Selasa, 09 November 2010

Islam berpegang teguh dgn Alquran n sunnah

sekarang ini sdh banyak aliran islam yang ada di dunia ini,tidak perlu saya sebutkan satu persatu.namun yg perlu di garis bawahi adalah bagaimana kita mau membawa atau mengikuti faham di dalam islam itu tersendiri.menurut saya hal paling aman saat ini dan insya'allah selamat dunia akhirat adalah mengikuti para salafi dgn berpegang teguh pada kitabulloh dan alsunnah.mengapa sich kita harus melakukan ibadah2 yg di pertentang/yg belum jelas dalilnya,bukankah wahyu yg sudah di turunkan ALLAH s.w.t pada junjungan kita nabi agung MUHAMAD s.a.w sudah sangat sempurna,jadi kita tinggal menerimanya dan mengamalkanya,tanpa harus menambahi atau menguranginya.karena hal yg baru dalam agama atau penembahan amalan yg tanpa ada dalil dan hadistnya adalah bid'ah,dan bid'ah adalah kesesesatan,dan kesesatan itu tempatnya di neraka.

seperti disebutkan dalam firman Allah.
“Artinya : Barangsiapa yang ingkar kepada Thogut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada ikatan tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [Al-Baqarah]
Sebab sebagaimana tauhid tidak diketahui kecuali dengan menjauhi lawannya, yaitu syirik, dan iman tidak akan terealisasikan keculi dengan menjauhi lawannya, yaitu kufur, maka kebenaran tidak akan didapatkan kecuali dengan mencermati kesalahan. Dan yang sepenuhnya sama seperti itu adalah “Sunnah”. Maka pemahaman sunnah tidak akan jelas dan tanda-tandanya tidak akan terang kecuali dengan mengetahui lawan katanya, yaitu “Bid’ah”. Dan sesungguhnya yang demikian itu telah disyaratkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.
“Artinya : Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang baru, dan setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah di dalam neraka”
Demikian pula dalam sabdanya.
“Artinya : Maka kewajiban kamu adalah memegang teguh sunnahku dan sunnah khulafa’ rasyidin yang terbimbing. Peganglah erat-erat sunnah-sunnah itu dan hindarilah olehmu segala hal yang baru. Sebab setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setuap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat di dalam neraka”[2].
Ini adalah perintah yang sangat jelas dan perkataan yang sangat faih yang mengharuskan kita mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah.

Adab Meminta Izin

Di tengah masyarakat sekarang ini, masih sering kita saksikan perbuatan salah yang dianggap lumrah. Atau perbuatan berbahaya yang dianggap biasa. Hal ini wajar, karena masih sangat sedikit dari mayoritas kaum muslimin orang yang benar-benar memahami tuntunan syari'at. Sedikit juga orang yang berkemauan keras untuk belajar dan mendalami agamanya.

Diantara kebiasaan yang kerap kita saksikan, yaitu seseorang memasuki rumah orang lain tanpa meminta izin si empunya rumah. Atau kita dapati seseorang mengintip ke dalam rumah orang lain karena si empunya tak menjawab salamnya.

Masih banyak kaum muslimin yang menganggap ini sebagai perbuatan sepele yang sah-sah saja. Apalagi bila si empunya rumah termasuk kerabat atau sahabat yang dekat dengannya. Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti itu merupakan perbuatan dosa yang dapat membawa mudharat yang sangat berbahaya.

Rumah, pada hakikatnya adalah hijab bagi seseorang. Di dalamnya seseorang biasa membuka aurat. Di sana juga terdapat perkara-perkara yang ia merasa malu bila orang lain melihatnya. Tidak dapat kita bayangkan, bagaimana bila akhirnya pandangan mata terjatuh pada perkara-perkara yang haram. Ditambah lagi tabiat manusia yang mudah curiga-mencurigai, berprasangka buruk satu sama lain. Akankah akibat-akibat buruk itu dapat terelakkan bila masing-masing pribadi jahil dan tak mengindahkan tuntunan agama?

Syari'at Islam adalah syari'at yang universal. Tidak ada satupun perkara yang membawa kemashlahatan bagi kehidupan manusia, kecuali Islam memerintahkannya. Dan tidak ada satu pun perkara yang dapat membawa mudharat bagi kehidupan manusia, kecuali Islam melarangnya. Tidak terkecuali dalam masalah adab meminta izin atau disebut isti'dzan. Islam telah memberikan tuntunan adab yang sangat agung dalam masalah ini. Berikut ini kami berusaha sedikit mengulasnya.

MEMINTA IZIN BERBEDA DENGAN UCAPAN SALAM
Sebagian orang beranggapan, bila salam telah dijawab, berarti ia boleh masuk ke dalam rumah tanpa harus meminta izin. Ini adalah anggapan yang jelas keliru. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

"Hai, orang orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat".[An Nur:27].

Ayat di atas dengan jelas membedakan antara salam dan meminta izin. Dengan demikian, seseorang yang telah dijawab salamnya, harus meminta izin sebelum masuk ke dalam rumah. Inilah adab yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Kaladah bin Al Hambal, bahwasanya Shafwan bin Umayyah mengutusnya pada hari penaklukan kota Makkah dengan membawa liba' [1], jadayah [2] dan dhaghabis [3]. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di atas lembah. Aku menemui Beliau tanpa mengucapkan salam dan tanpa minta izin. Maka Beliau bersabda:

"اِرْجِعْ فَقُلْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أأدخل"

"Keluarlah, ucapkanlah salam dan katakan: “Bolehkah aku masuk?” [Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa’i]

HENDAKLAH BERDIRI DI SISI KIRI ATAU KANAN PINTU
Bagi orang yang meminta izin, hendaklah berdiri di sisi kanan atau kiri pintu. Dan janganlah ia berdiri tepat di depan pintu. Hal ini dimaksudkan agar pandangan mata tidak jatuh pada perkara-perkara yang tidak layak dipandang saat pintu terkuak. Terlebih lagi, jika pintu memang dalam keadaan terbuka. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr, ia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَي بَابَ قَوْمٍ لَمْ يَسْتَقْبِلِ البَابَ مِنْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ وَلَكِنْ مِنْ رُكْنِهِ الأَيْمَنِ أَوْ الأَيْسَرِ وَيَقُوْلُ "السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ"

"Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi rumah orang, Beliau tidak berdiri di depan pintu, akan tetapi di samping kanan atau samping kiri, kemudian Beliau mengucapkan salam "assalamu 'alaikum, assalamu 'alaikum", karena saat itu rumah-rumah belum dilengkapi dengan tirai". [Hadist riwayat Abu Dawud].

Abu Dawud juga meriwayatkan dari Huzail, ia berkata: "Seorang lelaki –Utsman bin Abi Syaibah menyebutkan, lelaki ini adalah Sa'ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu - datang lalu berdiri di depan pintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta izin. Dia berdiri tepat di depan pintu. Utsman bin Abi Syaibah mengatakan: Berdiri menghadap pintu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:

"هَكَذَا عَنْكَ - أَوْ هَكَذَا - فَإِنَّمَا الاِسْتِئْذَانُ مِنَ النَّظَرِ"

"Menyingkirlah dari depan pintu, sesungguhnya meminta izin disyari’atkan untuk menjaga pandangan mata".

BILA TIDAK DIIZINKAN HENDAKLAH IA KEMBALIDalam Al Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فِيهَآ أَحَدًا فَلاَ تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِن قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ ازْكَى لَكُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

"Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu "Kembali (saja)lah,” maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [An Nur:28].



Apabila seseorang telah mengucapkan salam dan meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak juga dipersilakan, hendaklah ia kembali. Boleh jadi tuan rumah sedang enggan menerima tamu, atau ia sedang bepergian. Karena seorang tuan rumah mempunyai kebebasan antara mengizinkan atau menolak tamu. Demikianlah adab yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, Beliau bersabda:

"إِذَا اسْتَأَذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَنْصَرِفْ"

"Jika salah seorang dari kamu sudah meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak diberi izin, maka kembalilah". [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].

LARANGAN MENGINTIP KE DALAM RUMAH ORANG LAIN
Sering kita jumpai orang-orang yang jahil tentang tuntunan syari'at, karena terdorong rasa ingin tahu, ia mengintip ke dalam rumah orang lain. Baik karena salam yang tak terjawab, atau hanya sekedar iseng. Mereka tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti ini diancam keras oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Beliau bersabda:

"لَوْ أَنَّ امْرَأً اِطْلَعَ عَلَيْكَ بِغَيْرِ إِذْنٍ فَخَذَفَتْهُ بِحُصَاةٍ فَفَقَأَتْ عَيْنُهُ مَا كَانَ عَلَيْكَ مِنْ جُنَاحٍ"

"Sekiranya ada seseorang yang mengintip rumahmu tanpa izin, lalu engkau melemparnya dengan batu hingga tercungkil matanya, maka tiada dosa atasmu". [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Sahal bin Saad As Sa'idi Radhiyallahu 'anhu, ia mengabarkan bahwasanya seorang laki laki mengintip pada lubang pintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika itu, Beliau tengah membawa sebuah sisir yang biasa Beliau gunakan untuk menggaruk kepalanya. Ketika melihatnya, Beliau bersabda: "Seandainya aku tahu engkau tengah mengintipku, niscaya telah aku lukai kedua matamu dengan sisir ini". Beliau bersabda: "Sesungguhnya permintaan izin itu diperintahakan untuk menjaga pandangan mata." [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].

Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan ketika hendak memasuki rumah orang lain, kecuali rumah-rumah yang tidak didiami oleh seorangpun, dan ia ada keperluan di dalamnya. Seperti rumah yang memang disediakan untuk para tamu, jika di awal ia telah diberi izin, maka cukuplah baginya. Demikian juga tempat-tempat umum, seperti tempat-tempat jualan, penginapan dan lain sebagainya.

Kini muncul pertanyaan, apakah kita juga harus meminta izin ketika hendak masuk menemui salah seorang anggota keluarga kita? Berikut ini perinciannya.

SEORANG LAKI-LAKI HARUS MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MASUK MENEMUI IBUNYA
Seorang anak laki laki yang telah baligh, wajib meminta izin secara mutlak ketika hendak masuk menemui ibunya.

Di dalam kitab Adabul Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Muslim bin Nadzir, bahwasanya ada seorang laki laki bertanya kepada Hudzaifah Ibnul Yaman: "Apakah saya harus meminta izin ketika hendak masuk menemui ibuku?" Maka ia menjawab: "Jika engkau tidak meminta izin, niscaya engkau akan melihat sesuatu yang tidak engkau sukai." [Hadits mauquf shahih].

Demikian juga riwayat dari Alqamah, ia berkata: Seorang laki laki datang kepada Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu dan berkata: "Apakah aku harus meminta jika hendak masuk menemui ibuku?" Maka ia menjawab: "Tidaklah dalam semua keadaannya ia suka engkau melihatnya." [Hadits mauquf shahih].

SEORANG LAKI-LAKI HARUS MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MENEMUI SAUDARA PEREMPUANNYA
Demikian juga seorang laki laki baligh, harus meminta izin ketika hendak masuk menemui saudara perempuannya.

Di dalam kitab Al Adabul Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Atha'. Dia berkata, aku bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Apakah aku harus meminta izin jika hendak masuk menemui saudara perempuanku?" Dia menjawab,”Ya.” Aku mengulangi pertanyaanku: "Dua orang saudara perempuanku berada di bawah tanggunganku. Aku yang mengurus dan membiayai mereka. Haruskah aku meminta izin jika hendak masuk menemui mereka?" Maka dia menjawab,”Ya. Apakah engkau suka melihat mereka berdua dalam keadaan telanjang?" [Hadits mauquf shahih].

PERINTAH KEPADA ORANG TUA AGAR MENGAJARI ANAK-ANAK DAN PARA PELAYANNYA TENTANG KEHARUSAN MEMINTA IZIN PADA TIGA WAKTU
Di dalam Al Qur’an surat An Nur ayat 58, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah sesudah shalat Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".

Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kaum mukminin, agar para pelayan yang mereka miliki dan anak-anak yang belum baligh meminta izin kepada mereka pada tiga waktu.

Pertama : Sebelum shalat subuh, karena biasanya orang-orang pada waktu itu sedang nyenyak tidur di pembaringan mereka.

Kedua : Ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari”, yaitu pada waktu tidur siang, karena pada saat itu orang-orang melepas pakaian mereka untuk bersantai bersama keluarga.

Ketiga : Sesudah sesudah shalat Isya, karena saat itu adalah waktu tidur.

Pelayan dan anak-anak diperintahkan agar tidak masuk menemui ahli bait pada waktu-waktu tersebut, karena dikhawatirkan seseorang sedang bersama isterinya, atau sedang melakukan hal-hal yang bersifat pribadi.

Oleh sebab itu, Allah mengatakan: "Itulah tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu", yakni jika mereka masuk pada waktu di luar tiga waktu tersebut, maka tiada dosa atas kamu bila membuka kesempatan buat mereka (untuk masuk), dan tiada dosa atas mereka bila melihat sesuatu di luar tiga waktu tersebut. Karena mereka telah diizinkan untuk masuk menemui kalian, karena mereka keluar masuk untuk melayani kamu atau untuk urusan lainnya.

Para pelayan yang biasa keluar masuk diberi dispensasi yang tidak diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, Imam Malik, Imam Ahmad dan penulis kitab Sunan meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang kucing:

"إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسَةٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِيْنَ عَلَيْكُمْ أَوْ وَالطَّوَّافَاتِ"

"Ia (kucing) tidaklah najis, karena ia selalu berkeliaran di sekitar kamu".

Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin", yakni apabila anak-anak yang sebelumnya harus meminta izin pada tiga waktu yang telah disebutkan di atas. Apabila mereka telah mencapai usia baligh, mereka wajib meminta izin di setiap waktu, seperti halnya orang-orang dewasa dari putera seseorang, atau dari kalangan karib-kerabatnya wajib meminta izin.

Al Auza'i meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir, ia mengatakan: "Apabila seorang anak masih balita, ia harus meminta izin kepada kedua orang tuanya (bila ingin masuk menemui keduanya dalam kamar) pada tiga waktu tersebut. Apabila ia telah mencapai usia baligh ia harus meminta izin di setiap waktu."

Demikianlah paparan singkat tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan adab-adab isti'dzan. Mudah-mudahan dapat memambah pemahaman kita tentang ajaran Islam dalam membimbing umat manusia, guna memperoleh seluruh kemashlahatan dan menggapai kabahagiaan hidup di dunia dan di dunia dan akhirat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]

Berita Dan Bahayanya

Dalam naskah berikut ini, penulis menjelaskan kepada kita, bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap berita-berita yang belum jelas kebenarannya itu.

Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu". [Al Hujurat : 6].

Dalam ayat ini, Allah melarang hamba-hambanya yang beriman berjalan mengikut desas-desus. Allah menyuruh kaum mukminin memastikan kebenaran berita yang sampai kepada mereka. Tidak semua berita yang dicuplikkan itu benar, dan juga tidak semua berita yang terucapkan itu sesuai dengan fakta. (Ingatlah, pent.), musuh-musuh kalian senantiasa mencari kesempatan untuk menguasai kalian. Maka wajib atas kalian untuk selalu waspada, hingga kalian bisa mengetahui orang yang hendak menebarkan berita yang tidak benar.
Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti"

Maksudnya, janganlah kalian menerima (begitu saja) berita dari orang fasik, sampai kalian mengadakan pemeriksaan, penelitian dan mendapatkan bukti kebenaran berita itu.

(Dalam ayat ini) Allah memberitahukan, bahwa orang-orang fasik itu pada dasarnya (jika berbicara) dia dusta, akan tetapi kadang ia juga benar. Karenanya, berita yang disampaikan tidak boleh diterima dan juga tidak ditolak begitu saja, kecuali setelah diteliti. Jika benar sesuai dengan bukti, maka diterima dan jika tidak, maka ditolak.

Kemudian Allah menyebutkan illat (sebab) perintah untuk meneliti dan larangan untuk mengikuti berita-berita tersebut. Allah berfirman.

أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ

"Agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya".

Kemudian nampak bagi kamu kesalahanmu dan kebersihan mereka.

فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

"Yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu" [Al Hujurat : 6]

Terutama jika berita tersebut bisa menyebabkan punggungmu terkena cambuk. Misalnya, jika masalah yang kalian bicarakan bisa mengkibatkan hukum had, seperti qadzaf (menuduh) dan yang sejenisnya.

Sungguh, betapa semua kaum muslimin memerlukan ayat ini, untuk mereka baca, renungi, lalu beradab dengan adab yang ada padanya. Betapa banyak fitnah yang terjadi akibat berita bohong yang disebarkan orang fasiq yang jahat! Betapa banyak darah yang tertumpah, jiwa yang terbunuh, harta yang terampas, kehormatan yang terkoyakkan, akibat berita yang tidak benar!Berita yang dibuat oleh para musuh Islam dan musuh umat ini. Dengan berita itu, mereka hendak menghancurkan persatuan umat ini, mencabik-cabiknya dan mengobarkan api permusuhan diantara umat Islam.

Betapa banyak dua saudara berpisah disebabkan berita bohong! Betapa banyak suami-istri berpisah karena berita yang tidak benar! Betapa banyak kabilah-kabilah, dan kelompok-kelompok saling memerangi, karena terpicu berita bohong!

Allah Azza wa Jalla Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui, telah meletakkan satu kaidah bagi umat ini untuk memelihara mereka dari perpecahan, dan membentengi mereka dari pertikaian, juga untuk memelihara mereka dari api fitnah.

Akan tetapi sangat disayangkan, tidak ada satu pun masyarakat muslim yang bebas dari orang-orang munafiq yang memendam kedengkian. Mereka tidak senang melihat kaum muslimin menjadi masyarakat yang bersatu dan bersaudara, dimana orang yang paling rendah diantara mereka dijamin bisa berusaha dengan aman, dan apabila orang akar rumput itu mengeluh, maka orang yang di tampuk kepemimpinan juga akan mengeluh.

Wajib atas kaum muslimin untuk waspada dan mewaspadai musuh-musuh mereka. Dan hendaklah kaum muslimin mengetahui, bahwa para musuh mereka tidak pernah tidur (tidak pernah berhenti) membuat rencana dan tipu daya terhadap kaum muslimin. Maka wajiblah atas mereka untuk senantiasa waspada, sehingga bisa mengetahui sumber kebencian, dan bagaimana rasa saling bermusuhan dikobarkan oleh para musuh.

Sesungguhnya keberadaan orang-orang munafiq di tengah kaum muslimin dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar. Akan tetapi yang lebih berbahaya, ialah keberadaan orang-orang mukmin berhati baik yang selalu menerima berita yang dibawakan orang-orang munafiq. Mereka membuka telinga lebar-lebar mendengarkan semua ucapan orang munafiq, lalu mereka berkata dan bertindak sesuai berita itu. Mereka tidak peduli dengan bencana yang ditimpakan kepada kaum muslimin akibat mengekor orang munafiq.

Al Qur’an telah mencatatkan buat kita satu bencana yang pernah menimpa kaum muslimin, akibat dari sebagian kaum muslimin yang mengekor kepada orang-orang munafiq yang dengki, sehingga bisa mengambil pelajaran dari pengalaman orang-orang sebelum kita.

Kalau kalian mau, bacalah Surat An Nur dan renungilah ayat-ayat penuh barakah yang Allah ucapkan tentang kebersihan Ummul Mukminin ‘Aisyah x dari tuduhan kaum munafiq. Kemudian sebagian kaum muslimin yang jujur ikut-ikutan menuduh tanpa meneliti bukti-buktinya. Allah berfirman.

إِنَّ الَّذِينَ جَآءُوا بِاْلإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ لاَتَحْسَبُوهُ شَرًّا لَّكُم بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُم مَّااكْتَسَبَ مِنَ اْلإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

"Sesungguhnya orang-orang yang membawa ifki adalah dari golongan kamu juga.Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu.Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya, dan barangsiapa diantara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya adzab yang besar". [An Nur : 11].

Ifki maksudnya ialah berita bohong. Dan ini merupakan kebohongan yang paling jelek.

لاَتَحْسَبُوهُ شَرًّا لَّكُم بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ

"Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu". [An Nur : 11].

Tidak semua perkara-perkara itu bisa dinilai hanya dengan zhahirnya saja. Karena terkadang kebaikan atau nikmat itu datang dalam satu bentuk yang kelihatannya menyusahkan. Diantara kebaikan (yang dijanjikan Allah buat keluarga Abu Bakar), ialah Allah menyebut mereka di malail a’la. Dan Allah menurunkan beberapa ayat yang bisa dibaca mengenai keadaan kalian (keluarga Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu).

Dengan turunnya ayat ini, maka hilanglah mendung dan tersingkaplah kegelapan itu. Lenyap sudah gunung kepedihan yang bertengger dalam kalbu Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, suaminya, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bapaknya. Sebagaimana juga hilangnya kepedihan sang penuduh, yaitu seorang shahabat yang jujur Shafwan bin Mu’atthil.

Kemudian ayat selanjutnya mengajarkan kepada kaum mukminin, bagaimana menyikapi berita. Allah berfirman.

لَّوْلآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُوْمِنَاتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَآ إِفْكٌ مُّبِينٌ

"Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu, orang-orang mu'minin dan mu'minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata:"Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." [An Nur : 12].

Wahai kaum msulimin, inilah langkah pertama yang harus engkau lakukan, jika ada berita buruk tentang saudaramu, yaitu berhusnuhan (berperasangka baik) kepada dirimu. Jika engkau sudah husnuzhan kepada dirimu, maka selanjutnya kamu wajib husnuzhan kepada saudaramu dan (meyakini) kebersihannya dari cela yang disampaikan. Dan engkau katakan,

سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ

"Maha Suci Engkau (Allah) , ini merupakan kedustaan yang besar". [An Nur : 16].

Inilah yang dilakukan oleh sebagian shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika sampai berita kepada mereka tentang Ummul Mukminin.

Diceritakan dari Abu Ayyub, bahwa istrinya berkata,“Wahai Abu Ayyub, tidakkah engkau dengar apa yang dikatakan banyak orang tentang Aisyah?” Abu Ayyub menjawab,“Ya. Itu adalah berita bohong. Apakah engkau melakukan perbuatan itu (zina), hai Ummu Ayyub? Ummu Ayyub menjawab,“Tidak. Demi Allah, saya tidak melakukan perbuatan itu.” Abu Ayyub berkata,“Demi Allah, A’isyah itu lebih baik dibanding kamu.”

Kemudian Allah berfirman.

لَّوْلاَ جَآءُوعَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَآءِ فَأُوْلَئِكَ عِندَ اللهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ

"Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu. Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta". [An Nur : 13].

Inilah langkah yang kedua, jika ada berita tentang saudaranya. Langkah pertama, mencari dalil yang bersifat bathin, maksudnya berhusnuzhan kepada saudaranya. Langkah kedua mencari bukti nyata.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti". [Al Hujurat : 6].

Maksudnya mintalah bukti kebenaran suatu berita dari si pembawa berita. Jika ia bisa mendatangkan buktinya, maka terimalah. Jika ia tidak bisa membuktikan, maka tolaklah berita itu di depannya; karena ia seorang pendusta. Dan cegahlah masyarakat agar tidak menyampaikan berita bohong yang tidak ada dasarnya sama sekali. Dengan demikian, berita itu akan mati dan terkubur di dalam dada pembawanya ketika kehilangan orang-orang yang mau mengambil dan menerimanya.

Seperti inilah Al Qur’an mendidik umatnya. Namun sangat disayangkan, banyak kaum muslimin yang tidak konsisten dengan pendidikan ini. Sehingga jika ada seorang munafik yang menyebarkan berita bohong, maka berita itu akan segera tersebar di masyarakat dan diucapkan oleh banyak lidah, tanpa mengecek dan meniliti kebenarannya. Dalam hal ini Allah berfirman.

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم ٌ

"(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut".[An Nur : 15].

Pada dasarnya ucapan itu diterima dengan telinga, bukan dengan lisan. Akan tetapi Allah ungkapkan tentang cepatnya berita itu tersebar di tengah masyarakat. Seakan-akan kata-kata itu keluar dari mulut ke mulut tanpa melalui telinga, dilanjutkan ke hati yang memikirkan apa yang didengar, selanjutnya memutuskan boleh atau tidak berita itu disebar luaskan.

وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّالَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللهِ عَظِيمٌ

"Kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.Padahal dia pada sisi Allah adalah besar". [An Nur : 15].

Allah mendidik kaum mukminin dengan adab ini. Mengajarkan kepada mereka cara menghadapi berita serta cara memberantasnya, sehingga tidak tersebar di masyarakat. Setelah itu Allah mengingatkan kaum mukminin, agar tidak membicarakan sesuatu yang tidak mereka diketahui. Allah juga mengingatkan mereka, agar tidak mengekor kepada para pendusta penebar berita bohong. Allah berfirman.

يَعِظُكُمُ اللهُ أَن تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

"Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman". [An Nur : 17].

Kemudian Allah menjelaskan, mengekor kepada para pendusta memiliki arti mengikuti langkah-langkah syetan. Allah berfirman.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَازَكَى مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللهَ يُزَكِّي مَن يَشَآءُ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syetan, maka sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar". [An Nur : 21].

Dalam ayat selanjutnya Allah menerangkan, lisan dan semua anggota badan lainnya akan memberikan kesaksian atas seorang hamba pada hari kiamat. Allah berfirman.

إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ . يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ . يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ

"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar, pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka, bahwa Allah-lah Yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya)". [An Nur 23-25].

Wahai para penebar desas-desus! Wahai para pembuat kedustaan! Hai orang yang tidak senang melihat orang mukmin saling mencintai sehingga dipisahkan! Hai orang yang tidak suka melihat kaum mukmin aman! Hai para pencari aib orang yang baik! Tahanlah lidahmu, karena sesungguhnya kamu akan diminta pertanggungjawaban kata-kata yang engkau ucapkan. Allah berfirman.

مَّايَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

"Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan, melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir". [Qaf : 18].

Tahanlah lidahmu! Jauhilah perbuatan bohong dan janganlah menebarkan desas-desus! Janganlah menuduh kaum muslimin tanpa bukti, dan janganlah berburuk sangka kepada mereka! Seakan-akan aku dengan engkau, wahai saudaraku, berada pada hari kiamat; hari kerugian dan hari penyesalan. Sementara para seterumu merebutmu. Yang ini mengatakan “engkau telah menzhalimiku”, yang lain mengatakan “engkau telah menfitnahku”, yang lain lagi mengatakan, “engkau telah melecehkanku”, yang lain mengatakan “engkau telah menggunjingku”. Sementara engkau tidak mampu menghadapi mereka. Engkau mengharap kepada Rabb-mu agar menyelamatkanmu dari mereka, namun tiba-tiba engkau mendengar.

الْيَوْمَ تُجْزَي كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ لاَظُلْمَ الْيَوْمَ إِنَّ اللهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

"Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya". [Al Mukmin : 17].

Lalu engkaupun menjadi yakin dengan neraka. Engkau ingat firman Allah.

وَلاَتَحْسَبَنَّ اللهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ اْلأَبْصَارُ

"Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak" [Ibrahim : 42].

Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan. Dan semoga Allah memberikan taufik dan hidayahNya.

[Diterjemahkan dari majalah Al Ashalah, edisi 34 tahun ke VI]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VII/1424H/2003. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Zina Merajalela

Zina termasuk dalam perbuatan dosa besar. Di antara penyebab seseorang terjerumus ke dalam perbuatan yang nista ini, ialah karena rendahnya iman dan moral masyarakat, serta saking gampangnya mempertontonkan aurat secara murah dan vulgar, terutama yang terjadi di kalangan kaum wanita.

Sebagian faktor yang menyuburkan perilaku hina ini, ialah merajalelanya pergaulan bebas antara lelaki dan perempuan. Tanpa takut dengan beban dosa, seluruh inderanya menerawang menikmati segala sesuatu yang tidak halal baginya. Ini menjadi langkah pertama bagi seseorang terjerumus ke jurang perbuatan zina yang nista. Oleh karena itu, Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan agar manusia tidak terperangkap perzinaan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

Dan katakan kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami atau ayah, atau ayah suami atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara laki-laki atau putra-putra saudara laki-laki atau putra-putra saudari perempuan mereka, atau wanita-wanita muslimah atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (kepada wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". [An-Nûr/24:30-31]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

كُتِبَ على بن آدَمَ نَصِيبُهُ من الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذلك لا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذلك الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ ( متفق عليه )

"Telah ditentukan atas setiap anak Adam bagiannya dari perbuatan zina, ia pasti melakukannya. Zina kedua mata adalah dengan memandang, zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan, zina lisan adalah dengan berbicara, zina kedua tangan adalah dengan menggenggam, dan zina kedua kaki adalah dengan melangkah, sedangkan hati berkeinginan dan berandai-andai, dan kemaluan mempraktekkan keinginan untuk berzina itu atau menolaknya". [Muttafaqun 'alaih]

Para ulama menyatakan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memulai dengan menyebutkan zina mata, karena zina mata adalah asal usul terjadinya zina tangan, lisan kaki, dan kemaluan[1]. Oleh karena itu, hendaklah kita senantiasa waspada dan berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi perangkap-perangkap perzinaan, agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan nista ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk" [Al-Isrâ`/17:32]


Zina itu sendiri merupakan hutang yang pasti harus ditebus, dan tebusannya ada pada keluarga kita. Pepatah menyatakan:

عِفُّوْا تَعِفَّ نِسَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَبِرُّوْا أَبَاءَكُمْ يَبِرَّكُمْ أَبْناَؤُكُمْ

(Jagalah dirimu, niscaya istri dan anakmu akan menjaga dirinya. Dan berbaktilah kepada orang tuamu, niscaya anakmu akan berbakti kepadamu).[2]

Dalam pepatah Arab lainnya disebutkan:

الزِّنّا دَيْنٌ قَضَاؤُهُ فِي أَهْلِكَ


(Perbuatan zina adalah suatu piutang, dan tebusannya ada pada keluargamu).

Kita seyogyanya bertanya kepada hati nurani masing-masing, relakah bila anak gadis kita, atau saudara wanita, atau ibu kita dizinai oleh orang lain? Bila tidak rela, maka janganlah berzina dengan anak atau saudara wanita atau ibu orang lain! Bila anda telah tega menzinai anak atau saudara wanita atau ibu seseorang, maka semenjak itu, ingatlah selalu, pada suatu saat perbuatan yang serupa akan menimpa anak gadis anda atau saudara wanita anda, atau bahkan ibu anda!

Atas dasar itu, hendaklah kita senantiasa berpikir panjang bila tergoda setan untuk melakukan perbuatan zina, baik zina kemaluan, zina pandangan, atau lainnya. Sebagaimana kita senantiasa mengingat pedihnya hukuman Allah di dunia dan akhirat, sehingga kita tidak mudah terjerembab ke dalam lembah kenistaan ini.

HUKUMAN BAGI PEZINA
Salah satu bentuk hukuman yang diberikan Islam bagi pezina, selain dicambuk ialah diharamkannya menikah dengannya hingga kemudian ia bertaubat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik( pula)". [An-Nûr/24:26]

Sebagian ulama ahli tafsir menyatakan, ayat ini ada kaitannya dengan ayat ke-3 surat an-Nûr, yaitu firman Allah Ta'ala, yang artinya: Lelaki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh lelaki yang berzina atau lelaki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.

Sehingga penafsiran ayat ini menunjukkan, laki-laki yang tidak baik, pasangannya adalah wanita yang tidak baik pula. Sebaliknya, wanita yang tidak baik, pasangannya ialah orang yang tidak baik pula. Haram hukumnya bagi laki-laki yang baik atau wanita yang baik menikahi wanita atau lelaki yang tidak baik.[3]

Sebagian ulama menjabarkan penafsiran ini secara lebih jelas: "Barang siapa yang menikahi wanita pezina yang belum bertaubat, maka ia telah meridhai perbuatan zina. Dan orang yang meridhai perbuatan zina, maka seakan ia telah berzina. Bila seorang lelaki rela andai istrinya berzina dengan lelaki lain, maka akan lebih ringan baginya untuk berbuat zina. Bila ia tidak cemburu ketika mengetahui istrinya berzina, maka akankah ada rasa sungkan di hatinya untuk berbuat serupa? Dan wanita yang rela bila suaminya adalah pezina yang belum bertaubat, maka berarti ia juga rela dengan perbuatan tersebut. Barang siapa rela dengan perbuatan zina, maka ia seakan-akan telah berzina. Bila seorang wanita rela andai suaminya merasa tidak puas dengan dirinya, maka ini pertanda bahwa iapun tidak puas dengan suaminya".

KEWAJIBAN PELAKU PERZINAAN
Oleh karena itu, orang yang terlanjur terjerumus ke dalam perbuatan nista ini, hendaklah segera kembali kepada jalan yang benar. Hendaklah disadari, bahwa perbuatan zina telah meruntuhkan kehormatan dan jati dirinya. Begitu pula hendaklah ia senantiasa waspada dengan balasan Allah Ta'ala yang mungkin akan menimpa keluarganya.

Bila penyesalan telah menyelimuti sanubari, dan tekad tidak mengulangi perbuatan nista ini telah bulat, istighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa dipanjatkan; bila jalan-jalan yang akan menjerumuskan kembali ke dalam kenistaan ini telah ditinggalkan, maka semoga berbagai dosa dan hukuman Allah Subhanahu wa Ta'ala atas perbuatan ini dapat terhapuskan. Lantas, bagaimana halnya dengan hukuman dera atau cambuk yang belum ditegakkan atas pezina tersebut, apakah taubatnya dapat diterima?

Ada satu kisah menarik pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Adalah Sahabat Mâ'iz bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu mengaku kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia telah berzina. Berdasarkan pengakuan ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar ia dirajam. Tatkala rajam telah dimulai, dan Sahabat Maa'iz merasakan pedihnya dirajam, ia pun berusaha melarikan diri. Akan tetapi, para sahabat yang merajamnya berusaha untuk mengejarnya dan merajamnya hingga meninggal. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diberitahu bahwa Maa'iz Radhiyallahu 'anhu berusaha melarikan diri, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

(هَلاَّ تَرَكْتُمُوْهُ لَعَلَّهُ أَنْ يَتُوْبَ فَيَتُوْبَ اللهُ عَلَيْهِ ) . أخرجه أحمد وأبو داود وابن أ بي شيبة

"Tidahkah kalian tinggalkan dia, mungkin saja ia benar-benar bertaubat, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengampuninya?" [HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Abi Syaibah]

Berdasarkan hadits ini dan hadits lainnya, para ulama menyatakan bahwa orang yang berzina, taubatnya dapat diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala, walaupun tidak ditegakkan hukum dera atau rajam baginya. Di antara yang menguatkan pendapat ini ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Dan orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina; barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat pembalasan atas dosanya. Yakni akan dilipatgandakan adzab untuknya pada hari Kiamat, dan ia akan kekal dalam adzab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatannya diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Al-Furqân/68-70]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Kejelekan yang telah lalu melalui taubatnya yang sebenar-benarnya akan berubah menjadi kebaikan. Yang demikian itu, karena setiap kali pelaku dosa teringat lembaran kelamnya, ia menyesali, hatinya pilu, dan bertaubat (memperbaharui penyesalannya). Dengan penafsiran ini, dosa-dosa itu berubah menjadi ketaatan kelak pada hari Kiamat. Walaupun dosa-dosa itu tetap saja tertulis atasnya. Akan tetapi, semua itu tidak membahayakannya. Bahkan akan berubah menjadi kebaikan pada lembaran catatan amalnya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits-hadits shahîh, dan keterangan ulama Salaf." [4]

BOLEHKAH MENIKAH DENGAN PEZINA YANG SUDAH BERTAUBAT?
Menurut pendapat mayoritas ulama yang memiliki kredibilitas keilmuan, mereka membolehkan pernikahan dengan pelaku perzinaan yang benar-benar telah bertaubat.

Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah berkata: "Ketahuilah, menurutku, pendapat ulama yang paling kuat ialah: bila lelaki pezina dan wanita pezina telah berhenti dari perbuatan zina, mereka menyesali perbuatannya dan bertekad tidak mengulanginya, maka pernikahan mereka sah. Sehingga seorang lelaki dibenarkan untuk menikahi wanita yang pernah ia zinahi setelah keduanya bertaubat. Sebagaimana dibolehkan bagi orang lain untuk menikahinya, tentunya setelah mereka bertaubat. Yang demikian itu, karena orang yang telah bertaubat dari dosa bagaikan orang yang tidak pernah melakukan dosa". [5]

Bila pezina itu seorang wanita, dan ia hamil dari hasil perzinaannya, maka untuk dapat menikahinya disyaratkan hal lain, yaitu wanita itu telah melahirkan anak yang ia kandung, sebagaimana ditegaskan pada fatwa Komite Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut: "Tidak dibenarkan menikahi wanita pezina dan tidak sah akad nikah dengannya, hingga ia benar-benar telah bertaubat dan telah selesai masa iddahnya".[6]

APAKAH HARUS MENGAKUI MASA KELAMNYA KEPADA CALON PASANGAN?
Salah satu wujud dari taubat seseorang dari perbuatan dosa, ialah tidak menceritakan perbuatan dosanya kepada orang lain. Karena menceritakan lembaran kelam kepada orang lain merupakan pertanda lemahnya rasa malu, penyesalan dan lemahnya rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan menceritakannya menjadi pertanda adanya kebanggaan dengan perbuatannya yang nista itu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ عَمَلاً بِاللَّيْلِ ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ . فَيَقُوْلُ : يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سَتْرَ اللهِ عَنْهُ .( متفق عليه )

"Setiap ummatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang berterus-terang dalam bermaksiat. Dan di antara perbuatan berterus-terang dalam bermaksiat ialah, bila seseorang melakukan kemaksiatan pada malam hari, lalu Allah telah menutupi perbuatannya, akan tetapi ia malah berkata: "Wahai fulan, sungguh tadi malam aku telah berbuat demikian dan demikian," padahal Rabbnya telah menutupi perbuatannya, justru ia malah menyingkap tabir Allah dari dirinya". [Muttafaqun 'alaih]

Pada hadits lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

(اجْتَنِبُوْا هَذِهِ الْقَاذُوْرَةَ الَّتِي نَهَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهَا ، فَمَنْ ألم فَلْيَسْتَتِرْ بِسَتْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِ لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ الله)

"Jauhilah olehmu perbuatan-perbuatan nista yang telah Allah Azza wa Jalla larang, dan barang siapa yang melakukannya, maka hendaknya ia menutupi dirinya dengan tabir Allah Azza wa Jalla , karena barang siapa yang menampakkan kepada kami jati dirinya, maka kamipun akan menegakkan hukum Allah" [Riwayat al-Baihaqi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albâni]

Berdasarkan dalil ini dan juga dalil lainnya, para ulama menyatakan, dianjurkan bagi orang yang telah terjerumus dalam perbuatan dosa agar merahasiakan dosanya itu dan tidak menceritakannya. Oleh karena itu, tidak sepantasnya seorang wanita yang pernah berbuat zina dan sudah bertaubat menceritakan masa silamnya kepada siapapun, termasuk kepada laki-laki yang melamarnya. Terlebih, bila wanita itu benar-benar telah bertaubat dan menyesali dosanya. Karena yang wajib untuk diceritakan kepada laki-laki yang melamar adalah cacat atau hal-hal yang akan menghalangi atau mengurangi kesempurnaan hubungan suami istri [7]. Adapun perbuatan dosa, terlebih yang telah ditinggalkan dan telah disesali, maka tidak boleh diceritakan, karena siapakah dari kita yang tidak pernah berbuat dosa?

PENUTUP
Pada kesempatan ini, saya merasa perlu untuk mengingatkan saudara-saudaraku, agar senantiasa menjadikan pasangan hidupnya sebagai cermin dari jati dirinya. Bila anda menjadi marah atau benci karena mengetahui adanya kekurangan pada pasangan anda, maka ketahuilah, anda pun memiliki kekurangan serupa atau lainnya, yang mungkin lebih besar dari kekurangannya.

Bila anda merasa memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh pasangan anda, maka ketahuilah, ia pun memiliki kelebihan yang tidak ada pada diri anda. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berpesan kepada kita dengan sabdanya:

لا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مؤمنة إن كَرِهَ منها خُلُقًا رَضِيَ مِنْهاَ آخَرَ

"Janganlah seorang mukmin membenci wanita mukmin, bila ia membenci suatu perangai darinya, niscaya ia suka dengan perangai yang lain" [Muslim]

Demikianlah, seyogyanya seorang muslim bersikap dan berfikir, tidak sepantasnya bersifat egois, hanya suka menuntut, akan tetapi tidak menyadari kekurangan yang ada pada dirinya sendiri. Bila kita menuntut agar pada diri calon pasangan kita memiliki berbagai kriteria yang sempurna, maka ketahuilah, calon pasangan kita pun memiliki berbagai impian tentang pasangan hidup yang ia dambakan. Karenanya, sebelum kita menuntut, terlebih dahulu wujudkanlah tuntutan kita pada diri kita sendiri. Dengan demikian, kita akan dapat berbuat adil dan tidak semena-mena bersikap dan dalam menentukan kriteria ideal calon pasangan hidup.

Semoga pemaparan singkat ini bermanfaat bagi kita, dan semoga Allah Ta'ala mensucikan jiwa kita dari noda-noda kenistaan. Wallahu Ta'ala A'lam bish-Shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Kaidah-Kaidah Menuntut Ilmu

Pembaca,
Untuk memahami ilmu secara benar, seorang thalibul-'ilmi dituntut untuk berusaha dan mengerahkan seluruh kemampuannya. Begitu pula dengan keluasan ilmu yang tidak mungkin diraih secara menyeluruh dalam satu waktu, maka untuk meraihnya pun memerlukan tahapan-tahapan dan langkah demi langkah, dari persoalan-persoalan ringan hingga ilmu-ilmu yang memerlukan analisa secara lebih terperinci dan mendalam. Disinilah ia harus menunjukkan kesungguhannya, sehingga pemahamannya terhadap setiap ilmu yang direngkuhnya tidak menyisakan kesamaran. Dan manakala harus menyampaikannya pun tidak akan menimbulkan kesesatan.

Demikian sebagian pesan yang bisa kita ambil dari Syaikh Dr. Ibrahim bin 'Amir ar-Ruhaili –hafizhahullah- saat menyampaikan ceramah pada Daurah Syar'iyyah, di Agro Wisata Kebun Teh, Wonosari, Lawang, Malang, Jawa Timur yang diadakan antara tanggal 7 – 14 Rajab 1428H, bertepatan dengan 22 – 29 Juli 2007M. Saat ini, Syaikh juga aktif sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam, Madinah, Kerajaan Saudi Arabia. Adapun ceramah beliau ini diterjemahkan dan dengan pemberian judul serta catatan kaki oleh Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari. Semoga kita mendapatkan faidah (manfaatnya). (Redaksi).
_____________________________________

Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan memohon ampun kepada-Nya, dan kami bertaubat kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami, dan dari keburukan amalan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada seorangpun yang akan menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan, maka tidak ada yang akan memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad n nabi kita adalah hamba Allah dan utusan-Nya.

Mudah-mudahan Engkau, wahai Allah, memberikan shalawat kepada hamba-Mu dan Rasul-Mu, Muhammad, kepada keluarganya dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti petunjuknya dan meneladani jejaknya sampai hari Pembalasan.

Amma ba’du:
Sesungguhnya keistiqamahan seorang muslim di atas agamanya yang telah disyariatkan Allah Azza wa Jalla dibangun berdasarkan dua pondasi yang besar. Pondasi Pertama : Yaitu mengenal agamanya yang telah disyariatkan Allah Azza wa Jalla. Pondasi Kedua : Yaitu melaksanakan ilmu yang telah ia ketahui dan melaksanakan agama Allah Azza wa Jalla berdasarkan apa yang telah ia ketahui dan telah jelas dari agama-Nya. Pondasi pertama berkaitan dengan ilmu. Pondasi kedua berkaitan dengan amal. Dengan ilmu dan amal akan didapatkan keselamatan.

Dan manusia berbeda-beda dalam mewujudkan ilmu dan amal. Mereka terbagi menjadi empat bagian. Sedangkan menurut Syaikhul-Islam terbagi menjadi dua. Akan tetapi, sesuai dengan tabiatnya, maka sesungguhnya kedudukan manusia terbagi menjadi empat, sesuaidengan keadaan mereka.

1. Di antara manusia ada yang diberi taufik oleh Allah dengan ilmu yang shahîh dan amal shalih. Ini merupakan martabat yang paling utama dan paling tinggi derajatnya di sisi Allah.

2. Martabat kedua, yaitu orang yang memiliki ilmu tetapi tanpa amal. Tidak ada keraguan, hal ini merupakan kekurangan, karena ilmu merupakan pijakan amal. Oleh karena itu, seseorang yang belajar namun tidak beramal, berarti pada diri orang itu terdapat keserupaan dengan Yahudi. Mereka ini berilmu, namun tanpa amal.

3. Martabat ketiga, yaitu orang yang beramal tanpa ilmu. Pada diri orang ini terdapat keserupaan dengan Nashara. Mereka adalah orang-orang yang sesat. Mereka beramal, namun tanpa ilmu. Demikian ini keadaan ahli bid'ah. Yakni orang-orang yang beribadah kepada Allah dan beramal, namun dalam ibadahnya tanpa mempergunakan ilmu.

4. Martabat keempat, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu dan amal. Para ulama menyebut mereka adalah manusia yang menyerupai binatang ternak. Mereka tidak memiliki keinginan kecuali bersenang-senang dengan dunia, tidak memiliki cita-cita dalam ilmu dan amal. Sedangkan orang yang diberi taufiq ialah yang diberi taufiq oleh Allah terhadap ilmu yang shahîh dan amal shalih.

Adapun ilmu itu sendiri menuntut beberapa perkara. Ilmu tidak akan terwujud kecuali dengan konsekwensinya. Ilmu itu hanyalah dengan belajar, mengerahkan kesungguhan dan kemampuan untuk mendapatkannya. Dan caranya, seorang thalibul-'ilmi mengerahkan kemampuannya dalam tafaqquh fid-dîn, dalam menggalinya, dan saat duduk di hadapan ulama, dalam membaca kitab-kitab dan meminta penjelasan perkara yang menyusahkannya, sampai Allah memberikan kepadanya rezeki berupa ilmu. Seorang thalibul-'ilmu harus mengikuti manhaj yang shahîh dalam mengambil dan menuntut ilmu.

Di antara manhaj (jalan, kaidah) dalam menuntut ilmu, hendaklah memulai dengan ilmu-ilmu yang ringan sebelum ilmu-ilmu yang berat. Oleh karena itulah dikatakan tentang seorang 'alim rabbani, bahwa dia adalah orang yang membina para penuntut ilmu kecil dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar. Demikianlah, menuntut ilmu itu harus tadarruj (bertahap).

Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu yang ringan ialah masalah-masalah yang dikenal, yang diketahui, bukan masalah-masalah yang membutuhkan analisa dan pembahasan. Dari sini, maka di antara masalah-masalah yang sepantasnya didahulukan ialah masalah-masalah yang jelas dan gamblang, yaitu mengenai ushuludin (pokok-pokok agama), seperti mengetahui ushuludin, ushul i'tiqad. Oleh karena itu, para ulama dalam mengajari para thulab (penuntut ilmu, santri) dilakukan secara bertahap dengan menggunakan mukhtasharat (kitab-kitab yang ringkas), dalam setiap cabang-cabang ilmu. Mereka menjelaskan kepada manusia pokok-pokok ilmu melalui mukhtasharat (kitab-kitab yang ringkas) ini. Secara bertahap, mulai dari teks-teks mukhtasharat sampai kemudian meningkat, dengan membaca kitab-kitab syarh (penjelasan) terhadapnya, kemudian meluas sehingga para thalib sampai kepada kitab-kitab muthawalat (kitab-kitab tebal/luas) dan menumbuhkan nazhar (penelitian) serta ijtihad dalam masalah-masalah ini, sehingga mencapai derajat ulama dengan taufiq Allah. Demikianlah, bahwasanya dalam thalibul-'ilmi harus dengan tadarruj (bertahap).

Termasuk perkara yang penting sebelum menuntut ilmu, ialah ikhlas untuk Allah Azza wa Jalla dalam mencari ilmu. Karena sesungguhnya ikhlas memiliki pengaruh yang besar untuk meraih taufiq (bimbingan Allah) dalam segala sesuatu. Barangsiapa mendapatkan taufiq dengan ikhlas, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak dalam segala urusan agama dan dunia. Pengaruh ikhlas terhadap taufiq (bimbingan Allah) ditunjukkan oleh firman Allah mengenai dua hakim di antara suami istri:

"... Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu ... " [an-Nisâ`/4:35].

Demikian juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pengaruh hati berkaitan dengan keistiqamahan anggota badan dalam hadits Nu`man bin Basyir:

أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ

"Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati".[1]

Jika hati itu baik, amal juga baik, dan manusia mendapatkan manfaat dengan ilmunya. Dengan demikian, seseorang diberi taufiq disebabkan oleh ilmu dan pemahamannya. Oleh karena itu, perkara ini harus diperhatikan.

Termasuk ikhlas dalam thalabul-'ilmi, yaitu menuntut ilmu untuk tafaqquh (memahami), dan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, Malik bin Dinar rahimahullah berkata: ''Barangsiapa menuntut ilmu untuk dirinya, maka ilmu yang sedikit mencukupinya. Dan barangsiapa menuntut ilmu untuk keperluan manusia (orang lain), maka sesungguhnya kebutuhan orang lain itu tidak berujung''.

Seseorang lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhannya. Engkau membutuhkan untuk mengetahui thaharah (bersuci), shalat, puasa, dan ibadahmu kepada Allah Azza wa Jalla. Maka, hendaklah engkau bertafaqquh (memahami) ilmu yang membuahkan amalan. Dan amalan itu ada yang wajib dan ada yang mustahab. Sehingga seseorang hendaklah memulai dengan ilmu yang wajib baginya secara individu. Kemudian secara bertahap mempelajari yang mustahab (sunah, disukai). Oleh karena itu wajib ikhlas dalam thalabul-'ilmi.

Di antara perkara yang perlu diperhatikan juga oleh penuntut ilmu, yaitu isti'anah (memohon pertolongan) kepada Allah Azza wa Jalla, tawakkal kepada-Nya, dan berdoa kepada-Nya, agar Dia memberikan kepadanya ilmu yang shahih (benar) yang nafi` (bermanfaat). Hal ini dituntunkan oleh Allah dalam firman-Nya:

"Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan". [Thâhâ/20:114].

Allah berfirman (di dalam hadis qudsi):

يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ

"Wahai hamba-hamba-Ku, kamu semua sesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk; maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi petunjuk kepadamu".[2]

Maka, meminta hidayah kepada Allah, niscaya Allah Azza wa Jalla akan memberikan hidayah, sebagaimana hadits di atas.

Dan, dalam sebuah doa yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seorang laki-laki, yang dibimbing Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju pintu-pintu kebaikan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan agar ia berdoa:

أَللَّهُمَّ أَلْهِمْنِي رُشْدِي وَقِنِي شَرَّ نَفْسِي

"Wahai, Allah! Berilahkan petunjuk kepadaku terhadap kelurusanku, dan jagalah aku dari keburukan jiwaku".

Jadi, manusia tidak akan mendapatkan taufiq kecuali yang diberi taufiq oleh Allah. Juga sebuah doa lain dalam atsar (riwayat):

أَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَااتِّبَاعَهُ وَ أَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

"Wahai, Allah! Tunjukkanlah al-haq kepada kami sebagai al-haq, dan berilah rezeki kepada kami untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah al-batil kepada kami sebagai al-batil, dan berilah rezeki kepada kami untuk menjauhinya".

Dengan demikian, pertama kali yang dibutuhkan manusia ialah agar ditunjukkan kepada al-haq oleh Allah sebagai al-haq, kemudian Allah memberi rezeki-Nya untuk mengikutinya; dan ditunjukkan al-batil oleh Allah sebagai al-batil, kemudian Allah memberi rezeki-Nya untuk menjauhinya. Jika tidak, maka banyak di antara manusia yang mengamalkan kebatilan, dan menyangkanya berada di atas kebenaran. Sehingga wajib memperhatikan sisi ini, yaitu tawakal kepada Allah dan berdoa kepada-Nya, agar Dia memberi taufik terhadap al-haq, memahamkannya dalam agama, dan agar mengajarinya. Demikian pula perlu banyak beristighfar dan selalu berlindung kepada Allah Azza wa Jalla.

Syaikhul-Islam rahimahullah mengatakan bahwa dirinya pernah kesusahan memahami suatu masalah. Beliau berkata,"Lalu aku beristighfar kepada Allah dan berdzikir kepadaNya. Aku selalu melakukannya, sehingga Allah membukakan masalah itu untukku''.

Demikianlah sepantasnya seorang penuntut ilmu. Akan tetapi, sebagian manusia hanya bersandar kepada usaha dan kekuatannya. Dia melupakan tawakkal dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya dalam semua perkara, manusia membutuhkan tawakkal dan usaha. Menghadiri majlis ulama dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, termasuk melakukan usaha. Dan manusia juga membutuhkan tawakkal. Berapa banyak manusia duduk di depan ulama, namun tidak mendapatkan manfa'at. Berapa banyak manusia membaca muthawalat (kitab-kitab tebal), namun tidak mendapatkan manfa'at. Dan berapa banyak manusia hafal Al-Qur`ân, namun mereka tidak mendapatkan manfa'at sedikitpun darinya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang Khawarij:

يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

"Mereka membaca Al-Qur`ân, namun Al-Qur`ân itu tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang buruan".[3]

Sebagian manusia diberi kecerdasan, namun ia tidak diberi taufiq. Syaikhul-Islam rahimahullah berkata tentang para filosof: "Mereka diberi kecerdasan, namun tidak diberi kesucian''. Maksudnya, Allah memberikan kepada mereka kecerdasan dan akal, namun mereka tidak diberi taufiq untuk mensucikan jiwa mereka.

Oleh karena itu, jika manusia itu diberi kecerdasan oleh Allah, hendaklah dia memohon kepada Allah agar Allah Azza wa Jalla mensucikannya, karena kecerdasan saja tidaklah cukup.

Dahulu, Abu Jahal digelari dengan Abul-Hakam karena faktor akalnya, yaitu kecerdasan akalnya. Tetapi ia tidak mengikuti petunjuk agama ini, padahal orang yang akalnya lebih rendah darinya mengikuti petunjuk agama ini.

'Abdullah bin Ubaiy bin Salul, dahulu termasuk orang yang paling cerdas, sehingga sebelum diutusnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, penduduk Madinah berniat mengangkatnya sebagai raja. Akan tetapi, ia tidak mengikuti petunjuk agama ini.

Manusia itu lemah, kecuali orang yang diberi taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akal tidaklah cukup, kecerdasan tidaklah cukup, maka hendaklah engkau memohon kepada Alah Azza wa Jalla agar diberi taufiq. Bahkan terkadang kecerdasan merupakan sebab kesesatan seseorang. Dia hanya bersandar kepada akalnya, kecerdasannya dan pemahamannya. Dia menyangka bahwa dirinya memahami, sedangkan orang lain tidak memahami. Lalu ia berbuat lancang, dan berlaku sombong dengan akalnya.

Manusia (yang berakal, Pent.) jika diberi akal dan kecerdasan oleh Allah Azza wa Jalla, ia mengetahui bahwa tidak ada jalan untuk meraih hidayah kecuali dengan syariat ini. Oleh karena itulah, orang-orang yang beragama adalah orang-orang yang berakal. Tidak ada seorang 'alim kecuali mengetahui bahwasanya tidak ada hidayah kecuali dengan agama ini. Sehingga, jika ada orang yang menyangka bahwa ia boleh keluar dari agama ini, dan bahwa menyangka akalnya mencukupi untuk mendapatkan hidayah, maka ini sebagai bukti kurangnya hidayah akal dan ilmunya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan untuk disucikan oleh Allah Azza wa Jalla.

Termasuk yang perlu diperhatikan juga, yaitu mengetahui jalan yang benar dalam menuntut ilmu. Pembicaraan masalah ini sangat panjang. Telah dijelaskan dalam ceramah (saya) di Universitas Islam Madinah tentang jalan para ulama dalam mempelajari akidah, dan persiapan materi ceramah ini lebih dari seminggu. Dan Allah memberikan nikmat yang banyak dengan sebab ini, dengan membaca perkataan para ulama, jalan mereka mendapatkan ilmu, dan metode memahami nash-nash.

Ceramah ini direkam dan mungkin bisa didapatkan dari sebagian mahasiswa yang telah merekamnya. Dalam ceramah itu, terdapat banyak sisi penting yang sepantasnya diperhatikan dalam mempelajari ilmu dan meneliti suatu masalah, terutama dalam permasalahan akidah. Di antaranya, ialah dalam menetapkan lafazh-lafazh syar'iyyah, dan mengetahui perbedaan antara makna lughawi (menurut bahasa Arab) dengan makna syar'i (menurut agama).

Sesungguhnya kesalahan yang terjadi pada sebagian orang bukan karena ketiadaan dalil. Terkadang ada dalil di hadapannya, dan terkadang telah mengetahuinya, tetapi mereka tidak diberi taufiq dalam memahaminya, yang kemungkinan karena lafazh itu musykil pada mereka. Kesamaran lafazh termasuk di antara yang menjadi penyebab kesalahan pada diri ulama. Seperti kesamaran lafazh al-quru`, apakah itu haidh ataukah suci dari haidh? Begitulah pula dalam lafazh al-muzâbanah, al-muhâqalah, al-mukhâbarah, dan semacamnya sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul-Islam dalam kitab Raf'ul Malam 'an Aimmatil-A'lam.

Manusia terkadang berselisih disebabkan kesamaran lafazh pada mukhathab (orang yang diajak bicara). Sebagaimana yang terjadi pada sahabat 'Adi bin Hatim, yaitu ketika turun firman Allah Azza wa Jalla :

"..hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar". [al-Baqarah/2:187]

Diapun mengambil dua benang (putih dan hitam) dan ditaruhnya di bawah bantalnya. Mulailah ia melihat kedua benang itu. Ketika ia memberitakan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pun bersabda: ''Engkau benar-benar orang yang lebar tengkuknya. Sesungguhnya yang dimaksud warna putih fajar, dan warna hitam ialah malam''.

Di sini terjadi kesamaran pada sahabat yang agung ini.

Begitu pula kesamaran yang terjadi pada ulama terhadap lafazh mulâmasah dalam firman Allah:

أو لمستم النساء

(Atau kamu menyentuh perempuan).[4]

Apakah yang dimaksud dengan mulâmasah adalah semata-mata menyentuh wanita, ataukah kiasan dari jima'?

Demikianlah pada banyak lafazh dalam syara' (agama) yang diperselisihkan para ulama. Oleh karena itulah ulama menjelaskan tentang pengetahuan makna-makna lafazh syar'iyyah (menurut agama) dan membedakannya dengan makna lughawi (menurut bahasa arab). Demikian juga banyak kitab-kitab disusun dalam pembahasan gharibul-hadits dan gharibul-Qur`ân.[5]

Dalam menafsirkan Al-Qur`ân, para ulama tidak mencukupkan dengan mengetahui makna lughawi (bahasa) saja. Bahkan Imam ath-Thabari rahimahullah -seorang pakar ahli tafsir- menyebutkan, sebagian ahli tafsir telah salah dalam menafsirkan Al-Qur`ân, dikarenakan mereka bersandar kepada arti bahasa, tanpa mengetahui istilah syariat. Maka seharusnya seseorang mengetahui perkataan para ahli tafsir dalam kitab-kitab tafsir. Seseorang tidaklah cukup mengambil buku kamus bahasa Arab, lalu melihat makna secara bahasa, kemudian menafsirkan kitab Allah dengan makna ini saja. Karena satu lafazh itu berbeda-beda artinya.

Misalnya, kata khair. Dalam kitab Allah Azza wa Jalla, khair memiliki makna hasanah (kebaikan). Juga bermakna dunia. Dimaksudkan juga dengan pahala di sisi Allah. Bagaimana engkau mengetahui makna kalimat ini?

Misalnya lagi kata kufur. Di dalam kitab Allah, kufur mengandung maksud kufur akbar dan kufur ashghar. Demikian juga kezhaliman dan syirk. Begitu pula kata iradah (kehendak Allah), terkadang dimaksudkan dengan iradah kauniyah dan terkadang iradah syar'iyyah. Demikian juga qadha` dan kitabah. Maka untuk memahaminya harus mengetahui perkataan para ulama dalam menafsirkan nash-nash dan lainnya. Di antara yang membantu perihal ini ialah bersandar kepada perkataan ulama.

Walaupun ayat itu jelas dan gamblang bagimu, tetapi janganlah engkau mengatakannya jelas, sebelum memperhatikan penjelasan para ahli tafsir. Bagaimana penafsiran oleh ath-Thabari, oleh al-Baghawi, oleh Ibnu Katsir, oleh Ibnu Taimiyyah. Perkataan para ulama yang mendalam ilmunya, yang telah memahami masalah-masalah ini dengan baik. Hendaklah seseorang mengambil manfaat dengan perkataan para ulama. Kemudian, setelah itu tidaklah membahayakan dirinya, yang telah jelas baginya bahwa itu adalah haq. Adapun jika usaha seseorang dalam memahami nash-nash tanpa berpedoman dengan penjelasan ulama, maka ini merupakan kesalahan. Demikian juga untuk memahami kitab-kitab Sunnah, untuk mengetahui makna-maknanya perlu meruju` kitab-kitab gharibul-hadits (kata-kata asing dalam hadits,-red).

Demikian juga, seorang penuntut ilmu tidak cukup hanya mengetahui makna mufradat (kata-kata) saja. Karena mufradat terkadang berada dalam satu siyaq (rangkaian kalimat) dengan suatu makna, dan dalam siyaq lainnya memiliki makna yang lain.

Demikian juga nafyi (peniadaan) dan itsbat (penetapan), terkadang dimaksudkan sesuatu tertentu. Misalnya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ

"Tidaklah berzina seseorang yang sedang berzina sedangkan dia mukmin". [6]

Apakah yang dimaksud dengan nafyi (peniadaan iman) dalam hadits ini?

Maksud seorang pezina bukan mukmin, adalah bahwa seorang pezina bukanlah seorang mukmin yang sempurna imannya. Bagaimana kita mengetahuinya? Karena dalam nash-nash yang lain terdapat penjelasan tentang keberadaan iman bagi pelaku maksiat.

Sehingga kita mengetahui, maksud peniadaan di sini ialah peniadaan kesempurnaan (iman) yang wajib, bukan yang pokok. Jadi, penetapannya ialah untuk yang pokok, dan bukan untuk kesempurnaan.

Oleh karena itu, seseorang harus mengetahui makna yang terkandung di dalam siyaq (rangkaian kalimat), dan penunjukan makna siyaq terhadap masalah ini. Karena sebagian nash diketahui dengan makna-makna syar'iyyah. Dan (untuk memahami) sebagian nash, Anda membutuhkan pengetahuan makna nash ini dengan melihat makna nash-nash lainnya yang menjadi penjelas.

Contohnya, orang yang memperhatikan firman Allah:

"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya." [an-Nisa`/4:93].

Orang yang memandang nash ini akan mengatakan bahwa pembunuh ini kekal di dalam neraka. Akan tetapi, jika dia melihat nash lainnya, maka ia akan mengetahui bahwa nash ini tidak bertentangan dengan firman Allah Aza wa Jalla:

"(Dan kalau ada dua golongan dari orang-orang yang beriman itu berperang) -Qs al-Hujurat/49 ayat 9. Di dalam ayat ini, Allah menyebutkan iman dengan adanya peperangan.

Allah juga berfirman

"Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)". [al-Baqarah/2:178].

Di dalam ayat ini Allah menjadikan wali qishash saudara (seiman/seagama, Pent.) bagi pembunuh. Maka kita mengetahui bahwa nash ini tidak bertentangan dengan itu.

Jika kita memperhatikan dengan teliti nash ini:

"(Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya...)" -Qs an-Nisa`/4 ayat 93- bahwa ayat ini dirangkaikan dengan penyebutan balasan. Sedangkan balasan, terkadang terjadi dan terkadang tidak.

Berdasrkan pemahaman ini, semua nash-nash diatas bisa dipertemukan di atas kebenaran, yaitu dalam masalah hukum Allah dan keadilan-Nya; barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam. Tetapi Allah Azza wa Jalla -dengan rahmat dan karunia-Nya- telah menetapkan bahwa barang siapa bertemu Allah dengan tauhid dan terbebas dari perbuatan syirik, ia tidak akan kekal di dalam neraka, walaupun Allah menyiksanya terhadap sebagian dosa-dosanya. Maka kita mengetahui bahwa seorang pembunuh walaupun mendapatkan siksa, tetapi sesungguhnya dia tidak akan kekal di dalam neraka.

Dari sini, maka sesatlah orang yang memahami masalah ini tanpa berdasarkan yang semestinya, yaitu Sunnah. Sehingga muncullah Khawarij dan Mu'tazilah disebabkan buruknya pemahaman mereka terhadap nash-nash ini [7]. Demikian juga Murji'ah telah menyimpang dalam masalah ini [8]. Dan Allah memberi petunjuk kepada Ahlus-Sunah untuk mengetahui nash-nash ini dengan memperhatikan nash-nash lainnya. Sesungguhnya ilmu itu saling melengkapi, saling berkaitan, dan saling menunjukkan. Seperti yang Anda lihat sekarang, seseorang hanya melihatnya dari satu sisi. Dia menghukumi secara umum dan menyalahkan orang lain yang berbicara tentangnya. Dia tidak memperhatikan bahwa masalah ini terbagi dalam beberapa bagian, dan dalam masalah ini terdapat perincian.

Seperti yang kita dengar dari sebuah pertanyaan, bahwa penuntut ilmu tidak mengambil ilmu dari mubtadi.

Perkataan ini benar merupakan perkataan ulama, tetapi dalam keadan yang bagaimana? Yaitu dalam keadaan manakala ada kemudahan. Adapun dalam keadaan darurat dan sangat mendesak, sedangkan di tempat itu tidak ada yang mengajarkan ilmu ini, maka tidak dilarang mengambil ilmu dari orang yang menyimpang, jika ia ahli dalam bidang ilmu dimaksud.

Orang yang tidak memperhatikan bagian-bagian dan perincian-perincian ini akan terjatuh dalam kesalahan. Oleh karena itu, (untuk mendapatkan kebenaran) harus memperhatikan lafazh-lafazh (syari'at) dan siyaq (rangkaian kalimat). Seseorang harus mengetahui makna lafazh dan kandungannya (madlul siyaq).

Sehingga jika kita memperhatikan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا

(Tolonglah saudaramu, baik dia menzhalimi atau dizhalimi) [9] –HR Bukhari, no. 2343, Pent.-, maka kita akan mengetahui bahwa kezhaliman yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di sini bukanlah kezhaliman yang besar seperti halnya disebutkan dalam firman Allah:

"(Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar)". -Qs Luqmân/31 ayat 13.

Demikian juga kita akan mengetahui semisal sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wanita-wanita:

يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ

(Mereka kufur terhadap suami) [10], Kufur disini bukan berarti kufur akbar, tetapi kufur (mengingkari) terhadap suami; kufur di bawah kekafiran, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Abbas dan lainnya dari kalangan ahli tafsir dalam ayat semisalnya, (yaitu) firman Allah Azza wa Jalla :

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir". [al-Maidah/5: 44]

"Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim". [al-Maidah/5:45]

"Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik" [al-Maidah/5:47].

Tentang tiga ayat dalam surat al-Maidah ini, 'Abdullah bin 'Abbas mengatakan kufur duna kufrin (kekafiran di bawah kekafiran, yaitu kekafiran yang tidak mengeluarkan dari iman), zhulmun duna zhulmin (kezhaliman di bawah kezhaliman, yaitu kezhaliman yang tidak mengeluarkan dari iman), fisqun duna fisqin (kefasikan di bawah kefasikan, yaitu kefasikan yang tidak mengeluarkan dari iman). Bagaimana mereka mengetahui ini, mereka mengetahui dengan nash-nash yang lain. Maka harus memperhatikan sisi-sisi ini.

Perincian masalah ini panjang, namun saya mengingatkan bahwa dalam masalah itu terdapat ilmu-ilmu yang daqiq (pelik/komples), dan sebagian perkara-perkaranya sangat luas, sehingga sulit dipahami oleh sebagian manusia. Tak diketahuinya masalah ini oleh sebagian manusia, menyebabkan timbulnya kesalahan-kesalahan yang berbahaya dalam masalah keyakinan dan muamalah.

Oleh karena itu, semua sisi dalam masalah ini seharusnya diperhatikan dan dicermati. Dengan beristi'anah (memohon pertolongan) kepada Allah Azza wa Jalla dalam memahaminya, sehingga seorang penuntut ilmu tidak terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan. Jika menetapkan sesuatu (masalah) hendaklah menyampaikannya kepada para ulama, sehingga mereka akan mengoreksi kesalahannya, jika memang ia melakukan kesalahan.

Kita memohon taufiq kepada Allah untuk kita semua, wallahu a'lam. Semoga Allah memberikan salam dan berkah kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (06-07)/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Al-Ilmu Jangan Mengambil Ilmu dari Ahli Bid'ah

Orang yang berniat mencari ilmu yang haq harus memperhatikan dari siapa dia mengambil ilmu. Jangan sampai mengambil ilmu agama dari ahli bid’ah, karena mereka akan menyesatkan, baik disadari atau tanpa disadari. Sehingga hal ini akan mengantarkannya kepada jurang kehancuran.

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, bahwa untuk meraih ilmu ada dua jalan.

Pertama : Ilmu diambil dari kitab-kitab terpercaya, yang ditulis oleh para ulama yang telah dikenal tingkat keilmuan mereka, amanah, dan aqidah mereka bersih dari berbagai macam bid’ah dan khurafat (dongeng; kebodohan). Mengambil ilmu dari isi kitab-kitab, pasti seseorang akan sampai kepada derajat tertentu, tetapi pada jalan ini ada dua halangan. Halangan pertama, membutuhkan waktu yang lama dan penderitaan yang berat. Halangan kedua, ilmunya lemah, karena tidak dibangun di atas kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip.

Kedua : Ilmu diambil dari seorang guru yang terpercaya di dalam ilmunya dan agamanya. Jalan ini lebih cepat dan lebih kokoh untuk meraih ilmu.[1]

Akan tetapi pantas disayangkan, pada zaman ini kita melihat fenomena pengambilan ilmu dari para ahli bid’ah marak di mana-mana, padahal perbuatan tersebut sangat ditentang oleh para ulama Salaf. Maka benarlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah memberitakan bahwa hal itu merupakan salah satu di antara tanda-tanda dekatnya kiamat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ مِنْ أَشْرِاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْأَصَاغِرِ

"Sesungguhnya di antara tanda hari Kiamat adalah, ilmu diambil dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)" [2].

Imam Ibnul Mubarak rahimahullah ditanya : “Siapakah orang-orang kecil itu?”

Beliau menjawab : “Orang-orang yang berbicara dengan fikiran mereka. Adapun shaghir (anak kecil) yang meriwayatkan dari kabir (orang tua, Ahlus Sunnah), maka dia bukan shaghir (ahli bid’ah).[3]

Di dalam riwayat lain, Imam Ibnul Mubarak juga mengatakan: “Orang-orang kecil dari kalangan ahli bid’ah”. (Riwayat al Lalikai, 1/85).

Syaikh Bakar Abu Zaid –seorang ulama Saudi, anggota Komisi Fatwa Saudi Arabia- berkata : “Waspadalah terhadap Abu Jahal (bapak kebodohan), yaitu ahli bid’ah, yang tertimpa penyimpangan aqidah, diselimuti oleh awan khurafat; dia menjadikan hawa nafsu sebagai hakim (penentu keputusan) dengan menyebutnya dengan kata “akal”; dia menyimpang dari nash (wahyu), padahal bukankah akal itu hanya ada dalam nash? Dia memegangi yang dha’if (lemah) dan menjauhi yang shahih. Mereka juga dinamakan ahlusy syubuhat (orang-orang yang memiliki dan menebar kerancauan pemikiran) dan ahlul ahwa’ (orang-orang yang mengikuti kemauan hawa nafsu). Oleh karena itulah Ibnul Mubarak menamakan ahli bid’ah dengan ash shaghir (anak-anak kecil).[4]

Dan tanda hari Kiamat, yaitu “mengambil ilmu dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)” pada zaman ini benar-benar sudah terjadi dan terus berjalan. Sungguh telah terbukti sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas. Bahkan sesuatu yang lebih besar dari itu, yaitu mengambil ilmu agama Islam dari orang-orang kafir, yakni para dosen yang mengajarkan pengetahuan tentang Islam di berbagai perguruan tinggi di negara Barat.

Maka apakah kira-kira komentar para ulama Salaf, jika mereka mengalami zaman kita ini? Sedangkan mereka adalah orang-orang yang sangat tulus dalam memberikan nasihat, dan tegas menghadapi berbagai penyimpangan?

Marilah kita renungkan perkataan Imam adz Dzahabi rahimahullah tentang ahli bid’ah pada zaman beliau.

Beliau mengatakan: “Jika engkau melihat seorang mutakallim (seorang yang zhahirnya muslim tetapi menggeluti ilmu kalam, mantiq, filsafat, Pen), ahli bid’ah, berkata,’Tinggalkan kami dari al Kitab (al Qur`an) dan hadits-hadits, dan datangkanlah akal,’ maka ketahuilah bahwa dia Abu Jahal. Dan jika engkau melihat seorang salik tauhidi (seorang shufi, Pen) berkata,’Tinggalkan kami dari naql (wahyu) dan akal, dan datangkanlah perasaan dan rasa,’ maka ketahuilah bahwa dia adalah iblis yang telah muncul dengan bentuk manusia, atau iblis telah merasuk padanya. Jika kamu merasa takut padanya, maka larilah. Jika tidak takut, maka bantinglah dia, dan tindihlah dadanya, dan bacakan ayat kursi kepadanya, dan cekiklah dia”.[5]

PERINGATAN PARA ULAMA
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutkan sifat ulama yang akan selalu ada sepanjang zaman, sampai waktu yang dikehendaki oleh Allah, yaitu di dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ : يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَ إِنْتِحِالَ الْمُبْطِلِيْنَ

"Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang lurus pada setiap generasi; mereka akan menolak tahrif (perubahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas; ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh; dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan" [6]

Hadits ini jelas dan tegas menunjukkan sifat-sifat pengemban ilmu agama, yaitu ‘adalah (lurus, istiqamah), maka sepantasnya ilmu itu hanyalah diambil dari mereka. Oleh karena itu, banyak peringatan ulama tentang memilih guru agama yang tepat di dalam mengambil ilmu. Berikut ini di antara perkataan ulama berkaitan dengan hal tersebut.

1). Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata :

اُنْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ هَذَا الْعِلْمَ فَإِنَّمَا هُوَ دِينٌ

"Perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ilmu ini, karena sesungguhnya ia adalah agama" [7]

Perkataan ini juga diriwayatkan dari sejumlah Salafush Shalih, seperti Muhammad bin Siirin, adh Dhahhak bin Muzahim, dan lain-lain (Lihat muqaddimah Shahih Muslim).

2). Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata :

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ مِنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِمْ , وَ تَفَرَّقَتْ أَهْوَاءُهُمْ , هَلَكُوْا

"Manusia akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu mereka datang dari para sahabat Nabi Muhammad n dan dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika ilmu datang dari arah orang-orang kecil (ahli bid’ah) mereka, dan hawa-nafsu mereka bercerai-berai, mereka pasti binasa" [8].

Dalam riwayat lain disebutkan :

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَخَذُوْا الْعِلْمَ عَنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَخَذُوْهُ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ وَ شِرَارِهِمْ هَلَكُوْا

"Manusia selalu berada pada kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika mereka mengambil ilmu dari orang-orang kecil (ahli bid’ah) dan orang-orang buruk (orang fasik) di antara mereka, maka mereka pasti binasa" [9]

3). Imam Malik rahimahullah berkata :

لاَ يُؤْخَذُ الْعِِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيْهٍ مُعلِنِ السَّفَهِ , وَ صَاحِبِ هَوَى يَدْعُو إِلَيْهِ , وَ رَجُلٍ مَعْرُوْفٍ بِالْكَذِبِ فِيْ أَحاَدِيْثِ النَّاسِ وَإِنْ كَانَ لاَ يَكْذِبُ عَلَى الرَّسُوْل صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَ رَجُلٍ لَهُ فَضْلٌ وَ صَلاَحٌ لاَ يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ بِهِ

"Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang : (1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya, (2) Shahibu hawa` (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya, (3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , (4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan.[10]

4). Imam Nawawi rahimahullah berkata menjelaskan ghibah yang dibolehkan :
“Di antaranya, jika seseorang melihat pencari ilmu sering mengambil ilmu dari ahli bid’ah atau orang fasik, dan dia khawatir hal itu akan membahayakan pencari ilmu tersebut, maka dia wajib menasihatinya, dengan menjelaskan keadaan (guru)nya, dengan syarat dia berniat menasihati”. [Riyadhush Shalihin, al Adzkar, Syarah Muslim].

5). Disebutkan di dalam kitab Fatawa Aimmatil Muslimin, hlm. 131, susunan Mahmud Muhammad Khithab as Subki yang berisikan fatwa-fatwa sebagian ulama Mesir, Syam dan Maghrib mutaqaddimin : “Seluruh imam mujtahidin telah sepakat, bahwa tidak boleh mengambil ilmu dari ahli bid’ah”.

TUJUAN PERINGATAN ULAMA
Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir Ruhaili –hafizhahullah- berkata,”Sesungguhnya para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para tabi’in sesudah mereka telah memberikan bimbingan untuk mengambil ilmu dari orang yang ‘adil dan istiqamah. Mereka telah melarang mengambil ilmu dari orang yang zhalim dan menyimpang. Dan di antara orang yang menyimpang, yaitu para ahli bid’ah. Sesungguhnya mereka telah menyimpang dan menyeleweng dari agama dengan sebab bid’ah-bid’ah itu, maka tidah boleh mengambil ilmu dari mereka. Karena ilmu merupakan agama, dipelajari untuk diamalkan. Maka jika ilmu diambil dari ahli bid’ah, sedangkan ahli bid’ah tidak mendasarkan dan menetapkan masalah-masalah kecuali dengan bid’ah-bid’ah yang dia jadikan agama, sehingga ahli bid’ah itu akan mempengaruhi murid-muridnya secara ilmu dan amalan. Sehingga murid-murid itu akan tumbuh di atas bid’ah dan susah meninggalkan kebid’ahan setelah itu. Apalagi jika belajar dari ahli bid’ah itu pada masa kecil, maka pengaruhnya akan tetap dan tidak akan hilang selama hidupnya.”[11]

Syaikh juga menjelaskan, maksud peringatan para ulama ini ada dua. Pertama. Menjaga orang-orang yang belajar dari kerusakan aqidah, karena terpengaruh oleh perkataan dan perbuatan ahli bid’ah. Kedua. Memboikot (mengisolir) ahli bid’ah yang menyerukan bid’ahnya, dengan niat mencegah dan menghentikan mereka dari bid’ah.[12]

Larangan ini berlaku saat situasi memungkinkan. Adapun dalam keadaan terpaksa, boleh belajar kepada ahli bid’ah, dengan tetap waspada dari kesesatan mereka.[13]

Syaikh Bakar Abu Zaid berkata,”Wahai, penuntut ilmu. Jika engkau berada dalam kelonggaran dan memiliki pilihan, janganlah engkau mengambil (ilmu) dari ahli bid’ah, (yaitu) : seorang Rafidhah (Syi’ah), seorang Khawarij, seorang Murji’ah, seorang qadari (orang yang mengingkari takdir), seorang quburi (orang yang berlebihan mengagungkan kuburan), dan seterusnya, karena engkau tidak akan mencapai derajat orang yang benar aqidah agamanya, kokoh hubungannya dengan Allah, benar pandangannya, mengikuti atsar (jejak Salaf), kecuali dengan meninggalkan ahli bid’ah dan bid’ah mereka”.[14]

PERINGATAN BELAJAR AGAMA KEPADA ORANG KAFIR!
Setelah kita mengetahui keterangan di atas, maka selayaknya umat Islam agar senantiasa jeli dan berhati-hati dalam mengambil ilmu. Sehingga pantas untuk diperingatkan, yaitu adanya fenomena pada zaman ini dan sebelumnya, berupa pengambilan ilmu dari orang-orang yang menyimpang, yaitu para ahli bid’ah, bahkan dari orang-orang kafir! Tidakkah orang-orang yang mengambil ilmu dari orang-orang kafir itu pernah membaca atau mendengar firman Allah k tentang usaha orang-orang musyrik untuk memurtadkan umat Islam? Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرُُ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {217}

"Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya" [al Baqarah : 217].

Tidakkah mereka juga pernah mendengar firman Allah Azza wa Jalla tentang keinginan orang-orang Ahli Kitab yang selalu berkeinginan memurtadkan umat Islam?

وَدَّكَثِيرُُ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ {109}

"Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran" [al Baqarah : 109]

Apakah mereka mengira, bahwa keinginan dan usaha orang-orang kafir untuk memurtadkan umat Islam itu hanyalah pada zaman turunnya ayat-ayat al Qur`an itu?

Anggapan seperti itu adalah perkiraan yang salah, karena ayat-ayat itu berasal dari Allah Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Seluruh berita dariNya adalah haq, baik saat turunnya ayat maupun setelahnya. Maka, hendaklah mereka memperhatikan sejarah umat Islam, memperhatikan kejadian-kejadian umat Islam, dahulu dan sekarang. Dengan demikian, mereka akan mengetahui kebenaran firman Allah tersebut.

Inilah sedikit keterangan seputar jalan mengambil ilmu. Semoga Allah selalu membimbing kita kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa dan Bijaksana. Al hamdulillahi Rabbil ‘alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Keutamaan Ilmu Syar'i Dan Mempelajarinya

Allah Ta’ala telah memuji ilmu dan pemiliknya serta mendorong hamba-hamba-Nya untuk berilmu dan membekali diri dengannya. Demikian pula Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang suci.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H) rahimahullaah menyebutkan lebih dari seratus keutamaan ilmu syar’i. Di buku ini penulis hanya sebutkan sebagian kecil darinya. Di antaranya:

[1]. Kesaksian Allah Ta’ala Kepada Orang-Orang Yang Berilmu
Allah Ta’ala berfirman,

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [Ali ‘Imran: 18]

Pada ayat di atas Allah Ta’ala meminta orang yang berilmu bersaksi terhadap sesuatu yang sangat agung untuk diberikan kesaksian, yaitu keesaan Allah Ta’ala... Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu. [1]

Selain itu, ayat di atas juga memuat rekomendasi Allah tentang kesucian dan keadilan orang-orang yang berilmu.

Sesungguhnya Allah hanya akan meminta orang-orang yang adil saja untuk memberikan kesaksian. Di antara dalil yang juga menunjukkan hal ini adalah hadits yang masyhur, bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Ilmu ini akan dibawa oleh para ulama yang adil dari tiap-tiap generasi. Mereka akan memberantas penyimpangan/perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang ghuluw (yang melampaui batas), menolak kebohongan pelaku kebathilan (para pendusta), dan takwil orang-orang bodoh.” [2]

[2]. Orang Yang Berilmu Akan Allah Angkat Derajatnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan secara khusus tentang diangkatnya derajat orang yang berilmu dan beriman. Allah Ta’ala berfirman.

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu: ‘Berilah kelapangan dalam majelis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-Mujaadilah : 11] [3]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur-an beberapa kaum dan Allah pun merendahkan beberapa kaum dengannya.” [4]

Di zaman dahulu ada seseorang yang lehernya cacat, dan ia selalu menjadi bahan ejekan dan tertawaan. Kemudian ibunya berkata kepadanya, “Hendaklah engkau menuntut ilmu, niscaya Allah akan mengangkat derajatmu.” Sejak itulah, orang itu belajar ilmu syar’i hingga ia menjadi orang alim, sehingga ia diangkat menjadi Qadhi (Hakim) di Makkah selama 20 (dua puluh) tahun. Apabila ada orang yang berperkara duduk di hadapannya, maka gemetarlah tubuhnya hingga ia berdiri. [5]

Orang yang berilmu dan mengamalkannya, maka kedudukannya akan diangkat oleh Allah di dunia dan akan dinaikkan derajatnya di akhirat.

Imam Sufyan bin ‘Uyainah (wafat th. 198 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para Nabi dan ulama.” [6]

Allah pun telah berfirman tentang Nabi Yusuf ‘alaihis salaam:

“...Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki, dan diatas setiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.” [Yusuf: 76]

Disebutkan bahwa tafsir ayat di atas adalah bahwasanya Kami (Allah) mengangkat derajat siapa saja yang Kami kehendaki dengan sebab ilmu. Sebagaimana Kami telah mengangkat derajat Yusuf ‘alaihis salaam di atas saudara-saudaranya dengan sebab ilmunya.

Lihatlah apa yang diperoleh oleh Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam berupa pengetahuan (ilmu) terhadap Al-Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil. Dengannyalah Allah Ta’ala mengangkatnya kepada-Nya, mengutamakannya serta memuliakannya. Demikian juga apa yang diperoleh pemimpin anak Adam (yaitu Nabi Muhammad) shallallaahu ‘alaihi wa sallam berupa ilmu yang Allah sebutkan sebagai suatu nikmat dan karunia.

Allah Ta’ala berfirman:

“... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat besar.” [An-Nisaa’: 113] [7]

[3]. Orang Yang Berilmu Adalah Orang-Orang Yang Takut Kepada Allah
Allah mengabarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah Ta’ala, bahkan Allah mengkhususkan mereka di antara manusia dengan rasa takut tersebut. Allah berfirman:

“... Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” [Faathir: 28]

Ibnu Mas’ud Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Cukuplah rasa takut kepada Allah itu disebut sebagai ilmu. Dan cukuplah tertipu dengan tidak mengingat Allah disebut sebagai suatu kebodohan.” [8]

Imam Ahmad rahimahullaah berkata, “Pokok ilmu adalah rasa takut kepada Allah.” [9] Apabila seseorang bertambah ilmunya, maka akan bertambah rasa takut-nya kepada Allah.

[4]. Ilmu Adalah Nikmat Yang Paling Agung
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa nikmat dan karunia-Nya atas Rasul-Nya (Nabi Muhammad) shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan menjadikan nikmat yang paling agung adalah diberikannya Al-Kitab dan Al-Hikmah, dan Allah mengajarkan beliau apa yang belum diketahuinya.
Allah berfirman:

“... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat besar.” [An-Nisaa’: 113] [10]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang sepertinya (As-Sunnah) bersamanya...” [11]

[5]. Faham Dalam Masalah Agama Termasuk Tanda-Tanda Kebaikan
Dalam ash-Shahiihain dari hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan (wafat th. 78 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.” [12]

Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah, sebagaimana orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia menjadikannya faham dalam masalah agama. Dan barangsiapa yang diberikan pemahaman dalam agama, maka Allah telah menghendaki kebaikan untuknya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pemahaman (fiqh) adalah ilmu yang mengharuskan adanya amal. [13]

Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) rahimahullaah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan ilmu, mendalami agama, dan dorongan kepadanya. Sebabnya adalah karena ilmu akan menuntunnya kepada ketaqwaan kepada Allah Ta’ala.” [14]

[6]. Orang Yang Berilmu Dikecualikan Dari Laknat Allah
Imam at-Tirmidzi (wafat th. 249 H) rahimahullaah meriwayatkan dari Abu Hurairah (wafat th. 57 H) radhi-yallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, orang berilmu, dan orang yang mempelajari ilmu.’” [15]

[7]. Menuntut Ilmu Dan Mengajarkannya Lebih Utama Daripada Ibadah Sunnah Dan Wajib Kifayah
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Keutamaan ilmu lebih baik daripada keutamaan ibadah, dan agama kalian yang paling baik adalah al-wara’ (ketakwaan).” [16]

‘Ali bin Abi Thalib (wafat th. 40 H) Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Orang yang berilmu lebih besar ganjaran pahalanya daripada orang yang puasa, shalat, dan berjihad di jalan Allah.” [17]

Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Sungguh, aku mengetahui satu bab ilmu tentang perintah dan larangan lebih aku sukai daripada tujuh puluh kali melakukan jihad di jalan Allah.” [18]

Aku (Ibnul Qayyim) katakan, “Ini -jika shahih- maknanya adalah: lebih aku sukai daripada jihad tanpa ilmu, karena amal tanpa ilmu kerusakannya lebih banyak daripada baiknya.” [19]

Al-Hasan rahimahullaah berkata, “Orang yang berilmu lebih baik daripada orang yang zuhud terhadap dunia dan orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah.” [20]

Sufyan ats-Tsauri (wafat th. 161 H) rahimahullaah mengatakan, “Aku tidak mengetahui satu ibadah pun yang lebih baik daripada mengajarkan ilmu kepada manusia.” [21]

Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik setelah berbagai kewajiban syari’at daripada menuntut ilmu syar’i.” [22]

[8]. Ilmu Adalah Kebaikan Di Dunia
Mengenai firman Allah Ta’ala,

“Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia”

Al-Hasan (wafat th. 110 H) rahimahullaah berkata, “Yang dimaksud kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah.” Dan firman Allah,

“Dan kebaikan di akhirat.” [Al-Baqarah: 201]

Al-Hasan rahimahullaah berkata, “Maksudnya adalah Surga.”

Sesungguhnya kebaikan dunia yang paling agung adalah ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, dan ini adalah sebaik-baik tafsir ayat di atas. [23]

Ibnu Wahb (wafat th. 197 H) rahimahullaah berkata, “Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri rahimahullaah berkata, ‘Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah Surga.’” [24]

[9]. Ilmu Adalah Jalan Menuju Kebahagiaan
Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Shahabat Abu Kabasyah al-Anmari (wafat th. 13 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“...Sesungguhnya dunia diberikan untuk empat orang: (1) seorang hamba yang Allah berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, dengannya ia menyambung sila-turahmi, dan mengetahui hak Allah di dalamnya. Orang tersebut kedudukannya paling baik (di sisi Allah). (2) Seorang hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia dengan niatnya itu, maka pahala keduanya sama. (3) Seorang hamba yang Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu. Lalu ia tidak dapat mengatur hartanya, tidak bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, tidak menyambung silaturahmi dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di dalamnya. Kedudukan orang tersebut adalah yang paling jelek (di sisi Allah). Dan (4) seorang hamba yang tidak Allah berikan harta tidak juga ilmu, ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia berniat seperti itu dan keduanya sama dalam mendapatkan dosa.” [25]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membagi penghuni dunia menjadi empat golongan. Golongan yang terbaik di antara mereka adalah orang yang diberikan ilmu dan harta; ia berbuat baik kepada manusia dan dirinya sendiri dengan ilmu dan hartanya. [26]

[10]. Menuntut Ilmu Akan Membawa Kepada Kebersihan Hati, Kemuliaannya, Kehidupannya, Dan Cahayanya
Sesungguhnya hati manusia akan menjadi lebih bersih dan mulia dengan mendapatkan ilmu syar’i dan itulah kesempurnaan diri dan kemuliaannya. Orang yang menuntut ilmu akan bertambah rasa takut dan taqwanya kepada Allah. Hal ini berbeda dengan orang yang disibukkan oleh harta dan dunia, padahal harta tidak membersihkan dirinya, tidak menambah sifat kesempurnaan dirinya, yang ada hatinya akan menjadi tamak, rakus, dan kikir.

Sesungguhnya mencintai ilmu dan mencarinya adalah akar segala ketaatan, sedangkan mencintai harta dan dunia adalah akar berbagai kesalahan yang menjerumuskan ke Neraka.

Setiap Muslim dan Muslimah harus mengetahui bahwa orang yang menuntut ilmu adalah orang yang bahagia karena ia mendengarkan ayat-ayat Al-Qur-an, hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan perkataan para Shahabat. Dengannya hati terasa nikmat dan akan membawa kepada kebersihan hati dan kemuliaan.

[11]. Orang Yang Menuntut Ilmu Akan Dido’akan Oleh Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang-orang yang mendengarkan sabda beliau dan memahaminya dengan keindahan dan berserinya wajah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan sebuah hadits dari kami, lalu menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Banyak orang yang membawa fiqih namun ia tidak memahami. Dan banyak orang yang menerangkan fiqih kepada orang yang lebih faham darinya. Ada tiga hal yang dengannya hati seorang muslim akan bersih (dari khianat, dengki dan keberkahan), yaitu melakukan sesuatu dengan ikhlas karena Allah, menasihati ulil amri (penguasa), dan berpegang teguh pada jama’ah kaum Muslimin, karena do’a mereka meliputi orang-orang yang berada di belakang mereka.” Beliau bersabda, “Barangsiapa yang keinginannya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan kekuatannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusan dunianya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya.” [27]

Seandainya keutamaan ilmu hanyalah ini saja, tentu sudah cukuplah hal itu untuk menunjukkan kemuliaannya. Sebab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdo’a bagi orang yang mendengar sabda beliau, lalu memahaminya, menghafalnya, dan menyampaikannya. Maka, inilah empat tingkatan ilmu:

Tingkatan pertama dan kedua, yaitu mendengar dan memahaminya. Apabila ia mendengarnya, maka ia pun memahami dengan hatinya. Maksudnya, memikirkan-nya dan menetapkannya di dalam hatinya sebagaimana ditempatkannya sesuatu di dalam wadah yang tidak mungkin bisa keluar darinya. Demikian juga akalnya yang laksana tali kekang unta, sehingga ia tidak lari kesana-kemari. Wadah dan akal itu tidak mempunyai fungsi lain selain untuk menyimpan sesuatu.

Tingkatan ketiga, yaitu komitmen untuk menghafal ilmu agar ilmu tidak hilang.

Tingkatan keempat, yaitu menyampaikan ilmu dan menyebarkannya kepada ummat agar ilmu membuahkan hasilnya, yaitu tersebar luas di tengah-tengah masyarakat.

Barangsiapa melakukan keempat tingkatan di atas, maka ia masuk dalam do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mencakup keindahan fisik dan psikis. Sesungguhnya kecerahan adalah hasil dari pengaruh iman, kebahagiaan batin, kegembiraan hati dan kesenangannya, kemudian hal itu menampakkan kecerahan, kebahagiaan, dan berseri-serinya wajah. Allah Ta’ala berfirman:

“Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan.” [Al-Muthaffifiin: 24]

Jadi, kecerahan dan berseri-serinya wajah seseorang yang mendengar Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu memahami, menghafal, dan menyampaikannya adalah hasil dari kemanisan, kecerahan, dan kebahagiaan di dalam hati dan jiwanya. [28]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan perawi hadits dengan kebaikan dan keelokan wajah, baik di dunia maupun di akhirat. Dikatakan bahwa maknanya adalah Allah Ta’ala menyampaikannya pada kenikmatan Surga.

Perawi hadits yang dido’akan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan keelokan wajah adalah perawi lafazh hadits, meskipun ia belum memahami semua makna hadits. Betapa banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya. Meskipun selamanya ia tidak memiliki pemahaman terhadap hadits. Banyak pembawa fiqih yang tidak memiliki pemahaman (yang memadai).

Ini menunjukkan tentang disyari’atkannya meriwayatkan hadits tanpa (harus) memahaminya (terlebih dahulu). Bahkan hal ini menunjukkan disukainya hal tersebut. Juga menunjukkan bahwa meriwayatkan hadits tanpa pengetahuannya terhadap pemahaman hadits tersebut adalah perbuatan terpuji, tidak tercela. Dengan perbuatan itu, ia berhak mendapatkan do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. [29]

[12]. Menuntut Ilmu Adalah Jihad Di Jalan Allah Dan Orang Yang Menuntut Ilmu Laksana Mujahid Di Jalan Allah Ta’ala
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

“Barangsiapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) dengan tujuan mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala. Dan barangsiapa yang memasukinya dengan tujuan selain itu, maka ia laksana orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya.” [30]

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan, “Jihad melawan hawa nafsu memiliki empat tingkatan:

Pertama: berjihad untuk mempelajari petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang benar (amal shalih). Seseorang tidak akan mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali dengannya.

Kedua: berjihad untuk mengamalkan ilmu setelah mengetahuinya.

Ketiga: berjihad untuk mendakwahkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya.

Keempat: berjihad untuk sabar dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala dan sabar terhadap gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata karena Allah.
Apabila keempat tingkatan ini telah terpenuhi pada dirinya, maka ia termasuk orang-orang yang Rabbani. [31]

Abu Darda Radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi mencari ilmu tidak termasuk jihad, sungguh, ia kurang akalnya.” [32]

Berjihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak. Allah berfirman kepada Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar berjihad dengan Al-Qur-an melawan orang-orang kafir.

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur-an dengan jihad yang besar.” [Al-Furqaan: 52]

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan berjihad melawan orang-orang kafir dan munafik dengan cara menyampaikan hujjah (dalil dan keterangan).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Jihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak.” [33]

[13]. Pahala Ilmu Yang Diajarkan Akan Tetap Mengalir Meskipun Pemiliknya Telah Meninggal Dunia
Disebutkan dalam Shahiih Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya terputus, kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.” [34]

Hadits ini adalah dalil terkuat tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu serta besarnya buah dari ilmu. Sesungguhnya pahala ilmu tetap diterima oleh orang yang bersangkutan selama ilmunya diamalkan orang lain. Seolah-olah ia tetap hidup dan amalnya tidak terputus. Ini disamping kenangan dan sanjungan yang dialamatkan kepadanya. Tetap mengalirnya pahala untuk dirinya pada saat pahala amal perbuatan telah terputus dari manusia adalah kehidupan kedua baginya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya mengkhususkan ketiga hal di atas yang pahalanya tetap diterima oleh si mayit karena ia (si mayit) adalah penyebab keberadaan ketiga hal tersebut. Karena ia menjadi sebab terbentuknya anak shalih, shadaqah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat, maka pahalanya tetap mengalir kepadanya. Seorang hamba mendapatkan pahala karena tindakannya langsung atau tindakan yang dilahirkan (tindakan tidak langsung) darinya. Kedua prinsip ini disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

“Yang demikian itu ialah karena mereka (para Mujahidin) tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [At-Taubah: 120]

Kesemua hal di atas lahir dari tindakan mereka dan tidak ditakdirkan bagi mereka. Yang ditakdirkan bagi mereka ialah sebab-sebabnya yang mereka lakukan secara langsung. Maksudnya, bahwa haus, payah, lapar, dan membangkitkan amarah musuh bukanlah karena (sengaja) mereka lakukan demikian, lalu ditulis jadi amal shalih. Akan tetapi, hal ini timbul dari perbuatan mereka (yaitu jihad fi sabilillaah) karena itu ditulis bagi mereka sebagai amal shalih. [35]

[14]. Dengan Menuntut Ilmu, Kita Akan Berfikir Yang Baik, Benar, Mendapatkan Pemahaman Yang Benar, Dan Dapat Mentadabburi Ayat-Ayat Allah
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullaah mengatakan, “Memikirkan nikmat-nikmat Allah termasuk ibadah yang paling utama.” [36]

Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati daripada membaca Al-Qur-an dengan tadabbur dan tafakkur. Karena hal itu mengumpulkan semua kedudukan orang yang berjalan kepada Allah, keadaan orang-orang yang mengamalkan ilmunya, dan kedudukan orang-orang yang bijaksana. Hal inilah yang mewariskan rasa cinta, rindu, takut, harap, kembali kepada Allah, tawakkal, ridha, penyerahan diri, syukur, sabar dan segala keadaan yang dengannya hati menjadi hidup dan sempurna.

Seandainya manusia mengetahui apa yang terdapat dalam membaca Al-Qur-an dengan tadabbur, maka ia akan lebih menyibukkan diri dengannya daripada selainnya. Apabila ia melewati ayat yang dibutuhkannya untuk mengobati hatinya, maka ia akan mengulang-ulangnya meskipun sampai seratus kali, walaupun ia menghabiskan satu malam. Membaca Al-Qur-an dengan memikirkan dan memahaminya lebih baik daripada membacanya sampai khatam tanpa mentadabburi dan memahaminya, lebih bermanfaat bagi hati dan lebih membantu untuk memperoleh keimanan dan merasakan manisnya Al-Qur-an. Membaca Al-Qur-an dengan memikirkannya adalah pokok kebaikan hati. [37]

Al-Hasan al-Bashri rahimahullaah mengatakan, “Al-Qur-an diturunkan untuk diamalkan, maka jadikanlah membacanya sebagai salah satu pengamalannya.” [38]

[15]. Ilmu Lebih Baik Daripada Harta
Keutamaan ilmu atas harta dapat diketahui dari beberapa segi:
Pertama: Ilmu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan para raja dan orang-orang kaya.

Kedua: Ilmu akan menjaga pemiliknya, sedangkan pemilik harta menjaga hartanya.

Ketiga: Ilmu adalah penguasa atas harta, sedangkan harta tidak berkuasa atas ilmu.

Keempat: Harta akan habis dengan dibelanjakan, sedangkan ilmu akan bertambah jika diajarkan.

Kelima: Apabila meninggal dunia, pemilik harta akan berpisah dengan hartanya, sedangkan ilmu akan masuk bersamanya ke dalam kubur.

Keenam: Harta dapat diperoleh orang-orang mukmin maupun kafir, orang baik maupun orang jahat. Sedangkan ilmu yang bermanfaat hanya dapat diperoleh orang-orang yang beriman.

Ketujuh: Orang yang berilmu dibutuhkan oleh para raja dan selain mereka, sedangkan pemilik harta hanya dibutuhkan oleh orang-orang miskin.

Kedelapan: Jiwa akan mulia dan bersih dengan mengumpulkan ilmu dan berusaha memperolehnya -hal itu termasuk kesempurnaan dan kemuliaannya- sedangkan harta tidak membersihkannya, tidak menyempurnakannya bahkan tidak menambah sifat kemuliaan.

Kesembilan: Harta itu mengajak jiwa kepada bertindak sewenang-wenang dan sombong, sedangkan ilmu mengajaknya untuk rendah hati dan melaksanakan ibadah.

Kesepuluh: Ilmu membawa dan menarik jiwa kepada kebahagiaan yang Allah ciptakan untuknya, sedangkan harta adalah penghalang antara jiwa dengan kebahagiaan tersebut.

Kesebelas: Kekayaan ilmu lebih mulia daripada kekayaan harta karena kekayaan harta berada di luar hakikat manusia, seandainya harta itu musnah dalam satu malam saja, jadilah ia orang yang miskin, sedangkan kekayaan ilmu tidak dikhawatirkan kefakirannya, bahkan ia akan terus bertambah selamanya, pada hakikatnya ia adalah kekayaan yang paling tinggi.

Kedua belas: Mencintai ilmu dan mencarinya adalah pokok segala ketaatan, sedangkan cinta dunia dan harta dan mencarinya adalah pokok segala kesalahan.

Ketiga belas: Nilai orang kaya ada pada hartanya dan nilai orang yang berilmu ada pada ilmunya. Apabila hartanya lenyap, lenyaplah nilainya dan tidak tersisa tanpa nilai, sedangkan orang yang berilmu nilai dirinya tetap langgeng, bahkan nilainya akan terus bertambah.

Keempat belas: Tidaklah satu orang melakukan ketaatan kepada Allah Ta'ala, melainkan dengan ilmu, sedangkan sebagian besar manusia berbuat maksiat kepada Allah lantaran harta mereka.

Kelima belas: Orang yang kaya harta selalu ditemani dengan ketakutan dan kesedihan, ia sedih sebelum mendapatkannya dan merasa takut setelah memperoleh harta, setiap kali hartanya bertambah banyak, bertambah kuat pula rasa takutnya. Sedangkan orang yang kaya ilmu selalu ditemani rasa aman, kebahagiaan, dan kegembiraan.
Wallaahu a’lam. [39]

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts