًا مُتَوَضِّئِينَ .
وَأَيْضًا قَدْ كَانَ يَسْجُدُ مَعَهُ الْمُشْرِكُونَ كَمَا تَقَدَّمَ وَهُمْ أَنْجَاسٌ لَا يَصِحُّ وُضُوؤُهُمْ .
وَقَدْ رَوَى الْبُخَارِيُّ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَسْجُدُ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ .

“Tidak ada satu hadits pun tentang sujud tilawah yang menjelaskan bahwa orang yang melakukan sujud tersebut dalam keadaan berwudhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersujud dan di situ ada orang-orang yang mendengar bacaan beliau, namun tidak ada penjelasan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan salah satu dari yang mendengar tadi untuk berwudhu. Boleh jadi semua yang melakukan sujud tersebut dalam keadaan berwudhu dan boleh jadi yang melakukan sujud bersama orang musyrik sebagaimana diterangkan dalam hadits yang telah lewat. Padahal orang musyrik adalah orang yang paling najis, yang pasti tidak dalam keadaan berwudhu. Al Bukhari sendiri meriwayatkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwa dia bersujud dalam keadaan tidak berwudhu. ” (Nailul Author, 4/466, Asy Syamilah)

Apakah Sujud Tilawah Mesti Menghadap Kiblat?

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,

وَأَمَّا سَتْرُ الْعَوْرَةِ وَالِاسْتِقْبَالِ مَعَ الْإِمْكَانِ فَقِيلَ : إنَّهُ مُعْتَبَرٌ اتِّفَاقًا .

“Adapun menutup aurat dan menghadap kiblat, maka ada ulama yang mengatakan bahwa hal itu disyariatkan berdasarkan kesepakatan ulama.” (Nailul Author, 4/467, Asy Syamilah)

Namun karena sujud tilawah bukanlah shalat, maka tidak disyari’atkan untuk menghadap kiblat. Akan tetapi, yang lebih utama adalah tetap dalam keadaan menghadap kiblat dan tidak boleh seseorang meninggalkan hal ini kecuali jika ada udzur. Jadi, menghadap kiblat bukanlah syarat untuk melakukan sujud tilawah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/450)

Bagaimana Tata Cara Sujud Tilawah bagi Orang yang Sedang Berjalan atau Berkendaraan?

Siapa saja yang membaca atau mendengar ayat sajadah sedangkan dia dalam keadaan berjalan atau berkendaraan, kemudian ingin melakukan sujud tilawah, maka boleh pada saat itu berisyarat dengan kepalanya ke arah mana saja. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/450 dan lihat pula Al Mughni)

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ السُّجُودِ عَلَى الدَّابَةِ فَقَالَ : اسْجُدْ وَأَوْمِئْ.

Dari Ibnu ‘Umar: Beliau ditanyakan mengenai sujud (tilawah) di atas tunggangan. Beliau mengatakan, “Sujudlah dengan isyarat.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih)

Bacaan Ketika Sujud Tilawah

Bacaan ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:

(1) Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca:

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)

(2) Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى

“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)

(3) Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca:

اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

“Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no. 771)

Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana tersebar di berbagai buku dzikir dan do’a adalah berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan keshohihannya. Bacaan tersebut terdapat dalam hadits berikut:

(1) Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam sujud tilawah di malam hari beberapa kali bacaan:

سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

“Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan An Nasa-i)

(2) Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat diriku sendiri di malam hari sedangkan aku tertidur (dalam mimpi). Aku seakan-akan shalat di belakang sebuah pohon. Tatkala itu aku bersujud, kemudian pohon tersebut juga ikut bersujud. Tatkala itu aku mendengar pohon tersebut mengucapkan:

اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِى بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا وَضَعْ عَنِّى بِهَا وِزْرًا وَاجْعَلْهَا لِى عِنْدَكَ ذُخْرًا وَتَقَبَّلْهَا مِنِّى كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ

“Allahummaktub lii bihaa ‘indaka ajron, wa dho’ ‘anniy bihaa wizron, waj’alhaa lii ‘indaka dzukhron, wa taqqobbalhaa minni kamaa taqobbaltahaa min ‘abdika dawuda”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Kedua hadits di atas terdapat perselisihan ulama mengenai statusnya.

Untuk hadits pertama dikatakan shahih oleh At Tirmidzi, Al Hakim, An Nawawi, Adz Dzahabi, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Al Albani dan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali. Sedangkan tambahan “Fatabaarakallahu ahsanul kholiqiin” dishahihkan oleh Al Hakim, Adz Dzahabi dan An Nawawi. Namun sebagian ulama lainnya semacam guru dari penulis Shahih Fiqih Sunnah, gurunya tersebut bernama Syaikh Abi ‘Umair dan menilai bahwa hadits ini lemah (dho’if).

Sedangkan hadits kedua dikatakan hasan oleh At Tirmidzi. Menurut Al Hakim, hadits kedua di atas adalah hadits yang shahih. Adz Dzahabi juga sependapat dengannya. Sedangkan ulama lainnya menganggap bahwa hadits ini memang memiliki syahid (penguat), namun penguat tersebut tidak mengangkat hadits ini dari status dho’if (lemah). Jadi, intinya kedua hadits di atas masih mengalami perselisihan mengenai keshahihannya. Oleh karena itu, bacaan ketika sujud tilawah diperbolehkan dengan bacaan sebagaimana sujud dalam shalat seperti yang kami contohkan di atas.

Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- mengatakan,

أَمَّا أَنَا فَأَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّي الْأَعْلَى

“Adapun (ketika sujud tilawah), maka aku biasa membaca: Subhaana robbiyal a’laa” (Al Mughni, 3/93, Asy Syamilah)

Dan di antara bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan “Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin”, sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Ali yang diriwayatkan oleh Muslim. Wallahu a’lam.

tata cara wudhu sesuai petunjuk nabi

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

S etelah kita mempelajari berbagai macam najis, selanjutnya kita akan mengenal bagaimanakah tata cara wudhu yang benar yang sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Semoga dengan pembahasan ini pula dapat meluruskan kesalahan-kesalahan yang selama ini ada. Hanya Allah yang beri taufik.

Shalat Tidak Sah Tanpa Berwudhu

Dari Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Tidak ada shalat kecuali dengan thoharoh. Tidak ada sedekah dari hasil pengkhianatan.”[1]

An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “Hadits ini adalah nash[2] mengenai wajibnya thoharoh untuk shalat. Kaum muslimin telah bersepakat bahwa thoharoh merupakan syarat sah shalat.” [3]

Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Shalat salah seorang di antara kalian tidak akan diterima -ketika masih berhadats- sampai dia berwudhu."[4]


Tata Cara Wudhu

Mengenai tata cara berwudhu diterangkan dalam hadits berikut:

حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ - رضى الله عنه - دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلاَةِ.

Humran pembantu Utsman menceritakan bahwa Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu pernah meminta air untuk wudhu kemudian dia ingin berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak tangannya 3 kali, kemudian berkumur-kumur diiringi memasukkan air ke hidung, kemudian membasuh mukanya 3 kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai ke siku tiga kali, kemudian mencuci tangan yang kiri seperti itu juga, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kaki kanan sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki yang kiri seperti itu juga. Kemudian Utsman berkata, "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, "Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia shalat dua rakaat dengan khusyuk (tidak memikirkan urusan dunia dan yang tidak punya kaitan dengan shalat[5]), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu". Ibnu Syihab berkata, "Ulama kita mengatakan bahwa wudhu seperti ini adalah contoh wudhu yang paling sempurna yang dilakukan seorang hamba untuk shalat".[6]

Dari hadits ini dan hadits lainnya, kita dapat meringkas tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut.

Berniat –dalam hati- untuk menghilangkan hadats.
Membaca basmalah: ‘bismillah’.
Membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali.
Mengambil air dengan tangan kanan, lalu dimasukkan dalam mulut (berkumur-kumur atau madmadho) dan dimasukkan dalam hidung (istinsyaq) sekaligus –melalui satu cidukan-. Kemudian air tersebut dikeluarkan (istintsar) dengan tangan kiri. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali.
Membasuh seluruh wajah sebanyak tiga kali dan menyela-nyela jenggot.
Membasuh tangan –kanan kemudian kiri- hingga siku dan sambil menyela-nyela jari-jemari.
Membasuh kepala 1 kali dan termasuk di dalamnya telinga. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Kedua telinga termasuk bagian dari kepala" (HR Ibnu Majah, disahihkan oleh Al Albani). Tatacara membasuh kepala ini adalah sebagai berikut, kedua telapak tangan dibasahi dengan air. Kemudian kepala bagian depan dibasahi lalu menarik tangan hingga kepala bagian belakang, kemudian menarik tangan kembali hingga kepala bagian depan. Setelah itu langsung dilanjutkan dengan memasukkan jari telunjuk ke lubang telinga, sedangkan ibu jari menggosok telinga bagian luar.
Membasuh kaki 3 kali hingga ke mata kaki dengan mendahulukan kaki kanan sambil membersihkan sela-sela jemari kaki.
Berikut catatan penting yang perlu diperhatikan dalam tata cara wudhu di atas.

Niat Cukup dalam Hati

Yang dimaksud niat adalah al qosd (keinginan) dan al irodah (kehendak).[7] Sedangkan yang namanya keinginan dan kehendak pastilah dalam hati, sehingga niat pun letaknya dalam hati.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- mengatakan, “Letak niat adalah di hati bukan di lisan. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin dalam segala macam ibadah termasuk shalat, thoharoh, zakat, haji, puasa, memerdekakan budak, jihad dan lainnya.”[8]

Ibnul Qayim -rahimahullah- mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –di awal wudhu- tidak pernah mengucapkan “nawaitu rof’al hadatsi (aku berniat untuk menghilangkan hadats ...)”. Beliau pun tidak menganjurkannya. Begitu pula tidak ada seorang sahabat pun yang mengajarkannya. Tidak pula terdapat satu riwayat –baik dengan sanad yang shahih maupun dho’if (lemah)- yang menyebutkan bahwa beliau mengucapkan bacaan tadi.”[9]

Berkumur-kumur dan Memasukkan Air dalam Hidung Dilakukan Sekaligus Melalui Satu Cidukan Tangan

Ibnul Qayyim menyebutkan,

“Ketika berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung (istinsyaq), terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan satu cidukan tangan, terkadang dengan dua kali cidukan dan terkadang pula dengan tiga kali cidukan. Namun beliau menyambungkan (tidak memisah) antara kumur-kumur dan istinsyaq. Beliau menggunakan separuh cidukan tangan untuk mulut dan separuhnya lagi untuk hidung. Ketika suatu saat beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dengan satu cidukan maka kemungkinan cuma dilakukan seperti ini yaitu kumur-kumur dan istinsyaq disambung (bukan dipisah).

Adapun ketika beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dengan dua atau tiga cidukan, maka di sini baru kemungkinan berkumur-kumur dan beristinsyaq bisa dipisah. Akan tetapi, yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan adalah memisahkan antara berkumur-kumur dan istinsyaq. Sebagaimana disebutkan dalam shahihain[10] dari ‘Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tamadh-madho (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung) melalui air satu telapak tangan dan seperti ini dilakukan tiga kali. Dalam lafazh yang lain disebutkan bahwa tamadh-madho (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung) melalui tiga kali cidukan. Inilah riwayat yang lebih shahih dalam masalah kumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung).

Tidak ada satu hadits shahih pun yang menyatakan bahwa kumur-kumur dan istinsyaq dipisah. Kecuali ada riwayat dari Tholhah bin Mushorrif dari ayahnya dari kakeknya yang mengatakan bahwa dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisah antara kumur-kumur dan istinsyaq[11]. Dan riwayat tersebut hanyalah berasal dari Tholhah dari ayahnya, dari kakeknya. Padahal kakekanya tidak dikenal sebagai seorang sahabat.”[12]

Membasuh Kepala Cukup Sekali

Ibnul Qayyim menjelaskan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membasuh kepalanya seluruh dan terkadang beliau membasuh ke depan kemudian ke belakang. Sehingga dari sini sebagian orang mengatakan bahwa membasuh kepala itu dua kali. Akan tetapi yang tepat adalah membasuh kepala cukup sekali (tanpa diulang). Untuk anggota wudhu lain biasa diulang. Namun untuk kepala, cukup dibasuh sekali. Inilah pendapat yang lebih tegas dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berbeda dengan cara ini.

Adapun hadits yang membicarakan beliau membasuh kepala lebih dari sekali, terkadang haditsnya shahih, namun tidak tegas. Seperti perkataan sahabat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan mengusap tiga kali tiga kali. Seperti pula perkataan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh kepala dua kali. Terkadang pula haditsnya tegas, namun tidak shahih. Seperti hadits Ibnu Al Bailamani dari ayahnya dari ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap tangannya tiga kali dan membasuh kepala juga tiga kali. Namun perlu diketahui bahwa Ibnu Al Bailamani dan ayahnya adalah periwayat yang lemah.”[13]

Kepala Sekaligus Diusap dengan Telinga

Telinga hendaknya diusap berbarengan setelah kepala karena telinga adalah bagian dari kepala. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ

“Dua telinga adalah bagian dari kepala.” [14] Hadits ini adalah hadits yang lemah jika marfu’ (dianggap ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Akan tetapi hadits di atas dikatakan oleh beberapa ulama salaf di antaranya adalah Ibnu ‘Umar.[15]

Ash Shon’ani menjelaskan,

”Walaupun sanad hadits ini dikritik, akan tetapi ada berbagai riwayat yang menguatkan satu sama lain. Sebagai penguat hadits tersebut adalah hadits yang mengatakan bahwa membasuh dua telinga adalah sekaligus dengan kepala sebanyak sekali. Hadits yang menyebutkan seperti ini amatlah banyak, ada dari ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ar Robi’ dan ‘Utsman. Semua hadits tersebut bersepakat bahwa membasuh kedua telinga sekaligus bersama kepala dengan melalui satu cidukan air, sebagaimana hal ini adalah makna zhohir (tekstual) dari kata marroh (yang artinya: sekali). Jika untuk membasuh kedua telinga digunakan air yang baru, tentu tidak dikatakan, “Membasuh kepala dan telinga sekali saja”. Jika ada yang memaksudkan bahwa beliau tidaklah mengulangi membasuh kepala dan telinga, akan tetapi yang dimaksudkan adalah mengambil air yang baru, maka ini pemahaman yang jelas keliru.

Adapun riwayat yang menyatakan bahwa air yang digunakan untuk membasuh kedua telinga berbeda dengan kepala, itu bisa dipahami kalau air yang ada di tangan ketika membasuh kepala sudah kering, sehingga untuk membasuh telinga digunakan air yang baru.”[16]

Seluruh Kepala Dibasuh, Bukan Hanya Ubun-Ubun Saja

Allah Ta’ala berfirman,

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ

“Dan basuhlah kepala kalian.” (QS. Al Maidah: 6)

Fungsi huruf baa’ dalam ayat di atas adalah lil ilsoq artinya melekatkan dan bukan li tab’idh (menyebutkan sebagian). Maknanya sama dengan membasuh wajah ketika tayamum, sebagaimana dalam ayat,

فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ

“Dan basuhlah wajah kalian.” (QS. Al Maidah: 6). Dua dalil di atas masih berada dalam konteks ayat yang sama. Mengusap wajah pada tayamum bukan hanya sebagian (namun seluruhnya) sehingga yang dimaksudkan dengan mengusap kepala adalah mengusap seluruh kepala.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,

“Apabila ayat yang membicarakan tentang tayamum tidak mengatakan bahwa mash (membasuh) wajah hanya sebagian padahal tayamum adalah pengganti wudhu dan tayamum jarang-jarang dilakukan, bagaimana bisa ayat wudhu yang menjelaskan mash (membasuh) kepala cuma dikatakan sebagian saja yang dibasuh padahal wudhu sendiri adalah hukum asal dalam berthoharoh dan sering berulang-ulang dilakukan?! Tentu yang mengiyakan hal ini tidak dikatakan oleh orang yang berakal.”[17]

Begitu pula terdapat dalam hadits lain dijelaskan bahwa membasuh kepala adalah seluruhnya dan bukan sebagian. Dalilnya,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ أَتَى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَأَخْرَجْنَا لَهُ مَاءً فِى تَوْرٍ مِنْ صُفْرٍ فَتَوَضَّأَ ، فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِهِ وَأَدْبَرَ ، وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ

Dari ‘Abdullah bin Zaid, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, lalu kami mengeluarkan untuknya air dalam bejana dari kuningan, kemudian akhirnya beliau berwudhu. Beliau mengusap wajahnya tiga kali, mengusap tangannya dua kali dan membasuh kepalanya, dia menarik ke depan kemudian ditarik ke belakang, kemudian terakhir beliau mengusap kedua kakinya.[18]

Dalam riwayat lain dikatakan,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ كُلَّهُ

“Beliau membasuh seluruh kepalanya.”[19]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Tidak ada satu pun sahabat yang menceritakan tata cara wudhu Nabi yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mencukupkan dengan membasuh sebagian kepala saja.”[20] Namun ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh ubun-ubun, beliau juga sekaligus membasuh imamahnya.[21]

Sedangkan untuk wanita muslimah tata cara membasuh kepala tidak dibedakan dengan pria. Akan tetapi, boleh bagi wanita untuk membasuh khimarnya saja. Akan tetapi, jika ia membasuh bagian depan kepalanya disertai dengan khimarnya, maka itu lebih bagus agar terlepas dari perselisihan para ulama. Wallahu a’lam.[22]

Semoga bermanfaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuas

Puasa Arofah Ikut Siapa?

Permasalahan ini sering muncul dari berbagai pihak ketika menghadapi hari Arofah. Ketika para jama’ah haji sudah wukuf tanggal 9 Dzulhijah di Saudi Arabia, padahal di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijah, mana yang harus diikuti dalam puasa Arofah? Apakah ikut waktu jama’ah haji wukuf atau ikut penanggalan Hijriyah di negeri ini sehingga puasa Arofah tidak bertepatan dengan wukuf di Arofah?

Syaikh Muhammad bin Sholih ‘Utsaimin pernah diajukan pertanyaan:

Kami khususnya dalam puasa Ramadhan mubarok dan puasa hari Arofah, di antara saudara-saudara kami di sini terpecah menjadi tiga pendapat.

Pendapat pertama: kami berpuasa bersama Saudi Arabia dan juga berhari Raya bersama Saudi Arabia.

Pendapat kedua: kami berpuasa bersama negeri kami tinggal dan juga berhari raya bersama negeri kami.

Pendapat ketiga: kami berpuasa Ramadhan bersama negeri kami tinggal, namun untuk puasa Arofah kami mengikuti Saudi Arabia.

Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai puasa bulan Ramadhan dan puasa Hari Arofah. Kami memberikan sedikit informasi bahwa lima tahun belakangan ini, kami tidak pernah bersamaan dengan Saudi Arabia ketika melaksanakan puasa Ramadhan dan puasa Arofah. Biasanya kami di negeri ini memulai puasa Ramadhan dan puasa Arofah setelah pengumuman di Saudi Arabia. Kami biasa telat satu atau dua hari dari Saudi, bahkan terkadang sampai tiga hari. Semoga Allah senantiasa menjaga antum.

Jawaban:

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat dalam masalah ru’yah hilal apabila di satu negeri kaum muslimin telah melihat hilal sedangkan negeri lain belum melihatnya. Apakah kaum muslimin di negeri lain juga mengikuti hilal tersebut ataukah hilal tersebut hanya berlaku bagi negeri yang melihatnya dan negeri yang satu matholi’ (tempat terbit hilal) dengannya.

Pendapat yang lebih kuat adalah kembali pada ru’yah hilal di negeri setempat. Jika dua negeri masih satu matholi’ hilal, maka keduanya dianggap sama dalam hilal. Jika di salah satu negeri yang satu matholi’ tadi telah melihat hilal, maka hilalnya berlaku untuk negeri tetangganya tadi. Adapun jika beda matholi’ hilal, maka setiap negeri memiliki hukum masing-masing. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Pendapat inilah yang lebih bersesuaian dengan Al Qur’an, As Sunnah dan qiyas.

Dalil dari Al Qur’an yaitu firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185). Dipahami dari ayat ini, barang siapa yang tidak melihat hilal, maka ia tidak diharuskan untuk puasa.

Adapun dalil dari As Sunnah, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا ، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا

“Jika kalian melihat hilal Ramadhan, maka berpuasalah. Jika kalian melihat hilal Syawal, maka berhari rayalah.” (HR. Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080). Dipahami dari hadits ini, siapa saja yang tidak menyaksikan hilal, maka ia tidak punya kewajiban puasa dan tidak punya keharusan untuk berhari raya.

Adapun dalil qiyas, mulai berpuasa dan berbuka puasa hanya berlaku untuk negeri itu sendiri dan negeri yang terbit dan tenggelam mataharinya sama. Ini adalah hal yang disepakati. Engkau dapat saksikan bahwa kaum muslimin di negeri timur sana -yaitu Asia-, mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah barat dunia, begitu pula dengan buka puasanya. Hal ini terjadi karena fajar di negeri timur terbit lebih dulu dari negeri barat. Begitu pula dengan tenggelamnya matahari lebih dulu di negeri timur daripada negeri barat. Jika bisa terjadi perbedaan sehari-hari dalam hal mulai puasa dan berbuka puasa, maka begitu pula hal ini bisa terjadi dalam hal mulai berpuasa di awal bulan dan mulai berhari raya. Keduanya tidak ada bedanya.

Akan tetapi yang perlu jadi perhatian, jika dua negeri yang sama dalam matholi’ (tempat terbitnya hilal), telah diputuskan oleh masing-masing penguasa untuk mulai puasa atau berhari raya, maka wajib mengikuti keputusan penguasa di negeri masing-masing. Masalah ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan penguasalah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.

Berdasarkan hal ini, hendaklah kalian berpuasa dan berhari raya sebagaimana puasa dan hari raya yang dilakukan di negeri kalian (yaitu mengikuti keputusan penguasa). Meskipun memulai puasa atau berpuasa berbeda dengan negeri lainnya. Begitu pula dalam masalah puasa Arofah, hendaklah kalian mengikuti penentuan hilal di negeri kalian.

[Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 19/24-25, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arofah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”

Syaikh rahimahullah menjawab, “Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.

Misalnya di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arofah pada hari ini karena hari ini adalah hari Iedul Adha di negara mereka.

Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.

Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya” (HR Bukhari dan Muslim).

Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.

Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing)”.

[Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H]

Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Intinya, kita tetap berpuasa Ramadhan, berhari raya dan berpuasa Arofah sesuai dengan penetapan hilal yang ada di negeri ini, walaupun nantinya berbeda dengan puasa, hari raya atau wukuf di Saudi Arabia.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Hukum Khutbah Jum’at dengan Bahasa Non Arab

Kami memaparkan tema ini karena terdorong untuk mengetahui bagaimana pendapat para ulama terkait hukum khutbah Jum’at dengan menggunakan bahasa ‘ajam (non Arab). Faktor yang mendorong kami untuk melakukannya adalah sebuah diskusi ringan antara kami dengan seorang rekan kerja yang mengaku mengaji di Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), -hadaniyallahu wa iyyahu-.

Alhamdulillah, jawaban akan hal tersebut kami jumpai dalam kitab Syaikh Su’ud Asy Syuraim (imam dan khatib Masjid al-Haram) hafizhahullah, yang berjudul Asy Syamil fii Fiqh al Kitab wa al Khutbah. Artikel ini merupakan saduran dari subbab dalam kitab tersebut yang berjudul Al Khutbah bighairi al ‘Arabiyah au Tarjamatiha lighairi al ‘Arabiyah. Berikut ini kami menyajikannya ke hadapan anda. Semoga bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin seluruhnya.

Hukum Khutbah Jum’at dengan Selain Bahasa Arab

Tidak terdapat riwayat dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan mempersyaratkan khutbah Jum”at harus disampaikan dengan bahasa Arab sebagaimana tidak terdapat riwayat yang menunjukkan nabi atau salah seorang sahabat menyampaikan khutbah Jum’at dengan bahasa selain bahasa Arab padahal orang-orang Islam yang ‘ajam (non Arab) ada dan tersebar di negeri kaum muslimin setelah terjadi ekspansi yang dilakukan kaum muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan generasi setelahnya hanya berkhutbah dengan bahasa Arab karena itulah bahasa nasional mereka.

Ulama saling berbeda pendapat dalam membolehkan berkhutbah dengan selain bahasa Arab atau terjemahannya.

Al Qadhi Al Baghdadi al Maliki rahimahullah mengatakan, “Ibnu Al Qasim mengatakan, “Tidak sah –di dalam khutbah-, kecuali harus disampaikan dengan bahasa Arab.”[1]

Abu Al Husain Al ‘Imrani Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Ketika menyampaikan khutbah dipersyaratkan menggunakan bahasa Arab, karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafa Ar Rasyidin sesudahnya berkhutbah dengan menggunakan bahasa Arab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat.” Apabila di tengah-tengah suatu kaum tidak dijumpai seorang pun yang menguasai bahasa Arab, maka memungkinkan untuk menyampaikan khutbah dengan bahasa selain Arab. Salah seorang dari mereka wajib untuk mempelajari khutbah dengan berbahasa Arab sebagaimana pendapat yang telah kami kemukakan dalam pembahasan Takbirat al Ihram.”[2]

An Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat yang mempersyaratkan penggunaan bahasa Arab dalam berkhutbah sebagaimana hal itu diwajibkan dalam tasyahhud dan takbirat al ihram berdasarkan sabda nabi “shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat”. Demikian pula nabi hanya berkhutbah dengan bahasa Arab. Hal ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Asy Syafi’i.[3]

Al Marwadi Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Tidak sah khutbah Jum’at dengan bahasa selain Arab apabila mampu melakukannya berdasarkan pendapat yang shahih dalam madzhab (Hambali). Ada pendapat yang menyatakan hal tersebut diperbolehkan (sah) apabila tidak memiliki kemampuan berbahasa Arab.”[4]

Syaikh Abdullah bin Baz rahimahullah memberikan kesimpulan mengenai permasalahan ini, “Pendapat yang tepat, -wal ‘ilmu ‘indallah-, dalam merinci permasalahan ini. Apabila mayoritas jama’ah masjid merupakan non Arab yang tidak memahami bahasa Arab, maka tidak mengapa menyampaikan khutbah dengan selain bahasa Arab atau disampaikan dengan bahasa Arab kemudian diterjemahkan.

Apabila mayoritas jama’ah yang hadir di masjid adalah mereka yang mampu memahami bahasa Arab dan mengetahui maknanya, maka yang lebih utama adalah tetap menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab dan tidak menyelisihi petunjuk nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terlebih para salaf berkhutbah di berbagai masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang non-Arab, tidak terdapat riwayat yang menyatakan bahwa mereka menerjemahkan khutbah yang mereka sampaikan dengan bahasa Arab, karena kemuliaan itu untuk Islam dan kepemimpinan untuk bahasa Arab.

Dalil yang menunjukkan diperbolehkan menyampaikan khutbah Jum’at dengan selain bahasa Arab ketika dibutuhkan adalah karena hal tersebut merupakan ketentuan pokok dalam syari’at kita yaitu firman Allah ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٤)

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Ibrahim: 4).

Diantara dalil akan hal tersebut adalah realita para sahabat tatkala memerangi negeri ajam seperti Persia dan Romawi, mereka tidak memerangi kaum tersebut setelah mengajak mereka kepada Islam dengan perantaraan para penerjemah.[5]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Apabila dia berkhutbah di negeri Arab, maka dia harus menyampaikannya dengan bahasa Arab.

Apabila dia berkhutbah di luar negeri Arab, maka sebagian ulama mengatakan bahwa sang khatib harus menyampaikannya dengan bahasa Arab barulah kemudian berkhutbah dengan menggunakan bahasa kaum setempat.

Sebagian ulama mengatakan (dalam kondisi tersebut) tidak dipersyaratkan khutbah disampaikan dengan bahasa Arab bahkan wajib menyampaikannya dengan bahasa kaum setempat. Inilah pendapat yang tepat berdasarkan firman Allah ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٤)

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Ibrahim: 4).

Tidak mungkin menarik perhatian manusia untuk memperhatikan sebuah nasehat sedangkan mereka tidak memahami apa yang dikatakan oleh sang khatib? Dua khutbah yang terdapat dalam khutbah Jum’at, lafadznya tidaklah termasuk lafadz-lafadz yang digunakan sebagai media ibadah (seperti layaknya Al Quran), sehingga kita mengharuskan khutbah tersebut harus diucapkan dengan bahasa Arab. Akan tetapi, apabila melewati suatu ayat Al Quran, maka harus mengucapkannya dengan bahasa Arab, karena Al Quran tidak boleh dirubah dari bahasa Arab.”[6]

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa:

Ulama saling berselisih pendapat dalam membolehkan seorang untuk berkhutbah Jum’at dengan menggunakan bahasa ‘ajam (non Arab).
Berdasarkan penjelasan para ulama, pendapat yang tepat adalah penyampaian khutbah Jum’at diperinci sebagai berikut:
Apabila mayoritas jama’ah yang menghadiri khutbah mampu berbahasa Arab dan memahami maknanya, maka sang khotib selayaknya mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyampaikan menggunakan bahasa Arab.
Apabila mayoritas jama’ah tidak memahami bahasa Arab, maka sebagian ulama berpendapat sang khotib tetap harus menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab, kemudian baru menerjemahkannya dan sebagian yang lain mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah wajib dan khotib boleh atau bahkan wajib –berdasarkan keterangan Syaikh Al ‘Utsaimin- menyampaikan khutbah dengan bahasa kaum setempat berdasarkan firman Allah ta’ala di surat Ibrahim ayat 4.
Waffaqaniyallahu wa iyyakum.

Buaran Indah, Tangerang, 25 Jumadi Ats Tsaniyah 1431 H.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim