Kamis, 07 Oktober 2010

Shalat Istikharah

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami istikharah dalam setiap urusan yan kami hadapi sebagaimana beliau mengajarkan kami suatu surah dari Al-Qur’an. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika seorang dari kalian menghadapi masalah maka ruku’lah (shalat) dua raka’at yang bukan shalat wajib kemudian berdo’alah: Allahumma inniy astakhiiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadhlikal ‘azhim, fainnaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta’lamu wa laa ‘Abdullah’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuub. Allahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amru khairul liy fiy diiniy wa aku ma’aasyiy wa ‘aafiyati amriy” atau; ‘Aajili amriy wa aajilihi faqdurhu liy wa yassirhu liy tsumma baarik liy fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna haadzal amru syarrul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aafiyati amriy” aw qaola; fiy ‘aajili amriy wa aajilihi fashrifhu ‘anniy washrifniy ‘anhu waqdurliyl khaira haitsu kaana tsummar dhiniy.” (Ya Allah aku memohon pilihan kepada-Mu dengan ilmuMu dan memohon kemampuan dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon karunia-Mu yang Agung. Karena Engkau Maha Mampu sedang aku tidak mampu, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau beliau bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka takdirkanlah buatku dan mudahkanlah kemudian berikanlah berkah padanya. Namun sebaliknya ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau beliau bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka jauhkanlah urusan dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan tetapkanlah buatku urusan yang baik saja dimanapun adanya kemudian jadikanlah aku ridha dengan ketetapan-Mu itu”. Beliau bersabda: “Dia sebutkan urusan yang sedang diminta pilihannya itu”. (HR. Al-Bukhari no. 1162)
Cara menyebutkan urusannya misalnya: Ya Allah, jika engkau mengetahui bahwa safar ini atau pernikahan ini atau usaha ini atau mobil ini baik bagiku …, dan seterusnya.

Penjelasan ringkas:
Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang sangat lemah, mereka sangat membutuhkan bantuan dari Allah Ta’ala dalam semua urusan mereka. Hal itu karena dia tidak mengetahui hal yang ghaib sehingga dia tidak bisa mengetahui mana amalan yang akan mendatangkan kebaikan dan mana yang akan mendatangkan kejelekan bagi dirinya. Karenanya, terkadang seseorang hendak mengerjakan suatu perkara dalam keadaan dia tidak mengetahui akibat yang akan lahir dari perkara tersebut atau hasilnya mungkin akan meleset dari perkiraannya. Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mensyariatkan adanya istikharah, yaitu permintaan kepada Allah agar Dia berkenan memberikan hidayah kepadanya menuju kepada kebaikan. Yang mana doa istikharah ini dipanjatkan kepada Allah setelah dia mengerjakan shalat sunnah dua rakaat.
Allah Ta’ala berfirman:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ. وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ. وَهُوَ اللَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kalian dikembalikan.” (QS. Al-Qashash: 68-70)
Imam Muhammad bin Ahmad Al-Qurthuby rahimahullah berkata, “Sebagian ulama mengatakan: Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk mengerjakan suatu urusan dari urusan-urusan dunia kecuali setelah dia meminta pilihan kepada Allah dalam urusan tersebut. Yaitu dengan dia shalat dua rakaat shalat istikharah.” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an: 13/202)

Shalat istikharah termasuk dari shalat-shalat sunnah berdasarkan kesepakatan para ulama. Al-Hafizh Al-Iraqi berkata -sebagaimana dalam Fath Al-Bari (11/221-222), “Saya tidak mengetahui ada ulama yang berpendapat wajibnya shalat istikharah.”

Faidah:
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fath (11/220), “Ibnu Abi Hamzah berkata: Amalan yang wajib dan yang sunnah tidak perlu melakukan istikharah dalam melakukannya, sebagaiman yang haram dan makruh tidak perlu melakukan istikharah dalam meninggalkannya. Maka urusan yang butuh istikharah hanya terbatas pada perkara yang mubah dan dalam urusan yang sunnah jika di depannya ada dua amalan sunnah yang hanya bisa dikerjakan salah satunya, mana yang dia kerjakan lebih dahulu dan yang dia mencukupkan diri dengannya.” Maka janganlah sekali-kali kamu meremehkan suatu urusan, akan tetapi hendaknya kamu beristikharah kepada Allah dalam urusan yang kecil dan yang besar, yang mulia atau yang rendah, dan pada semua amalan yang disyariatkan istikharah padanya. Karena terkadang ada amalan yang dianggap remeh akan tetapi lahir darinya perkara yang mulia.”

Berikut beberapa permasalahan yang sering ditanyakan berkenaan dengan istikharah:
1. Apakah boleh istikharah dengan doa selain doa di atas atau dengan bahasa Indonesia?
Jawab: Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata dalam hadits di atas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami istikharah dalam setiap urusan yan kami hadapi sebagaimana beliau mengajarkan kami suatu surah dari Al-Qur’an.”
Ucapan ini menunjukkan bahwa dalam istikharah seseorang hanya boleh membaca doa di atas sesuai dengan konteks aslinya, tidak boleh ada penambahan dan tidak boleh juga ada pengurangan. Hal itu karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menyerupakan pengajaran istikharah seperti pengajaran surah Al-Qur`an. Maka sebagaimana suatu ayat dalam Al-Qur`an tidak boleh ditambah atau dikurangi atau dirubah maka demikian halnya dengan doa istikharah. Karenanya tidak boleh berdoa dengan membaca terjemahannya semata, tapi dia harus membacanya sebagaimana Nabi mengajarkannya.
Barangsiapa yang berdoa dengan terjemahannya maka dia tidak teranggap melakukan istikharah, akan tetapi dia hanya dianggap sedang berdoa kepada Allah. Hal ini telah diisyaratkan oleh Muhammad bin Abdillah bin Al-Haaj Al-Maliki rahimahullah dalam Al-Madkhal (4/37-38)

2. Apakah boleh langsung berdoa dengan doa di atas tanpa melakukan shalat sebelumnya?
Jawab: Wallahu a’lam, yang nampak bahwa 2 rakaat dengan doa ini merupakan satu kesatuan dalam istikharah. Karenanya barangsiapa yang hanya berdoa tanpa mengerjakan shalat maka dia tidak dianggap mengerjakan istikharah yang tersebut dalam hadits ini. Walaupun dia tetap dianggap sebagai orang yang berdoa kepada Allah.
Akan tetapi jika dia ada uzur dalam mengerjakan shalat -misalnya wanita yang tengah haid atau nifas-, maka dia boleh langsung berdoa dan itu sudah dianggap sebagai istikharah karenanya adanya uzur untuk tidak mengerjakan shalat. Ini merupakan mazhab Al-Hanafiah, Al-Malikiah, dan Asy-Syafi’iyah.
Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Adzkar hal. 112, “Jika dia tidak bisa mengerjakan shalat karena ada uzur, maka hendaknya dia cukup beristikharah dengan doa.”

3. Apakah dua rakaat ini merupakan shalat khusus, ataukah berlaku untuk semua shalat sunnah dua rakaat?
Jawab: Lahiriah hadits menunjukkan ini merupakan shalat dua rakaat khusus dengan niat untuk istikharah. Hanya saja jika seseorang shalat sunnah rawatib dengan niat rawatib sekaligus niat istikharah (menggabungkan niat), maka itu sudah cukup baginya dan dia sudah boleh langsung berdoa setelahnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Jika dia meniatkan shalat itu dengan niatnya dan dengan niat shalat istikharah secara bersamaan (menggabungkan niatnya, pent.) maka shalatnya itu sudah syah dianggap sebagai istikharah, berbeda halnya jika dia tidak meniatkannya (sebagai shalat istikharah).” (Fath Al-Bari: 11/221)
Sekedar menguatkan isi hadits, bahwa dua rakaat yang dimaksud haruslah merupakan shalat sunnah. Karenanya shalat subuh tidak bisa diniatkan sebagai shalat istikharah karena dia merupakan shalat wajib.

4. Adakah surah khusus yang disunnahkan untuk dibaca dalam shalat istikharah?
Jawab: Al-Hafizh Al-Iraqi rahimahullah berkata, “Saya tidak menemukan sedikitpun dalam jalan-jalan hadits istikharah adanya penentuan surah tertentu yang dibaca di dalamnya.” (Umdah Al-Qari`: 7/235)
Inilah pendapat yang benar karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan adanya surah tertentu yang lebih utama dibaca dalam shalat istikharah. Sementara tidak boleh menentukan lebih utamanya suatu surah dibandingkan yang lainnya dari sisi bacaan kecuali dengan dalil yang shahih.

5. Bagi yang tidak menghafal doanya, apakah dia bisa membacanya dari sebuah buku?
Jawab: Yang jelas, yang pertama kita katakan: Hendaknya dia berusaha semaksimal mungkin untuk menghafalnya.
Jika dia tidak sanggup, maka Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kemampuannya. Dalam keadaan seperti ini dia diperbolehkan membaca doa ini dengan melihat kepada kitab atau catatannya. Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab ketika diajukan pertanyaan yang senada dengan di atas, “Jika engkau menghafal doa istikharah atau engkau membacanya dari kitab, maka tidak ada masalah. Hanya saja kamu wajib bersungguh-sungguh dalam berkonsentrasi dan khusyu’ kepada Allah serta jujur dalam berdoa.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah: 8/161)

6. Bolehkah shalat istikharah pada waktu yang terlarang shalat?
Jawab: Jika shalat istikharahnya masih bisa ditunda hingga keluar dari waktu yang terlarang maka inilah yang lebih utama dia kerjakan. Akan tetapi shalat istikharah ini tidak bisa diundur atau dia butuhkan saat itu juga, maka dia boleh mengerjakannya saat itu juga walaupun pada waktu yang terlarang. Karena jika shalat istikharah itu dibutuhkan secepatnya, maka jadilah dia shalat sunnah yang disyariatkan karena adanya sebab, sementara sudah dimaklumi bahwa waktu-waktu terlarang shalat ini tidak berlaku pada shalat-shalat sunnah yang mempunyai sebab, seperti tahiyatul masjid, shalat sunnah wudhu, dan semacamnya.
Bolehnya shalat sunnah yang mempunyai sebab dikerjakan pada waktu-waktu terlarang merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, serta pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa: 23/210-215)

7. Apa yang dia lakukan setelah istikharah?
Jawab: Sebelumnya butuh diingatkan bahwa sebelum melakukan istikharah hendaknya dia mengosongkan hatinya dari kecondongan kepada salah satu urusan dari dua urusan yang dia akan mintai pilihan (tidak berpihak kepada satu pilihan). Akan tetapi hendaknya dia melepaskan diri dari semua pilihan tersebut dan betul-betul pasrah menyerahkan nasibnya dan pilihannya kepada Allah Ta’ala.
Imam Al-Qurthuby berkata, “Para ulama menyatakan: Hendaknya dia mengosongkan hatinya dari semua pikiran (berkenaan dengan urusan yang akan dia hadapi) agar hatinya tidak condong kepada salah satu urusan (sebelum dia istikharah).” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an: 13/206)
Kemudian, setelah dia melakukan istikharah, maka hendaknya dia memilih untuk mengerjakan apa yang hendak dia lakukan dari urusan yang tadinya dia minta pilihan padanya. Jika urusan itu merupakan kebaikan maka insya Allah Allah akan memudahkannya dan jika itu merupakan kejelekan maka insya Allah Allah akan memalingkannya dari urusan tersebut.
Muhammad bin Ali Az-Zamlakani rahimahullah berkata, “Jika seseorang sudah shalat istikharah dua rakaat untuk suatu urusan, maka setelah itu hendaknya dia mengerjakan urusan yang dia ingin kerjakan, baik hatinya lapang/tenang dalam mengerjakan urusan itu ataukah tidak, karena pada urusan tersebut terdapat kebaikan walaupun mungkin hatinya tidak tenang dalam mengerjakannya.” Dan beliau juga berkata, “Karena dalam hadits (Jabir) tersebut tidak disebutkan adanya kelapangan/ketenangan jiwa.” (Thabaqat Asy-Syafi’iah Al-Kubra: 9/206) Maksudnya: Dalam hadits Jabir di atas tidak disebutkan bahwa hendaknya dia mengerjakan apa yang hatinya tenang dalam mengerjakannya, wallahu a’lam.
Karenanya, termasuk khurafat adalah apa yang diyakini oleh sebagian orang bahwa: Siapa yang sudah melakukan istikharah maka dia tidak melakukan apa-apa hingga mendapatkan mimpi yang baik atau mimpi yang akan mengarahkannya dan seterusnya. Ini sungguh merupakan perbuatan orang yang jahil tatkala dia menyandarkan urusannya pada sebuah mimpi, wallahul musta’an.

8. Jika hatinya masih ragu-ragu atau hatinya belum mantap dalam mengerjakan urusan yang tadinya dia sudah beristikharah untuknya. Apakah dia boleh mengulangi shalat istikharahnya?
Jawab: Boleh berdasarkan beberapa dalil di antaranya:
1. Istikharah merupakan doa, dan di antara kebiasaan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam berdoa adalah mengulanginya sebanyak tiga kali.
Hadits ini kami bawakan bukan untuk menunjukkan shalat istikharah diulang sebanyak tiga kali, akan tetapi hanya untuk menunjukkan bolehnya mengulangi doa.
2. Shalat istikharah adalah shalat yang disyariatkan karena adanya sebab. Karenanya, selama sebab itu masih ada dan belum hilang maka tetap disyariatkan mengerjakan shalat ini.
Inilah yang dipilih oleh sejumlah ulama di antanya: Imam Badruddin Al-Aini dalam Umdah Al-Qari` (7/235), Ali Al-Qari dalam Mirqah Al-Mafatih (3/406), dan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (3/89).

9. Haruskah shalat istikharah dikerjakan di malam hari?
Jawab: Dalam hadits di atas tidak ada keterangan waktu pengerjaannya. Karena shalat ini bisa dikerjakan kapan saja baik siang maupun malam hari. Barangsiapa yang meyakini shalat ini hanya bisa dikerjakan di malam hari maka keyakinannya ini keliru. Walaupun tentunya jika dia mengerjakannya pada waktu-waktu dimana doa mustajabah -seperti antara azan dan iqamah, sepertiga malam terakhir, dan seterusnya-, maka itu lebih utama.

Demikian beberapa pertanyaan yang sempat hadir dalam ingatan kami, jika ada pertanyaan lain silakan dituliskan pada kolom komentar.

[Rujukan utama: Kasyf As-Sitarah 'an Shalah Al-Istikharah

Semua Tergantung Niat

Rasulullah -shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- bersabda:

إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ

“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”.

Pada edisi perdana ini, sengaja kami mengangkat syarh hadits ‘Umar bin Khoththob yang masyhur tentang niat ini ke hadapan para pembaca dalam rangka mencontoh beberapa ulama salaf yang memulai karangan mereka dengan membawakan hadits ini. Berkata Imam ‘Abdurrahman bin Mahdy sebagaimana dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah hal. 10 : “Sepantasnya bagi setiap orang yang mengarang suatu karangan untuk membukanya dengan hadits ini sebagai peringatan kepada para penuntut ilmu untuk memperbaiki niat”. Dan di antara para ulama yang membuka karangannya dengan hadits ini adalah Imam Al-Bukhary dalam Shohih Al-Bukhary, Imam ‘Abdul Ghony Al-Maqdasy dalam ‘Umdatul Ahkam dan Imam An-Nawawy dalam Riyadhush Sholihin dan dalam Al-Arba’in An-Nawawiyah.

Takhrij Hadits:
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689 dan 6953, Imam Muslim no. 3530 dan lain-lain dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Anshory dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimy dari ‘Alqomah bin Waqqosh Al-Laitsy dari ‘Umar ibnul Khoththob radhiallahu ‘anhu.
Dari konteks sanadnya kita bisa melihat bahwa hadits ini adalah hadits ahad atau lebih tepatnya ghorib karena tidak ada yang meriwayatkan hadits ini –secara shohih- dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kecuali ‘Umar, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari ‘Umar kecuali ‘Alqomah, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim dan tidak ada yang meriwayatkan hadits ini darinya kecuali Yahya.

Komentar Para Ulama :
Berkata Imam Ibnu Rajab : ”Para ulama sepakat atas keshohihannya dan ummat telah bersepakat dalam menerimanya”.
Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata dalam Syarh Arbain An-Nawawi hal 9 : “Ini adalah hadits shohih yang disepakati akan keshohihannya dan akan besarnya kedudukan dan keagungannya serta banyaknya faedahnya”.
Berkata Abu Ubaid : ”Tidak ada satupun hadits Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam yang lebih luas, lebih mencukupi dan lebih banyak faedahnya dibandingkan hadits ini”.
Dan telah bersepakat para imam seperti Abdurrahman bin Mahdi, Asy-Syafi’iy, Ahmad bin Hanbal, ‘Ali Ibnul Madini, Abu Dawud As-Sijistani, At-Tirmidzy, Ad-Daraquthny dan Hamzah Al-Kinani bahwa hadist ini adalah sepertiga ilmu.
Hal ini dikomentari oleh Imam Al-Baihaqi dengan perkataannya : ”Hal tersebut dikarenakan sesungguhnya amalan seorang hamba adalah dengan hatinya, lisannya dan anggota tubuhnya, sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian tersebut”. Lihat Syarh Arbain hal 10.
Abdurrahman bin Mahdiy berkata : ”Hadits niat ini bisa masuk ke dalam 30 bab ilmu”. Sedangkan Imam Asy-Syafi’iy mengatakan bahwa hadits ini bisa masuk ke dalam 70 bab fiqhi.

Sababul Wurud (Sebab Keluarnya) :
Berkata An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/81) : “Sesungguhnya telah datang bahwa sebab keluarnya hadits ini adalah tentang seorang lelaki yang berhijrah hanya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois maka diapun dipanggil dengan sebutan Muhajir Ummu Qois (Orang yang berhijrah karena Ummu Qois)”.
Kisah Muhajir Ummu Qois ini diriwayatkan dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata :
مَنْ هَاجَرَ يَبْتَغِي شَيْئًا فَإِنَّمَا لَهُ ذَلِكَ, هَاجَرَ رَجُلٌُ لِيَتَزَوَّجَ امْرَأَةً يُقَالُ لَهَا أُمُّ قَيْسٍ, فَكَانَ يُقَالُ مُهَاجِرُ أُمُّ قَيْسٍ
”Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan sesuatu maka sesungguhnya bagi dia hanya sesuatu tersebut. Seorang lelaki telah hijrah untuk menikahi wanita yang bernama Ummu Qois, maka diapun dipanggil dengan nama Muhajir Ummu Qois”. (HR. Ath-Thobrani (9/102/ 8540) dan dari jalannya Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kamal (16/126) dan Adz-Dzahaby dalam As-Siyar (10/590) dan mereka berdua berkata: ”Sanadnya shohih”. Dan Al Hafizh berkata: “Sanadnya shohih di atas syarat Al-Bukhary dan Muslim”).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa (22/218) : “…, karena sesungguhnya sebab keluarnya hadits ini adalah bahwa seorang lelaki berhijrah dari Mekkah ke Medinah hanya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois, maka Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam berkhutbah di atas mimbar dan menyebutkan hadits ini”.
Adapun Al-Hafidz Ibnu Hajar, maka beliau berkata dalam Fathul Bary (1/10) : ”Akan tetapi tidak ada di dalamnya (yakni hadits Ibnu Mas’ud di atas) yang menunjukkan bahwa hadist Al A’mal (hadits ‘Umar) diucapkan (oleh Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam) dengan sebab hal tersebut, dan saya tidak melihat sedikitpun pada jalan-jalan hadits tersebut (hadits Ibnu Mas’ud) ada yang tegas menunjukkan tentang hal tersebut”.
Berkata Ibnu Rajab : “Dan telah masyhur bahwa kisah Muhajir Ummu Qois adalah sebab sabda Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam (“barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi”) dan hal ini disebutkan oleh kebanyakan al-muta`akhkhirun (para ulama belakangan) dalam karangan-karangan mereka. Akan tetapi saya tidak melihat hal itu ada asalnya dengan sanad yang shohih, wallahu a’lam”. Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/74-75)
Dan hal ini lebih diperjelas dengan perkataan Imam Al-‘Iraqy dalam Thorhut Tatsrib (2/25-26) : “Tidak ada seorangpun dari penyusun kitab tentang shahabat –sepanjang apa yang saya lihat dari kitab-kitab itu- yang menyebutkan lelaki yang mereka katakan bernama Muhajir Ummu Qois ini. Adapun Ummu Qois yang disebutkan, maka Abul Khoththob bin Dihyah menyebutkan bahwa namanya adalah Qilah”.
Sebagai kesimpulan bahwa kisah Muhajir Ummu Qois adalah kuat dan shohih, hanya saja kalau dikatakan bahwa kisah ini adalah sebab keluarnya hadits tentang niat ini maka ini adalah perkara yang tidak diterima karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan akan hal tersebut, wallahu a’lam.

Kosa Kata Hadits :
1. Kata innama (hanyalah) menunjukkan makna pengkhususan dan pembatasan yaitu penetapan hukum untuk yang tersebutkan dan peniadaan hukum tersebut dari selainnya. Lihat Syarh An-Nawawy (13/54) dan Al-‘Ilam karya Ibnu Mulaqqin (1/168).
2. kata al-a’mal (setiap amalan). Yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan yang disyariatkan (ibadah).
Berkata Al-Hafizh dalam Al-Fath (1/13) yang maknanya : “Dan yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan yang dilakukan oleh mukallaf (yang terkena beban syari’at). Dibangun di atas hal ini, apakah amalan orang kafir tidak termasuk dalam hadits ini?, yang nampak bahwa amalan mereka tidak termasuk karena amalan-amalan yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan ibadah dan ibadah tidak syah dari seorang yang kafir walaupun mereka dituntut untuk mengerjakannya dan disiksa karena meninggalkannya”.
Dan Al-Hafidz Al-‘Iraqy menyebutkan bahwa amalan di sini mencakup semua amalan anggota tubuh termasuk ucapan, karena ucapan adalah amalan lidah dan lidah termasuk dari anggota tubuh.
3. Kata an-niyat (niat-niat). Niat secara bahasa adalah maksud dan kehendak.
Adapun secara istilah, niat adalah memaksudkan sesuatu dengan disertai pengamalan sesuatu tersebut. Lihat Al-Fatawa (18/251) dan (22/218) dan Hasyiyah Ar-Roudhul Murbi’ (1/189)
4. Hijrah secara bahasa artinya meninggalkan sesuatu dan berpindah kepada selainnya. Adapun secara istilah yaitu meninggalkan negeri kafir menuju negeri islam karena takut fitnah dan untuk menegakkan agama.
Syaikh Ibnu Utsaimin membagi hijrah menjadi tiga jenis :
1. Hijrah tempat, yaitu seseorang berpindah dari suatu tempat yang banyak maksiat, kefasikan, dan mungkin dari negara kafir kepada negara yang tidak dijumpai hal-hal tersebut.
2. Hijrah amalan, yaitu seseorang meninggalkan suatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang dari berbagai jenis kemaksiatan dan kefasikan.
3. Hijrah pelaku, yaitu seseorang menjauhi orang yang terang-terangan berbuat maksiat dengan syarat akan timbul maslahat yang besar ketika dia menjauhi orang tersebut.
Lihat Syarh Riyadhus Sholihin (1/15).

Syarh (Penjelasan) :
Pembahasan tentang hadits ini dari beberapa sisi :
1. Hadits ini adalah salah satu dalil dari kaidah yang sangat agung dan bermanfaat yang berbunyi “al-umuru bimaqoshidiha” (Setiap perkara tergantung dengan maksudnya). Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah dalam Manzhumahnya :
اَلنِّيَةُ شَرْطٌ لِسَائِرِ الْعَمَلِ فِيْهَا الصَّلاَحُ وَالْفَسَادُ لِلْعَمَلِ
“Niat adalah syarat bagi seluruh amalan, pada niatlah benar atau rusaknya amalan”.
Hal ini nampak jelas dari perkataan para ulama dalam menafsirkan hadits ini :
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah : “… dan ada kemungkinan taqdir (makna secara sempurna) dari sabda beliau, “setiap amalan tergantung dengan niat-niatnya,” adalah bahwa setiap amalan –syah atau rusaknya, diterima atau ditolaknya, berpahala atau tidak berpahala- ditentukan oleh niat-niatnya, sehingga hadits ini menerangkan tentang hukum suatu amalan secara syar’iy”. Lihat Fathul Bary (1/13)
Dan semakna dengannya perkataan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh dalam syarh beliau terhadap hadits ini : “Sesungguhnya setiap amalan –syah atau rusaknya, diterima atau ditolaknya- hanyalah dengan sebab niatnya”.
2. Sabda beliau, “dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan,” memberikan tambahan makna yang tidak ditunjukkan oleh potongan hadits sebelumnya. Berkata Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah dalam Ihkamul Ahkam (1/10) : “(Lafadz ini) mengharuskan bahwa barangsiapa yang meniatkan sesuatu maka itu yang dia dapatkan dan semua yang dia tidak niatkan maka dia tidak akan mendapatkannya”.
Faedah didatangkannya kalimat, “dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan,” setelah kalimat, “sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya,” dari beberapa sisi :
a. Penjelasan bahwa menentukan apa yang dia niatkan juga adalah syarat syahnya suatu amalan. Misalnya jika seseorang masuk ke dalam mesjid setelah adzan Zhuhur lalu sholat 2 raka’at, maka tidak cukup baginya hanya berniat untuk sholat dua raka’at akan tetapi harus dia menentukan niatnya, yaitu apakah dua raka’at ini adalah sholat sunnah rawathib ataukah shalat sunnah wudhu ataukah sekedar sholat sunnah mutlak. Hal ini dikatakan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/81)
b. Di dalamnya terdapat dalil bahwa semua amalan yang bukan ibadah terkadang bisa mendapatkan pahala bila orang yang mengamalkannya meniatkan dengannya ibadah. Misalnya memberikan nafkah kepada keluarga –yang asalnya adalah bukan amalan ibadah- dengan niat menjalankan kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan kepadanya terhadap keluarganya, maka perbuatannya ini akan diberikan pahala sebagaimana dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash dari Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam bahwa beliau bersabda kepadanya :
وَإِنَّك لَنْ تَنْفَقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِيْ فِي امْرَأَتِكَ
“… dan tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang kamu harapkan dengannya wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala atasnya termasuk apa yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu”. (HR. Al-Bukhar dan Muslim)
c. Sesungguhnya setiap amalan yang zhohirnya adalah ibadah akan tetapi bila dilakukan dengan niat sekedar adat kebiasaan maka amalannya tidak akan mendapatkan pahala sama sekali sampai dia niatkan dengannya ibadah, walaupun amalannya dianggap syah. Lihat Thohut Tatsrib (2/10).
d. Berkata Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulum (1/65) : “Bukanlah kalimat (yang kedua) ini sekedar pengulangan dari kalimat yang pertama, karena kalimat yang pertama menunjukkan bahwa syahnya amalan atau rusaknya sesuai dengan niat yang mengharuskan terjadinya amalan tersebut. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa pahala orang yang beramal atas amalannya sesuai dengan niatnya yang baik dan bahwa siksaan atasnya (dia peroleh) sesuai dengan niatnya yang rusak. Dan terkadang niatnya adalah niat yang mubah sehingga amalannya dianggap amalan mubah yang tidak menghasilkan pahala atau siksaan”.
3. Sabda beliau, “maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya,” adalah kalimat syarat sedangkan, “maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya,” adalah kalimat jawaban dari syarat. Kaidah dalam ilmu bahasa Arab bahwa kalimat syarat harus berbeda dengan kalimat jawaban dari syarat, sedangkan dalam hadits ini kalimat syarat dan jawabannya memiliki lafadz yang sama. Maka dalam hal ini para ulama memberikan tiga jawaban :
a. Bahwa perbedaan antara kalimat syarat dengan jawabannya bisa dari sisi lafadz –dan ini kebanyakannya- dan bisa pula dari sisi makna –sebagaimana dalam hadits ini-, dan ini bisa dipahami dari konteks hadits.
b. Samanya lafadz antara kalimat syarat dan jawabannya berfungsi untuk menunjukkan makna melebih-lebihkan atau memperbesar-besar perkara, apakah dalam rangka pengagungan terhadap suatu amalan –sebagaimana dalam hadits ini- atau sebaliknya dalam rangka menghinakan suatu amalan. Kedua jawaban ini disebutkan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath (1/16)
c. Ada kata yang terbuang yang dengannya akan nampak perbedaan antara kalimat syarat dengan jawabannya, sengaja dihilangkan karena sudah jelas maknanya. Taqdir (makna secara sempurna) dari kalimat ini adalah : “Maka barangsiapa yang niat dan maksud hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka pahala dan ganjaran hijrahnya kepada Allah dan RasulNya”. Ini adalah jawaban dari Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah dalam Syarhul Arba’in hal. 12.
4. Sabda beliau Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam, “barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya,” di dalamnya terdapat dua faedah :
a. Dalam kalimat ini Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam hanya menyebutkan kalimat jawaban syarat dengan sabdanya, “maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya,” dan tidak mengulangi lafadznya sebagaimana ketika beliau menyebutkan tentang hijrah karena Allah dan RasulNya. Hal ini menunjukkan akan rendah dan hinanya apa yang dia niatkan dengan hijrahnya sekaligus menunjukkan rendah dan hinanya dunia dan wanita bila keduanya dijadikan sebagai niat dalam beribadah.
b. Fitnah-fitnah dalam beragama sangatlah banyak, pemberian contoh dalam hadits dengan fitnah dunia dan fitnah wanita menunjukkan besarnya kedua fitnah ini dibandingkan fitnah-fitnah lainnya dan lebih terkhusus lagi fitnah wanita karena disebutkan secara sendiri –padahal wanita termasuk dari dunia- menunjukkan fitnah wanita lebih besar daripada fitnah dunia.
Berikut beberapa hadits dari Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang menunjukkan besarnya kedua fitnah ini serta wajibnya seorang muslim untuk menghindar dari kedua fitnah ini :
1. Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu :
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Mayat diikuti (ke kuburan) oleh tiga (perkara), akan kembali dua dan akan tinggal (bersamanya) satu. Dia diikuti oleh keluarganya, hartanya dan amalannya, maka akan kembali keluarga dan hartanya sedang yang tinggal adalah amalannya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
2. Hadits Miswar bin Makhromah radhiallahu ‘anhu :
فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Maka demi Allah, bukan kemiskinan yang saya takutkan atas kalian, akan tetapi yang saya takut atas kalian adalah dilapangkannya dunia kepada kalian sebagaimana telah dilapangkan kepada orang-orang sebelum kalian kemudian kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka telah berlomba-lomba, lalu dunia tersebut menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
3. Hadits Ka’ab bin ‘Iyadh radhiallahu ‘anhu :
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap ummat mempunyai fitnah dan fitnahnya ummatku adalah harta”. (HR. At-Tirmizi)
4. Hadits Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu :
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِي النَّاسِ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ
“Saya tidaklah meninggalkan setelahku suatu fitnah kepada manusia yang lebih berbahaya bagi para lelaki daripada para wanita”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
5. Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu :
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian dari masuk kepada para wanita, maka ada seorang lelaki dari Anshor yang berkata : Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang ipar?, beliau menjawab : Ipar adalah kematian”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
5. Perkara yang sangat penting untuk diperhatikan yaitu bahwa sekedar niat yang baik dalam beramal sama sekali tidaklah cukup sebagai sebab diterimanya amalan tersebut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi –sebagaimana yang dimaklumi- bahwa suatu amalan –bagaimanapun besar dan hebatnya- tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari siapapun juga kecuali setelah terpenuhinya dua syarat :
a. Hendaknya amalan tersebut dikerjakan semata-mata karena mengharapkan wajah Allah Ta’ala, sebagaimana yang terkandung dalam hadits ‘Umar ini.
b. Hendaknya amalan tersebut secara zhohirnya sesuai dengan sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam, makna ini yang terkandung dalam hadits :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya maka amalan itu tertolak”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari ‘A`isyah radhiallahu ‘anha)
Dan penjelasan tentang dua syarat ini insya Allah akan kita bahas lebih meluas pada tempatnya.
6. Beberapa faedah yang terdapat dalam hadits ini :
a. Bantahan terhadap Mu’tazilah dan yang mengikuti mereka yang menolak pendalilan dengan hadits ahad dalam perkara ‘aqidah. Karena hadits ini adalah hadits Ghorib sebagaimana telah berlalu akan tetapi tidak ada seorangpun di kalangan para ulama yang menolak berdalilkan dengan hadits ini dalam masalah niat yang merupakan perkara penting dalam ‘aqidah.
b. Bantahan atas Murji’ah yang berkata bahwa iman adalah dengan sekedar ucapan lisan walaupun tanpa keyakinan dalam hati. Hal ini terbantah dengan nash-nash yang jelas dan kesepakatan di kalangan para ulama bahwa sesungguhnya orang-orang munafik berada di dasar neraka yang paling bawah, padahal mereka mengucapkan kalimat tauhid.
c. Tidak boleh beramal sebelum mengetahui hukumnya, karena mustahil seseorang bisa berniat dengan niat yang benar bila dia tidak memiliki ilmu tentang amalan tersebut.
d. Wajibnya memberikan perhatian dan penjagaan terhadap amalan-amalan hati, juga wajib berhati-hati dari riya, sum’ah dan beramal untuk mendapatkan dunia.
e. Hendaknya orang yang memberikan suatu kaidah memberikan perincian dan contoh pengamalan dari kaidah tersebut sehingga lebih mudah dipahami dan diamalkan. Karena Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam setelah beliau memberikan kaidah, “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan”, beliau merinci dan memberi contoh dengan sabdanya, “maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya …,” sampai akhir hadits.
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah : “Dua kalimat ini (yaitu “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan”) adalah dua kaidah yang tidak ada satupun amalan yang keluar darinya, lalu beliau menyebutkan setelahnya satu contoh dari contoh-contoh amalan yang bentuknya satu tapi berbeda baik dan buruknya sesuai dengan niat-niatnya, dan beliau seakan-akan bersabda : “Dan seluruh amalan yang lain berjalan di atas contoh ini”.
f. Bantahan terhadap sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits shohih disyaratkan minimal adalah hadits ‘aziz, yaitu hadits yang pada salah satu thabaqat sanadnya atau lebih hanya terdapat dua orang perawi.
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

{Lihat : Thorhut Tatsrib 2/20, Al-‘Ilam 1/207, Jami’ul ‘Ulum (1/72) dan Majmu’ul Fatawa (18/279-280)}

(Dikutip dari Jurnal Islami Al-Atsariyyah ed. 1 dengan sedikit perubahan)

Penyakit Menular dan Thiyarah(1) Apa Betul Ada ?

لاَ عَدْوَ وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَّةَ وَلاَ صَفَرَ

“Tidak ada penularan, tidak ada thiyarah, tidak ada hammah dan tidak ada shafar”.

Takhrij Hadits:
Hadits ini diriwayatkan dari Abu Hurairah dari dua jalan:

1. Dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdirrahman dari Abu Hurairah, Diriwayatkan oleh Al-Bukhari(5437) dan Muslim (2220, 2221)

2. Dari jalan Ismail bin Ja’far dari Al-Ala` bin Abdirrahman dari Abu Hurairah. Diriwayatkan oleh Muslim (2222)

Syarh:
Termasuk dari keyakinan yang mungkar adalah keyakinan yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin berupa penetapan adanya penyakit yang menular dengan sendirinya(2) serta keyakinan akan adanya thiyarah. Hadits dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam di atas menjadi pemutus dan penghapus dari kedua keyakinan di atas yang di dalamnya beliau telah meniadakan empat perkara: Penularan, thiyarah, hammah dan shafar. Berikut penjelasannya:

‘Adwa (Penularan) :
‘Adwa (penularan) bermakna berpindahnya penyakit dari seseorang ke orang lain atau dari suatu hewan ke hewan lain atau dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Makna hadits ini adalah bahwa Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menafikan (menolak) apa yang diyakini oleh orang-orang jahiliyah yang menganggap bahwa penyakit (yang mereka anggap menular) yang menimpa orang sakit itu menular dengan sendirinya tanpa takdir dan izin dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka berkeyakinan bahwa siapa saja yang mendekati orang yang sakit atau mendekati suatu penyakit (yang mereka yakini menular) maka ia pasti akan terjangkit penyakit tersebut, mereka tidak menyandarkan penularan tersebut kepada ketentuan dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mengucapkan sabda beliau di atas untuk menolak keyakinan mereka dan sebagai penegasan bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini hanya bisa terjadi jika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan. Semua yang telah terjadi maka terjadinya dengan izin dan ketentuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau juga telah bersabda menegaskan tentang hakikat penularan ini dengan sabdanya :
لاَ يُعْدِي شَيْءٌ شَيْئًا
“Sesuatu tidak bisa menulari sesuatu yang lain”. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Yakni sesuatu penyakit tidak menular kepada yang lainnya dengan sendirinya akan tetapi hanya dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Mengatur dan Berkuasa atas segala sesuatu.
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang bersendirian mengatur segala urusan termasuk di dalamnya masalah tular-menularnya suatu penyakit, semua di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hanya saja yang perlu diperhatikan bahwa segala ketentuan dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki suatu sebab yang mengharuskannya, dan ini dari kesempurnaan hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mencipta. Dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mentakdirkan suatu kebaikan ataupun kejelekan kecuali Dia juga telah menciptakan juga sebab-sebab yang bisa mengantarkan kepada keduanya. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan surga, Dia juga menetapkan sebab-sebab yang bisa mengantarkan seseorang kepadanya dan demikian pula neraka, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan sebab-sebab yang bila dikerjakan akan menggelincirkan pelakunya masuk ke dalamnya. Ini dalam masalah keagamaan.
Demikian pula dalam masalah keduniaan, segala sesuatu berupa kebaikan dan kejelekan telah Allah tetapkan sebab-sebabnya masing-masing, seperti kenyang sebabnya adalah makan, pandai sebabnya adalah belajar, mendapat rezki sebabnya adalah bekerja, dan seterusnya. Maka demikian pula dalam hal penularan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan dan mengizinkan suatu penyakit bisa menular dengan suatu sebab, di antaranya adalah dengan sebab berbaurnya orang yang sehat dengan orang yang sakit tersebut sehingga penyakit pada orang yang sakit berpindah –dengan izin Allah- kepada orang yang sehat.
Setelah memahami hal ini, maka wajib untuk diyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan semua sebab dan pengaruh/efek/akibat dari sebab tersebut. Maka sebab adalah stu komponen sedang berpengaruh atau tidaknya sebab tersebut adalah komponen yang lain dan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan dan yang mengatur kedua komponen tersebut. Oleh karena itulah, mungkin saja suatu sebab itu ada akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengizinkan terjadinya pengaruh dari sebab tersebut sehingga sebab tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Sebagai contoh, berkerja adalah suatu sebab dan mendapatkan uang adalah pengaruh/efek/akibat dari sebab tersebut. Mungkin saja seseorang bekerja –yang artinya Allah mengizinkan terjadinya sebab- akan tetapi apakah pasti mendapatkan uang –yang mana hal ini adalah pengaruh dari sebab-? Kepastiannya kembali kepada Allah, kalau Allah inginkan sebab itu berpengaruh maka dia akan dapatkan uang tapi kalau tidak maka dia tidak akan dapatkan uang. Makanya betapa banyak orang yang menempuh sebab dengan bekerja akan tetapi tidak mendapatkan uang sama sekali, hal ini di karenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak/belum mengizinkan terjadinya pengaruh/efek dari sebab bekerja tersebut. Contoh lain, api yang merupakan sebab dan pengaruhnya adalah membakar, walaupun ada api tapi kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengizinkan pengaruh dari api ini terjadi maka api tidak akan bisa membakar, sebagaimana yang masyhur dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Sebagai kesimpulan bahwa adanya/terhasilkannya suatu sebab tidak mengharuskan terjadinya pengaruh/efek dari sebab tersebut, tapi semuanya dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kalau Allah inginkan sebab itu berpengaruh maka akan terjadi tapi kalau tidak maka tidak akan terjadi.
Demikian pula penularan, berbaurnya orang yang sakit dengan orang yang sehat adalah sebab sedangkan tertularnya penyakit adalah efek/pengaruh dari sebab tersebut, apakah berbaur dengan orang yang sakit bisa mengakibatkan tertularnya penyakit? kembali kepada ketentuan dan izin dari Allah, jika Allah mengizinkan maka sebabnya bisa bekerja sehingga dia tertular penyakit dan jika Allah tidak mengizinkan maka sebabnya tidak berpegaruh sehingga dia tidak akan tertular penyakit. Oleh karena itulah kenyataan membuktikan bahwa terkadang ada orang yang sehat ketika berbaur dengan orang yang sakit tetapi dia tidak tertular penyakitnya dan terkadang ia berbaur sehingga tertular penyakit tersebut. Maka sekedar mendekat kepada yang sakit atau datang ke tempat yang terkena wabah penyakit ini adalah suatu sebab, adapun berpengaruh atau tidaknya hal ini di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagai kesimpulan, bahwa bentuk penularan yang dinafikan oleh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam hadits ini adalah keyakinan akan menularnya suatu penyakit dengan sendirinya tanpa izin dan takdir ketentuan dari Allah ‘Azza wa Jalla, adapun penularan suatu penyakit dengan izin dan ketentuan dari Allah maka beliau tidak menafikannya karena hal ini adalah perkara yang terjadi dan disaksikan dengan panca indra.
Adapun sabda beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam :
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ
“Larilah dari orang yang berpenyakit kusta sebagaimana kamu berlari dari singa”. (HR. Al-Bukhari)
Dan dalam hadits yang lain beliau melarang siapapun yang berada di dalam wilayah yang terkena wabah penyakit untuk keluar dari wilayah tersebut dan melarang orang yang berada di luar untuk masuk ke dalam wilayah itu
Maka ketiga hadits ini dan hadits-hadits yang semakna dengannya tidaklah menunjukkan bahwa suatu penyakit bisa menular dengan sendirinya tanpa izin dan ketentuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi menunjukkan larangan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kepada orang yang sakit untuk berbaur dengan orang yang berpenyakit –dengan penyakit yang dianggap menular- jangan sampai dia terjangkiti penyakit itu –dengan izin Allah- sehingga akhirnya dia terjatuh pada keyakinan orang-orang jahiliah bahwa penyakit itu menular dengan sendirinya. Oleh karena itulah untuk menutup pintu jangan sampai ada orang yang berkeyakinan jahiliyah seperti itu, beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam melarang menempuh sebab –yakni dengan berbaur dengan orang sakit- yang dengan sebab itu dia bisa tertular penyakit dengan izin dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun bagi orang yang kuat tawakkalnya kepada Allah dan yakin tidak akan tergelincir untuk meyakini keyakinan jahiliyah tersebut, maka tidak ada larangan baginya untuk mendekat dan berbaur dengan orang yang berpenyakit –yang dianggap menular-, terlebih lagi ketika ada maslahat yang mengharuskan, misalnya untuk pengobatan atau yang sejenisnya.
Dan makna yang kami sebutkan –yakni tidak adanya penularan penyakit kecuali dengan izin dari Allah Subhanahu wa Ta’ala- lebih diperkuat oleh hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu tentang seorang lelaki yang berkata kepada Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bahwa onta yang berpenyakit kudis ketika berada di antara onta-onta yang sehat tiba-tiba semua onta tersebut terkena kudis, maka beliau bersabda:
فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ ؟
“Kalau begitu siapa yang menulari (onta) yang pertama ?”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Yakni penyakit yang menimpa onta pertama (yang sakit) itu tanpa adanya penularan tetapi terjadi karena kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka demikian pula jika penyakit itu berpindah, maka ia berpindah karena kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Thiyarah (merasa sial/Pamali) :
Secara bahasa, kata thiyaroh (anggapan merasa sial/pamali) adalah isim mashdar dari kata tathayyara yang mana asal katanya adalah tha`irun yang berarti burung. Hal ini karena dulu, orang-orang Arab jahiliyah ketika mereka hendak mengadakan suatu perjalanan maka mereka terlebih dahulu melempar seekor burung ke udara, jika burungnya terbang ke kanan maka mereka melanjutkan rencana keberangkatan mereka karena itu adalah pertanda baik dan jika burungnya terbang ke kiri maka mereka membatalkan perjalanan tersebut karena itu adalah pertanda jelek.
Adapun secara istilah, thiyarah adalah menjadikan/menyandarkan kesialan kepada sesuatu yang dilihat atau yang didengar atau yang diketahui.
Contoh sesuatu yang dilihat, bila akan bepergian atau kegiatan lainnya lalu memperhatikan ke arah mana burung terbang, bila ke kanan maka berangkat, bila ke kiri maka tidak, atau tiba-tiba melihat kecelakaan di luar rumahnya maka ia urungkan niatnya untuk berangkat, atau orang yang berangkat ini tanpa sengaja menjatuhkan piring, gelas atau hal lainnya di dalam rumahnya lantas ia tidak jadi berangkat. Contoh sesuatu yang didengar, bila ia mendengar suara burung hantu atau burung gagak yang hinggap di atas rumahnya, maka ia mengurungkan maksudnya untuk berangkat atau kegiatan lainnya, atau tiba-tiba orang itu mendengar seseorang berkata kotor atau hal yang mengandung kesialan kepada orang lain atau kepada dirinya sendiri: Hai celaka!, hai sial! dan lain-lain, lantas ia mengurungkan maksudnya. Contoh sesuatu yang diketahui misalnya menganggap kesialan dengan waktu, hari, bulan, dan sebagian tahun, misalnya menganggap atau menjadikan kesialan pada malam Jum’at atau hari Jum’at, terlebih pada Jum’at Kliwon atau menganggap angka 13 sebagai kesialan, atau tidak melakukan kegiatan besar pada sebagian bulan-bulan dalam penanggalan Hijriah, misalnya tidak melangsungkan pernikahan atau kegiatan lain pada bulan Syawwal, atau bulan Shafar atau bulan lainnya. (Al-Qaulu Al-Mufid Syarh Kitab At-Tauhid Syaikh Ibnu Utsaimin. Bab: Tidak ada penularan dan thiarah)
Dan hukum thiyaroh dengan semua bentuk di atas dan selainnya adalah syirik Ashgor bahkan bisa mencapai taraf syirik akbar jika dia sudah berkeyakinan bahwa hari itulah atau kejadian yang dia lihat itulah yang sebenarnnya mendatangkan mudharat dengan sendirinya keluar dari pengaturan Allah ‘Azza wa Jalla. Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu:
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ
“Thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan”. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 429)
Bahkan thiyaroh ini adalah salah satu sifat dari orang-orang musyrik terdahulu, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan tentang Fir’aun dan para pengikutnya :
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Al-A’raf : 131)
Dan juga firman Allah Ta’ala :
قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ. قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
“Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami”. Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas””. (QS. Yasin : 18-19)
Dan dengan bertathoyyur atau mempercayai adanya, maka seorang akan keluar dari 70.000 orang yang masuk Surga tanpa hisab dan tanpa adzab, yang Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam –dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma- telah mengabarkan tentang sifat mereka :
هُمُ الَّذِيْنَ لاَ يَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay(3), tidak bertathayyur dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin bahwa perbuatan tathayyur ini bisa menafikan tauhid atau mengurangi kesempurnaan tauhid yang wajib, hal ini bisa ditinjau dari dua sisi:
1. Bahwa tathayyur ini memutuskan ketawakkalannya kepada Allah dan bersandar kepada selainNya, yang mana hal itu tidak bisa memberikan manfaat dan mendatangkan mudharat.
2. Bahwa tathayyur ini menjadikan ketergantungan hati kepada suatu perkara yang tidak ada hakekatnya sama sekali, bahkan ini adalah persangkaan belaka dan takhayul.
Dan tidak diragukan bahwa kedua hal di atas mencacati nilai-nilai tauhid, karena tauhid adalah ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”. (QS. Al-Fatihah : 4)
Dan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda :
وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Jika engkau meminta pertolongan, minta tolonglah hanya kepada Allah”. (HR. At-Tirmidzi dari shahabat ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma).

Kemudian, orang yang melakukan tathayyur ini tidak lepas dari dua keadaan:
1. Menjadikan thiyarah ini sebagai sesuatu yang betul-betul berpengaruh pada dirinya, sehingga ia meninggalkan atau mengurungkan niat untuk mengerjakan suatu amalan yang sebelumnya hendak ia kerjakan.
2. Ia tetap meneruskan atau melanjutkan mengerjakan amalan tersebut, akan tetapi dalam keadaan diliputi perasaan was-was, kegoncangan, kegelisahan dan kekhawatiran bahwa thiyarah tersebut akan mendatangkan pengaruh yang jelek pada dirinya.
Dan kedua keadaan ini semuanya masuk ke dalam bentuk perbuatan tathayyur yang disebutkan dalam dalil-dalil yang telah berlalu.
Maka yang sepantasnya bagi seorang muslim adalah hendaknya dia berpaling dari thiyarah ini dan melanjutkan atau mengerjakan setiap amalan yang hendak dia kerjakan dengan penuh ketenangan, tanpa menyusahkan dirinya dengan perkara-perkara seperti ini, bahkan wajib atasnya untuk menjauhi buruk sangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan jangan merasa lemah dalam mengerjakan suatu amalan. Dan sebaliknya dia wajib untuk bersandar dan bertawakkal hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, pasrah kepadaNya, percaya bahwa semua perkara berada di tangan-Nya dan di atur olehNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Yunus : 107)
“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal”. (QS. At-Taubah : 51)

Makna Al-Hammah
Ada dua penafsiran di kalangan ulama :
1. Bahwasanya ini adalah jenis burung yang ma’ruf yang menyerupai burung hantu atau memang merupakan burung hantu, dimana orang Arab di masa jahiliyah menyangka bahwasanya jika ada orang yang terbunuh, maka tulang-tulangnya menjelma menjadi burung tersebut yang terbang dan bersuara dengan teriakan sampai terbalas dendamnya, dan terkadang sebagian mereka menyangka bahwa itu adalah ruhnya.
2. Sebagian orang Arab mengatakan bahwa Al-Hamah adalah jenis burung yang ma’ruf akan tetapi mereka menjadikan kesialan dengannya, maka jika burung itu hinggap di atas rumah salah seorang dari mereka dan burung itu bersuara, maka mereka berkata: bahwa burung itu bersuara dengan suara seperti itu adalah tanda dekatnya ajal. Al-Hammah menurut penafsiran ini bisa dikategorikan sebagai bentuk tathoyyur.
Dan tidak diragukan lagi bahwa kedua keyakinan ini adalah aqidah yang bathil. (Lihat Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid 2/99).

Shafar.
Secara umum dalam penafsirannya ada dua pendapat :
1. Ash-Shafar adalah jenis penyakit di dalam perut, dikatakan ia berupa cacing besar seperti ular, dan menurut orang Arab ia lebih menular dari penyakit kudis yang menimpa unta. Maka nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menafikan hal tersebut. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Imam Ahmad, Imam Al-Bukhary dan Imam Ath-Thobary.
Dan Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu –salah seorang yang meriwayatkan hadits ini- berpendapat bahwa ia adalah ular, tetapi maksud dari penafian tersebut adalah apa yang orang Arab yakini bahwa siapa yang ditimpa oleh ular ini maka ia (ular itu) akan membunuhnya. Dan hal ini dibantah oleh syariat bahwasanya kematian itu hanya terjadi ketika telah sampai pada ajalnya. (Lihat Fathul Bari 10/171 dan Latho`iful Ma’arif hal. 74)
2. Sebagian ulama mengatakan maksud dari Ash-Shafar adalah bulan Shafar, kemudian mereka berselisih dalam makna ini menjadi dua pendapat:
a) Bahwa maksudnya adalah pelarangan dari An-Nasi’ah (pengunduran), dimana orang Arab melakukannya berupa pengunduran pengharaman bulan Muharram ke bulan Shafar, sehingga mereka menghalalkan haramnya bulan Muharram dan mengharamkan bulan Shafar, yaitu apabila mereka mau berperang di bulan Muharram, maka mereka halalkan lantas mengakhirkan pengharaman untuk berperang ke bulan Shafar. Ini yang dimaksud dalam firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 37 :
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mensesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah”.
b) Maksudnya adalah apa yang dilakukan oleh orang Jahiliyah dimana mereka menjadikan bulan Shafar sebagai bulan kesialan, misalnya dalam hal perayaan nikah dan ini yang dikuatkan oleh Ibnu Rajab (sebagaimana dalam Latho`iful Ma’arif hal. 74)
_______
(1) Di Indonesia dikenal dengan nama pamali atau yang sejenisnya.
(2) Yakni tanpa takdir dan izin dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(3) Pengobatan dengan menggunakan besi yang dipanaskan dan ditempelkan ke tempat yang terasa sakit.

Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar

مَثَلُ الْقَائِمِ فِي حُدُوْدِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيْهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوْا عَلَى سَفِيْنَةٍ, فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا, فَكَانَ الَّذِيْنَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوْا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ, فَقَالُوْا : لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا, فَإِنْ يَتْرُكُوْهُمْ وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا, وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعًا

“Perumpamaan orang yang tegak melaksanakan aturan-aturan Allah dan orang yang melanggarnya seperti sebuah kaum yang mengadakan undian di atas sebuah perahu ; (maka) sebagian mereka mendapatkan bagian atasnya dan sebagian yang lain bagian bawahnya. Adapun orang yang berada di bawah jika mereka mau mengambil air, mereka melalui orang-orang yang berada di atas mereka, maka merekapun berkata, “Seandainya kami membuat sebuah lobang pada bagian kami sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami”. Jika mereka (orang-orang yang di atas) membiarkan mereka (orang-orang yang di bawah) dan apa yang mereka inginkan maka mereka akan binasa (tenggelam) seluruhnya dan jika mereka (orang-orang yang di atas) mengambil tangan-tangan mereka (orang-orang yang di bawah) maka mereka akan selamat seluruhnya”.

Takhrij Hadits :
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhary (2361) dan Imam At-Tirmidzy (2173) dari jalan Asy-Sya’by ‘Amir bin Syarahil dari sahabat An-Nu’man bin Basyir -radhiallahu ‘anhuma-.
Imam At-Tirmidzy berkata setelah meriwayatkan hadits di atas, “Ini adalah hadits hasan shohih” dan haditsnya dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany rahimahullah dalam Ash-Shohihah no. 69.

Kosa Kata Hadits :
1. Sabda beliau [“yang tegak melaksanakan aturan-aturan Allah”], mereka adalah orang yang mengingkari kemungkaran dan yang tegak menolak dan menghilangkan kemungkaran tersebut.
2. Sabda beliau [“aturan-aturan Allah”], yang diinginkan dengannya adalah semua perkara yang Allah larang.
3. Sabda beliau [“orang yang melanggarnya”], mereka adalah orang yang mengerjakan kemungkaran tersebut.
4. Sabda beliau [“berlomba”] yakni mengadakan undian, siapa di antara mereka yang berada di bagian atas perahu dan siapa di antara mereka yang tinggal di bagian bawah.
5. Sabda beliau [“mengambil tangan-tangan mereka”], maksudnya mereka (orang-orang yang di atas) melarang dan mencegah mereka dari apa yang mereka inginkan berupa membocori perahu.
[Lihat: Riyadhus Sholihin dan syarahnya Bahjatun Nazhirin hal. 278]

Syarh:
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdillah Ar-Rojihy -hafizhohullah- berkata di dalam kitab beliau Al-Qaulul Bayyinul Azhhar hal. 26, “Hadits ini adalah hadits yang agung dan memiliki kedudukan yang mulia, para ulama telah mengambil darinya banyak faidah yang agung dalam masalah amar ma’ruf dan nahi mungkar”.

A. Definisi Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Sebelum kita berbicara lebih jauh mengenai amar ma’ruf dan nahi mungkar, maka terlebih dahulu kita akan berbicara mengenai definisi amar ma’ruf dan nahi mungkar. Berikut uraiannya:
Makna ma’ruf secara bahasa kebanyakannya berputar di atas makna ‘semua perkara yang diketahui dan dimaklumi oleh manusia satu dengan yang lainnya dan mereka tidak mengingkarinya’. Adapun secara istilah, ma’ruf bermakna ‘semua perkara yang diketahui, diperintahkan, dan dipuji pelakunya oleh syari’at, maka masuk di dalamnya semua bentuk ketaatan, dan yang paling utamanya adalah beriman kepada Allah -Ta’ala- dan mentauhidkan-Nya’.
Mungkar secara bahasa, maka maknanya kebanyakan berputar di atas makna ‘semua perkara yang tidak diketahui dan tidak diakui oleh manusia dan mereka mengingkarinya’. Adapun secara istilah, mungkar adalah ‘semua perkara yang diingkari, dilarang, dicela, dan dicela pelakunya oleh syari’at, maka masuk di dalamnya semua bentuk maksiat dan bid’ah, dan yang paling jeleknya adalah kesyirikan kepada Allah -’Azza wa Jalla-, mengikari keesaan-Nya dalam peribadahan atau ketuhanan-Nya atau pada nama-nama dan sifat-sifatNya’.
[Lihat Al-Qaulul Bayyinul Azhhar hal. 8-12]

B. Dalil-Dalil Seputar Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
1. Surah Ali ‘Imran ayat 104.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
2. Surah Ali ‘Imran ayat 110.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.
3. Surah An-Nisa` ayat 114.
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia”.
4. Surah Al-Ma`idah ayat 78-79.
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ. كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
“Telah dila`nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan `Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir ‘alaihis salam-Sa’dy -rahimahullah- berkata menafsirkan ayat di atas, “Yakni, mereka melakukan kemungkaran dan mereka tidak saling melarang (dari kemungkaran), maka bersyerikatlah (dalam hal dosa) antara orang yang mengerjakannya dengan selainnya dari orang yang diam (baca: tidak mau) melarang dari yang mungkar padahal dia mampu. Ini menunjukkan akan penyepelean dia terhadap perintah Allah dan menunjukkan bahwa bermaksiat kepada-Nya adalah perkara yang ringan atas mereka, seandainya pada diri-diri mereka ada pengagungan terhadap Tuhan mereka, maka tentunya mereka akan cemburu terhadap perkara-perkara yang Allah haramkan dan mereka akan marah karena kemarahan-Nya”. Lihat Taisirul Karimir Rahman.
5. Surah Al-A’raf ayat 165.
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik”.
Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Maka Allah menegaskan akan selamatnya orang-orang yang melarang (dari kemungkaran), binasanya orang-orang yang zholim, dan Allah diam (baca: tidak mengomentari) orang-orang yang diam (tidak melarang dari kemungkaran) (1), karena balasan itu disesuaikan dengan jenis amalan. Mereka ini (golongan yang ketiga), mereka tidak pantas mendapatkan pijian sehingga harus dipuji dan mereka juga tidak melakukan dosa sehingga harus dicela. Bersamaan dengan itu, para imam berselisih tentang mereka, apakah mereka termasuk dari yang binasa atau yang selamat? Ada dua pendapat”.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rojihy -hafizhohullah- berkata dalam Al-Qaulul Bayyinul Azhhar hal. 46-47,“Yang nampak bahwa mereka (golongan ketiga) termasuk ke dalam golongan yang selamat, karena Allah telah mengkhususkan kebinasaan hanya kepada orang-orang yang zholim sedangkan mereka bukanlah orang-orang yang zholim dengan dua alasan:
Pertama: Sesungguhnya amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah fardhu kifayah yang jika sudah ada sebahagian orang yang menegakkannya maka gugurlah (kewajiban) dari yang lainnya. Maka mereka (golongan ketiga) mencukupkan diri (2) dengan pengingkaran mereka (golongan yang selamat) atas mereka (golongan yang binasa)”.
Kedua: Mereka (golongan ketiga) menampakkan kemarahan mereka atas mereka (golongan yang binasa) yang menunjukkan bahwa mereka (golongan ketiga) sangat membenci apa yang mereka (golongan yang binasa) perbuat, dengan ucapan mereka kepada orang-orang yang melarang, “Mengapa kalian menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?”. Maka mereka (golongan ketiga) tidak bertoleransi dan tidak pula diam atas mereka (golongan yang binasa), akan tetapi mereka hanya mencukupkan diri (dari melerang) karena sudah ada orang lain yang menegakkan kewajiban yang agung ini”.
6. Surah Al-Anfal ayat 25
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian”.
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy -rahimahullah- berkata, “Yang benar tentang maknanya bahwa yang diinginkan dengan fitnah yang umum menimpa orang zholim dan selainnya (yang tidak zholim) adalah jika manusia melihat kemungkaran lantas mereka tidak mengubahnya maka Allah akan meratakan siksaan atas mereka seluruhnya, yang sholih maupun yang tholih (tidak sholih). Inilah yang ditafsirkan oleh sekelompok ahlil ilmi, dan hadits-hadits yang shohih menjadi bukti akan hal tersebut, sebagaimana yang telah kami bawakan sebahagian di antaranya”(3).
7. Hadits Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al-Khudry -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’.
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya, jika dia tidak sanggup maka dengan lisannya, jika dia tidak sanggup maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemah keimanan”. (HR. Muslim)
8. Hadits Hudzaifah ibnul Yaman -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’.
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
“Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian betul-betul harus memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar ataui Allah betul-betul akan mengirimkan kepada kalian siksaan dariNya, lalu kalian berdo’a kepada-Nya dan Dia tidak mengabulkan do’a kalian”. (HR. At-Tirmidzy dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 7070)
9. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’.
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
“Tidak ada seorangpun nabi sebelumku yang Allah utus kepada suatu ummat kecuali dia mempunyai penolong dan sahabat di antara ummatnya, yang mereka ini mengambil sunnahnya dan menjalankan perintahnya. Kemudian akan datang setelahnya generasi penerus yang mereka ini mengucapkan apa-apa yang mereka tidak kerjakan dan mereka mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Maka barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia adalah mukmin, barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya maka dia adalah mukmin, barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya maka dia adalah mukmin, dan tidak ada setelah itu keimanan walaupun sebesar biji khardal”. (HR. Muslim)
10. Hadits Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’.
مَا مِنْ رَجُلٍ يَكُونُ فِي قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا عَلَيْهِ فَلَا يُغَيِّرُوا إِلَّا أَصَابَهُمْ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَمُوتُوا
“Tidak ada seorangpun yang berada di tengah-tengah sebuah kaum yang diperbuat di tengah-tengah mereka kemaksiatan, mereka mampu untuk mengubahnya akan tetapi mereka tidak mau mengubahnya kecuali Allah akan menimpakan kepada mereka siksaan sebelum mereka meninggal”. (HR. Abu Daud dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih Sunan Abi Daud 3/819/4339)
11. Hadits Abu Bakr Abdullah bin ‘Utsman As-Siddiq -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’:
مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي ثُمَّ يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لَا يُغَيِّرُوا إِلَّا يُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ
“Tidak ada satu kaum pun yang diperbuat di tengah-tengah mereka sebuah kemaksiatan, kemudian mereka sanggup untuk mengubahnya akan tetapi mereka tidak mengubahnya kecuali Allah akan meratakan kepada mereka seluruhnya siksaan dari-Nya”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 1974)

C. Hukum Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Dari seluruh dalil-dalil yang telah kami paparkan di atas -dan juga dalil-dalil lain yang semakna dengannya- nampak jelas bagi kita bahwa hukum dari amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah wajib.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata, “Amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah (suatu prkara) yang dengannyalah Allah menurunkan kitab-kitab-Nya, dengannyalah Dia mengutus para rasul-Nya, dan dia adalah bahagian dari agama”.(4)
Dan Imam Al-Qurthuby -rahimahullah- menyatakan, “Amar ma’ruf dan nahi mungkar, keduanya adalah perkara yang wajib pada umat-umat terdahulu, dan dia adalah tujuan kerasulan dan khilafah kenabian”.(5)
Dan dalam (6/253) beliau menukil ucapan Ibnu ‘Athiyyah dengan nash sebagai berikut, “Dan ijma’ menyatakan bahwa nahi mungkar adalah kwajiban bagi yang mampu dan merasa aman dari mudharat atas dirinya dan atas kaum muslimin. Jika dia takut (akan terkena midharat) maka dia mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan serta tidak bergaul dengan pelaku kemungkaran tersebut”.
Dan nukilan ijma’ akan wajibnya amar ma’ruf dan nahi mungkar juga dinukil oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr sebagaimana dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (4/48), Imam Ibnu Hazm dalam Al-Fishol fil Milal wan Nihal (5/19), Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (2/22), dan Abu Bakr Al-Jashshosh dalam Ahkamul Qur`an (2/486).
Hanya saja mereka berselisih, apakah hukumnya fardhu ‘ain atau fardhu kifayah? Dan yang merupakan pendapat jumhur ulama, dan ini pula yang dikuatkan oleh Imam Al-Qurthuby, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qudamah, An-Nawawy, dan Asy-Syaukany adalah pendapat yang menyatakan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar hukumnya adalah fardhu kifayah.
Imam Abu Bakr Al-Jashshosh berkata dalam Ahkamul Qur`an (2/29) mengomentari ayat ke-104 dari surah Ali ‘Imran di atas, “Ayat ini telah mencakup dua makna, yang pertama: wajibnya amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan yang lainnya (kedua): bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah, jika sebagian di antara mereka telah mengerjakannya maka gugurlah (kewajiban tersebut) dari yang lainnya”.
Dan termasuk dalil yang menguatkan pendapat ini adalah firman Allah -Ta’ala-:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS. At-Taubah : 122)
Sisi pendalilannya, bahwa bertafaqquh dalam agama Allah -’Azza wa Jalla- adalah fardhu kifayah, karena Allah -’Azza wa Jalla- meminta sebahagian kaum mu`minin untuk keluar (berperang) dan Dia tidak meminta seluruh kaum mu`minin untuk keluar menuntut ilmu, dan tanggung jawab untuk memperingatkan dan menyampaikan ajaran agama terletak atas mereka yang bertafaqquh dan yang menuntut ilmu, bukan atas seluruh kaum muslimin. Lihat Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (8/293) dan Fathul Qodir (2/434).

Faidah:
1. Imam An-Nawawy -rahimahullah- menyatakan di dalam Zawa`idur Raudhoh hal. 22, “Orang yang tegak melaksanakan (amalan yang) fardhu kifayah memiliki keistimewaan (kelebihan) dibandingkan orang yang tegak melaksanakan (amalan yang) fardhu ‘ain, ditinjau dari sisi bahwasanya dia (orang yang mengerjakan fardhu kifayah) telah menggugurkan dosa dari dirinya dan dari kaum muslimin. Dan imam Al-Haromain telah berkata dalam Al-Ghiyats, [“Yang saya lihat bahwa orang yang tegak melaksanakan fardhu kifayah lebih afdhol daripada (orang yang melaksanakan yang) fardhu ‘ain, karena jika orang yang mengerjakan fardhu ‘ain ini meninggalkan amalan tersebut maka yang mendapat dosa hanya dirinya, dan seandainya dia menlaksanakannya maka gugurnya kewajiban hanya terkhusus pada dirinya. Adapun (orang yang melaksanakan yang) fardhu kifayah, jika dia meninggalkannya maka semuanya akan berdosa, dam jika dia melaksanakannya maka akan gugur dosa dari seluruhnya, maka pelakunya (fardhu kifayah) berusaha untuk menjaga umat dari dosa. Dan tidak ada keraguan akan lebih utamanya orang yang menempati tempatnya kaum muslimin seluruhnya dalam menegakkan suatu perkara penting dari perkara-perkara penting dalam agama, wallahu A’lam”. Lihat Tanbihul Ghofilin hal. 17-18.
2. Walaupun hukum asal dari amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah fardhu kifayah, akan tetapi dia bisa menjadi fardhu ‘ain dalam beberapa keadaan, yaitu:
a. Bagi al-muhtasib. Muhtasib adalah suatu lembaga khusus yang dibentuk atau ditinjuk oleh pemerintah yang syah untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar di suatu negara.
Imam Al-Mawardy berkata dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah hal. 391, “Sesungguhnya, kewajibannya adalah ‘ain bagi al-muhtasib ...”.
b. Bersendirian dalam memiliki suatu ilmu.
Imam An-Nawawy berkata, “Sesungguhnya amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah fardhu kifayah, akan tetapi terkadang dia bisa menjadi fardhu ‘ain jika dia berada pada suatu perkara (6) yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia”. Lihat Syarh Muslim (2/23)
c. Terkhususnya kemampuan atas orang-orang tertentu.
Imam An-Nawawi -rahimahullah- menyatakan, “Amar ma’ruf dan nahi mungkar terkadang bisa menjadi fardhu ‘ain jika dia berada pada suatu perkara yang tidak ada yang mampu untuk mengangkatnya kecuali dia, misalnya seseorang yang melihat istrinya atau anaknya atau budaknya berbuat kemungkaran atau menyepelekan kebaikan”.(7)
d. Ketika keadaan berubah.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz -rahimahullah- berkata, “... Maka ketika berkurangnya da’i dan bertambah banyaknya kemungkaran, dan ketika kebodohan (terhadap agama) mendominasi -seperti keadaan kita di zaman ini-, maka berdakwah (hukumnya) adalah fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya”.(8)

Sebagaimana kewajiban-kewajiban syari’at yang lain, jika dia ditinggalkan maka akan mengakibatkan banyak kejelekan dan kerusakan. Demikian halnya dengan kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar, kapan ditinggalkan padahal dia mampu untuk melaksanakannya, maka akan timbul kejelekan dan kerusakan yang banyak. Berikut di antaranya:
1. Orang yang Meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar padahal dia mampu adalah orang yang telah berbuat maksiat, walaupun dia sendiri tidak mengerjakan kemungkaran tersebut, karena meninggalkan maksiat dan melarang dari yang mungkar keduanya merupakan kewajiban dalam agama yang jika ditinggalkan salah satunya maka berarti dia telah berbuat maksiat kepada Tuhannya.
2. Diam dari kemungkaran menunjukkan akan penyepelean dia terhadap maksiat dan menganggap enteng perintah-perintah dan larangan-larangan Allah.
3. Orang yang Meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar telah kehilangan kecemburuan terhadap larangan-larangan Allah, dan ini merupakan tanda yang besar akan kurangnya pengagungan dia terhadap Allah -Ta’ala-.
4. Diam dari kemungkaran mendorong para pelaku maksiat dan kefasikan untuk memperbanyak maksiat dan kefasikan mereka, hal ini dikarenakan tidak ada seorangpun yang mencegah atau minimal menasehati mereka sehingga mereka (para pelaku maksiat) bertambah keberanian dan kekuatannya, dan sebaliknya keberanian dan kekuatan ahlil iman akan melemah.
5. Meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar akan menyebabkan sirnanya imu dan merebaknya kebodohan tentang agama. Karena maksiat, jika dia dilakukan terus-menerus oleh banyak manusia tanpa adanya pengingkaran dari orang-orang yang berilmu, maka orang yang bodoh akan menyangkan bahwa perbuatan tersebut bukanlah maksiat bahkan terkadang dia menganggapnya sebagai suatu ibadah yang baik. Dan kerusakan apakah yang lebih besar daripada meyakini halalnya apa yang Allah haramkan, atau memandang benar suatu kebatilan?!
6. Sesungguhnya mendiamkan kemungkaran ketika para pelaku maksiat melakukan kemaksiatan secara terang-terangan merupakan persetujuan, izin, serta seruan untuk mencontoh dan mengikuti pelaku maksiat tersebut.
Karena banyaknya kerusakan yang ditimbulkan dari mendiamkan kemungkaran, maka wajar jika mendiamkan kemungkaran -padahal dia mampu untuk mencegah atau menghilangkannya- mengharuskan adanya siksaan hissiah (yang dirasakan oleh panca indera) atau ma’nawiyah. Dan sebesar-besar siksaan yang menimpa manusia adalah siksaan ma’nawiyah berupa matinya hati sehingga dia tidak mengetahuinya baiknya kebaikan dan mungkarnya kemungkaran, tidak membenarkan kebenaran dan tidak menyalahkan kebatilan, tidak bisa membedakan antara yang baik dengan yang jelek. Adapun siksaan hissiyah berupa (kebinasaan) pada harta, jiwa, dan anak-anak, atau dengan dikuasakannya musuh atas mereka.
[Lihat Al-Qaulul Bayyinul Azhhar hal. 118-119]

D. Syarat-Syarat Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Perlu diketahui bahwasanya hukum wajib yang telah dijelaskan di atas, nantilah berlaku jika telah terpenuhi syarat-syarat terlaksananya amar ma’ruf dan nahi mungkar. Imam Ibnun Nuhhas -rahimahullah- berkata dalam Tanbihul Ghofilin hal. 33, “Disyaratkan akan wajibnya amar ma’ruf dan nahi mungkar 3 syarat: Islam, mukallaf, dan mempu”. Berikut uraiannya :
1. Islam. Karena tujuan amar amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah untuk menegakkan syari’at Allah dan untuk menyuruh manusia melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan hal ini tidak boleh dikerjakan oleh seorangpun kecuali oleh seorang yang muslim.
2. Mukallaf, dalam artian memiliki akal dan telah balig. Akan tetapi jika ada anak kecil yang mengingkari kemungkaran, maka hal itu diperbolahkan dan tidak boleh ada seorangpun yang melarangnya, karena hal itu adalah ibadah dan dia berhak untuk melakukannya walaupun belum wajib atasnya. Demikian pula wajib atas budak dan wanita jika memiliki kemampuan.
3. Mampu. Ini merupakan syarat wajib untuk seluruh ibadah, karena Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah menegaskan di dalam firman-Nya:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a), [“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”]”. (QS. Al-Baqarah : 286)
Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata menafsirkan ayat di atas, “Yaitu tidak ada seorangpun yang dibebani melebihi kemampuannya, dan ini adalah dari kelembutan (Allah) -Ta’ala- kepada para makhluk-Nya, kasih sayang-Nya kepada mereka, dan kebaikan-Nya kepada mereka”.(9)
Bagi orang yang tidak bisa membela dirinya jika ditimpakan kepadanya mudarat, apakah karena tubuhnya yang lemah atau karena tidak memiliki kekuatan atau karena yang lainnya, maka di sini ada beberapa keadaan:
a. Dia yakin (10) bahwa ucapannya tidak bermanfaat dan dia akan dipukul jika berbicara (11), maka yang seperti ini tidak wajib atasnya amar ma’ruf dan nahi mungkar.
b. Dia yakin bahwa kemungkaran tersebut akan sirna dengan sebab ucapan atau amalannya dan tidak akan mengantarkan dia kepada perkara yang dibenci (12), maka yang seperti ini wajib atasnya amar ma’ruf dan nahi mungkar.
c. Dia yakin pengingkarannya tidak akan bermanfaat, hanya saja dia takut perkara yang dia benci -misalnya dipukul atau yang lainnya-, maka yang seperti ini tidak wajib atasnya amar ma’ruf dan nahi mungkar, akan tetapi disunnahkan baginya amar ma’ruf dan nahi mungkar untuk menampakkan syi’ar-syi’ar Islam dan untuk mengingatkan manusia terhadap perkara-perkara agama.
d. Dia yakin akan tertimpa perkara yang dia benci, akan tetapi dia juga yakin bahwa kemungkaran tersebut akan sirna jika dia mengingkarinya. Misalnya ada seseorang yang sanggup melempar dan memecahkan gentong tempat khamar milik seseorang yang fasik, dan dia yakin bahwa orang fasik tersebut akan mendatanginya dan memukulnya, maka yang seperti ini tidak wajib atasnya amar ma’ruf dan nahi mungkar dan tidak juga diharamkan atasnya, akan tetapi disunnahkan baginya untuk melaksanakannya.

Catatan:
Bukan tergolong tidak mampu jika dia tidak menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar hanya dikarenakan oleh perasaan sungkan kepada orang yang akan diingkari, bahkan ini termasuk ke dalam larangan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebagaimana dalam sabda beliau:
أَلآ لاَ يَمْنَعَنَّ رَجُلاً هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ
“Ketahuilah, jangan sekali-kali seseorang terhalangi untuk mengucapkan yang benar -jika dia mengetahuinya- hanya dikarenakan dia sungkan kepada manusia (yang lain)”. (HR. Ibnu Majah dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudry dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih Sunan Ibni Majah (2/368/4007)).

Ketiga perkara di atas disyaratkan ada pada diri orang yang mau melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Adapun perbuatan yang akan diingkari, maka disyaratkan padanya empat syarat, yaitu:
4. Dia jelas merupakan kemungkaran dalam syari’at berdasarkan nash Al-Qur`an atau hadits atau ijma’, baik kemungkarannya besar maupun kecil, baik kemungkaran tersebut dilakukan oleh mukallaf atau bukan. Maka wajib mengingkari anak kecil atau orang gila yang berbuat kemungkaran.
5. Kemungkaran tersebut ada. Dalam hal ini ada tiga keadaan:
a. Dia (pelaku maksiat tersebut) belum melakukan kemungkaran akan tetapi dia (pelaku kemungkaran) sudah memiliki tekad yang kuat (arab: hamma) untuk melakukannya, ini diketahui dengan adanya pendahuluan-pendahuluan atau tanda-tanda atau isyarat-isyarat yang kuat menunjukkan akan terjadinya maksiat tersebut. Misalnya ada seorang lelaki yang tiap hari berdiri di depan pintu gerbang sekolah wanita untuk bisa melihat salah seorang di antara mereka atau dia (orang yang melakukan nahi mungkar) tidak sengaja mendengarkan percakapan telepon antara seorang lelaki dan wanita yang bukan mahramnya dengan suara yang mesra dan mereka (lelaki dan wanita itu) membuat janji untuk bertemu. Maka pada kedua keadaan ini dan yang semisal dengannya, yang wajib atas orang yang akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar hanyalah menasehati dan mengingatkan lelaki tersebut serta mentarhibnya dengan ancaman-ancaman Allah -’Azza wa Jalla-, akan tetapi dengan cara yang lemah lembut dan penuh kasih sayang, tidak dengan tangan (pemukulan) atau meninggikan suara (membentak) atau menyebarkannya kepada orang lain.
b. Dia sedang mengerjakan kemungkaran tersebut, misalnya ada seseorang yang duduk dan didepannya ada cerek berisi khamar yang dia sedang minum darinya, atau seseorang (lelaki) yang memasukkan wanita yang bukan mahramnya ke dalam rumahnya lalu menutup pintunya. Maka dalam keadaan seperti ini dan yang semisalnya, wajib bagi atas orang yang akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar untuk mencegah dan melarangnya sesegera mungkin dengan cara apapun juga jika dia mampu melakukannya. Al-Qhodhy ‘Iyadh -sebagaimana dalam Syarh Muslim karya An-Nawawy (2/25)- menyatakan, “Wajib atas setiap orang yang akan mengubah (kemungkaran) untuk mengubahnya (kemungkaran itu) dengan semua cara yang dia mampu, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Maka dia mematahkan alat-alat kebatilan, mengalirkan sendiri minuman-minuman yang memabukkan (13) atau dia menyuruh orang lain melakukannya, dan dia mencabut (baca: mengambil) tanah yang dirampas dan mengembalikannya kepada pemiliknya”.
c. Dia sudah selesai melakukan kemungkaran dan tidak ada yang terlihat kecuali bekas-bekasnya. Misalnya ada seseorang yang sudah selesai minum khamar dan nampak bahwa dia sedang mabuk atau ada seorang lelaki yang diketahui bujangan, tiba-tiba keluar dari rumahnya seorang wanita yang bukan mahramnya. Maka dalam keadaan seperti ini dan yang semisalnya, yang wajib bagi atas orang yang akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar hanyalah menasehati dan memperingatkannya agar dia tidak mengulanginya di masa yang akan datang. Adapun untuk menghukum atau menegakkan hadd terhadapnya, maka ini adalah urusan pemerintah atau lembaga yang diwakilkan oleh pemerintah. Oleh karena itulah tidak ada seorangpun yang boleh mengingkarinya dengan tangan, akan tetapi dia melaporkannya kepada pihak yang berwenang agar menghukumnya.
Al-‘Allamah Ibnu Nujaim berkata dalam Al-Bahrur Ro`iq (5/42), “Adapun setelah selesainya -yakni suatu maksiat- maka tidak ada (yang mempunyai urusan) dalam hal itu kecuali hakim (pemerintah)”.
6. Kemungkaran tersebut nampak dengan jelas dan terang-terangan, bukan perbuatan yang diketahui kemungkarannya dengan cara mengintip, mengawasi, atau memata-matai. Karenanya, siapa saja yang menyembunyikan kemungkarannya di dalam rumahnya maka tidak boleh ada seorangpun yang berhak untuk memata-matainya, sepanjang dia tidak menampakkan seseuatu dari kemungkarannya, kapan dia menampakkan sesuatu dari kemungkarannya walaupun hanya diketahui oleh segelintir orang maka wajib bagi yang melakukan nahi mungkar untuk mengingkarinya. Misalnya ada seseorang yang memainkan alat musik di dalam rumahnya, akan tetapi suaranya terdengar oleh sebagian tetangganya atau sekelompok orang yang minum khamar di dalam rumah akan tetapi suara kegiatan mereka terdengan oleh sebagian orang, maka dalam keadaan seperti ini dan yang semisalnya, wajib atas orang yang akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar untuk mengingkarinya.
7. Kemungkaran tersebut adalah perkara yang diketahui kemungkarannya secara jelas dan disepakati, bukan sesuatu yang merupakan kemungkaran menurut ijtihad. Akan tetapi kalimat ‘menurut ijtihad’ tidak boleh dipahami terlalu luas sehingga meninggalkan mengingkari suatu perbuatan yang jelas kemungkarannya hanya karena ada ulama yang berpendapat dengannya. Perlu diketahui, bahwa perselisihan di kalangan para ulama ada dua jenis:
a. Perselisihan yang sifatnya ada keluasan, yakni masing-masing pendapat berlandaskan dalil yang bisa diterima (14). Maka dalam hal ini, tidak ada seorangpun yang boleh mengingkari yang lainnya dan memaksanya untuk mengikuti pendapat yang dia pilih, yang ada hanyalah menasehati serta menjelaskan yang benar -menurut dia- agar mereka semua keluar dari perselisihan. Sebagian ulama membolehkan adanya amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam perkara ini, dengan syarat orang yang melakukannya adalah seorang yang sudah mencapai jenjang mujtahid.
b. Perselisihan yang tidak ada keluasan di dalamnya, yaitu penyelisihan yang ganjil (arab: syadz) atau penyelisihan yang batil dan tidak teranggap karena tidak dibangun di atas satupun dalil yang bisa diterima, seperti pendapat yang menyelisihi nash Al-Qur`an atau hadits yang shohih mutawatir atau hadits hohih yang masyhur atau menyelisihi ijma’ atau menyelisihi apa yang diketahui secara darurat (15) dari perkara agama. Maka penyelisihan-penyelisihan yang bentuknya seperti ini tidaklah diperhitungkan, sehingga tetap wajib untuk mengingkari semua perkara yang menyelisihi perkara-perkara di atas. Misalnya, boleh memotong jenggot jika panjangnya sudah sampai ukuran tertentu atau boleh membangun kubah di atas kuburan atau boleh melihat seluruh tubuh wanita tanpa berpakaian saat nazhor atau yang sejenisnya Semua perkara ini, walaupun ada segelintir ulama yang berpendapat dengannya, akan tetapi tetap wajib untuk diingkari dengan tegas karena pendapat-pendapat mereka tidak dibangun di atas dalil-dalil yang bisa diterima bahkan menyelisihi dalil-dalil yang jelas menunjukkan larangannya, wallahu A’lam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- menyatakan, “Adapun jika dalam suatu masalah tidak ada sunnah dan tidak pula ijma’ dan ada tempatnya berijtihad dalam masalah itu, maka orang yang mengamalkannya tidak boleh diingkari, (sama saja) apakah yang mengamalkannya adalah seorang mujtahid atau muqillid (orang yang mengikuti seorang ulama)”. Lihat Al-Adabus Syar’iyyah karya Ibnu Muflih (1/190)
[Lihat: Haqiqatul Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Mungkar karya Dr. Ahmad bin Nashir Al-‘Ammar hal. 56-75 dan 142-159 dan Al-Qaululul Bayyinul Azhhar karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rojihy hal. 32-34]

E. Ancaman atas Orang yang Perbuatannya Menyelisihi Ucapannya
Yang wajib bagi setiap muslim yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah mengikuti kebenaran yang dia perintahkan dan menjauhi larangan yang dia larang. Dan telah datang nash-nash ancaman yang sangat pedih dan cercaan yang menghinakan atas orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar lantas perbuatan dan tindak-tanduknya menyelisihi apa yang dia ucapkan. Berikut di antaranya:
1. Surah Al-Baqarah ayat 44:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kalian melupakan diri-diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?”.
2. Surah Ash-Shoff ayat 2 dan 3:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tiada kalian kerjakan”.
3. Dan dalam surah Hud ayat 88, Allah -Ta’ala- menghikayatkan ucapan Syu’aib -’alaihis salam-:
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan”.
4. Hadits Usamah bin Zaid -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’:
يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلَانُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
“Akan didatangkan seorang lelaki pada Hari Kiamat lalu dia akan dilemparkan ke dalam neraka, maka keluarlah usus-usus perutnya kemudian dia mengelilinginya seperti keledai mengelilingi penggilingan. Maka penduduk nerakapun berkumpul di sekitarnya lalu mereka berkata, “Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankan dulunya (di dunia) kamu memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar?”, maka dia menjawab, “Betul, dulu saya memerintahkan kepada yang ma’ruf tapi saya sendiri tidak mengerjakannya dan saya melarang dari yang mungkar tapi saya sendiri yang melanggarnya””. (HR. Bukhary dan Muslim)
5. Hadits Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’:
أُتِيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ تَقْرُضُ شَفَاهَهُمْ بَمَقَارِيْضَ مِنْ نَارٍ, كُلَّمَا قُرِضَتْ وَفَّتْ. فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيْلُ مَنْ هَؤُلاَءِ؟ قَالَ: خُطَبَاءُ أُمَّتِكَ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ وَيَقْرَءُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَلاَ يَعْمَلُوْنَ بِهِ. ‌
“Pada malam saya Isra`, saya didatangkan kepada sebuah kaum yang menggunting bibir-bibir mereka sendiri dengan gunting-gunting dari api neraka, setiap kali bibirnya (selesai) digunting maka akan kembali (seperti semula). Maka saya bertanya, “Wahai Jibril, siapa mereka?”, dia menjawab, “(Mereka adalah) para khathib (tukang ceramah) dari ummatmu yang mereka ini mengatakan sesuatu yang mereka sendiri tidak mengerjakannya dan mereka membaca kitab Allah tapi mereka tidak beramal dengannya”. (HR. Ahmad dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 129)
Dan sungguh benar ucapan seorang penya`ir tatkala dia menyatakan:
لاَ تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَتَأْتِيَ مَثْلَهُ عَارٌ عَلَيْكَ إِذَا فَعَلْتَ عَظِيْمُ
“Janganlah engkau melarang dari suatu akhlak sedang engkau sendiri melakukannya, suatu aib yang besar jika engkau melakukan hal tersebut”.
Dan yang lainnya berkata:
وَغَيْرُ تَقِيٍّ يَأْمُرُ النَّاسَ بِالتُّقَى طَبِيْبُ يُدَاوِي النَّاسَ وَهُوَ مَرِيْضُ
“Seorang yang tidak bertaqwa memerintahkan manusia untuk bertakwa, seorang dikter mengobati manusia sedang dia sendiri sedang sakit”.
Dan juga perkataan yang lainnya:
فَإِنَّكَ إِذْ مَا تَأْتِ مَا أَنْتَ آمِرُ بِهِ تَلْقَ مَنْ إِيَّاهُ تَأْمُرُ آتِيًا
“Maka jika engkau tidak mengerjakan apa yang kamu sendiri perintahkan, niscaya kamu akan menjumpai orang yang dulu kamu perintah akan mendatangimu (untuk mencelamu)”.

Catatan:
Semua dalil-dalil di atas tidaklah menunjukkan bahwa pelaku maksiat tidak boleh atau tidak wajib menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dan tidak juga menunjukkan bahwa jika seseorang belum sanggup melaksanakan suatu perintah dan masih mengerjakan maksiat tertentu, maka tidak boleh atau tidak wajib baginya untuk memerintahkan kewajiban tersebut kepada orang lain serta tidak boleh atau tidak wajib baginya melarang orang lain dari maksiat tersebut. Tapi yang wajib baginya adalah tetap menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar sambil menjaga dirinya agar tidak terjatuh ke dalam suatu maksiat atau meninggalkan suatu larangan, dan kapan dia melanggarnya apa yang dia sendiri telah ucapkan -karena menyepelekan hal tersebut- maka ancaman-ancaman dalam dalil-dalil di atas berlaku untuknya.
Imam Al-Qurthuby berkata dalam Tafsirnya (6/253-254), “Ibnu Athiyyah berkata, [“Para ulama terkemukan mengarakan, [“Bukan termasuk syarat (wajib) bagi orang yang melarang (kemungkaran) adalah orangnya (yang melarang tersebut-pent.) harus selamat dari maksiat, bahkan (wajib) bagi para pelaku maksiat untuk saling larang-melarang di antara mereka”]”]”.
Imam An-Nawawy berkata dalam Syarh Shohih Muslim (2/23), “Tidak disyaratkan bagi orang yang memerintahkan (kebaikan) dan melarang (kemungkaran) harus sempurna keadaannya, (dalam artian) dia mengamalkan apa yang dia sendiri perintahkan dan menjauhi apa yang dia sendiri larang. Bahkan wajib baginya untuk memerintahkan (kebaikan) walaupun dia sendiri tidak mengamalkan apa yang dia perntahkan serta (wajib baginya untuk) melarang walaupun dia sendiri melakukan apa yang dia larang. Karena sesungguhnya yang baginya adalah dua perkara: (1)Memerintahkan dan melarang dirinya dan (2) memerintahkan dan melarang orang lain. Maka jika dia meninggalkan salah satunya, bagaimana mungkin dia dibolehkan untuk meninggalkan yang lainnya?!”.
Ini merupakan pendapat hampir seluruh ulama dan inilah yang kuat dari dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Oleh karena itulah Imam Malik dan Imam Sa’id bin Jubair pernah berkata, “Sekiranya seseorang itu tidak menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar sampai tidak ada padanya sesuatu apapun (berupa maksiat-pent.)(16), niscaya tidak akan ada seorangpun yang menegakkan amar ma’ruf dan (tidak akan ada seorang pun yang menegakkan) nahi mungkar”.( Jami’ li Ahkamil Qur`an (1/367-368).)
Dan Al-Hasan Al-Bashry pernah berkata kepada Muthorrif ibnu ‘Abdillah, “Berilah peringatan kepada temnan-temanmu”, maka dia menjawab, “Saya takut jikalau saya mengatakan kepada mereka sesuatu yang tidak saya amalkan”, maka beliau menjawab, “Semoga Allah merahmatimu, siapakah di antara kita yang telah mengamalkan apa yang dia telah ucapkan?!, setan berharap dia bisa menang dengan (tipuan semacam) ini, sehingga tidak akan ada seorangpun yang akan memerintahkan kebaikan dan (tidak akan ada seorangpun) yang akan melarang kemungkaran”.( Jami’ li Ahkamil Qur`an (1/367))
__________
(1) Mereka adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah dalam ayat sebelumnya:
وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kalian menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka (orang-orang yang melarang) menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa”. (QS. Al-A’raf : 164)
(2) Yakni mereka (golongan ketiga) tidak mengingkari golongan yang binasa karena sudah ada orang yang mengingkari mereka, dan ini membuat kewajiban mereka gugur.
(3) Adhwa`ul Bayan (2/171).
(4) Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar hal. 30 karya Ibnu Taimiyah, tahqiq Abu Abdillah ibnu Ruslan.
(5) Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (4/47)
(6) Yakni perkara yang akan diperintahkan atau dilarang.
(7) Syarh Muslim (2/23)
(8) Ad-Da’wah Ilallahi wa Akhlaqud Du’at hal. 16
(9) Tafsirul Qur`anil ‘Azhim (1/342)
(10) Atau minimal dugaan besarnya.
(11) Yakni dia yakni bahwa kalaupun dia menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar maka mereka tetap dalam kemungkaran mereka dan tidak mengindahkan ucapannya, bahkan mereka akan memukulnya.
(12) Seperti dipukul atau yang lebih parah dari itu.
(13) Maksudnya dia sendiri yang memecahkan tempat penyimpanan minuman-minuman keras.
(14) Yakni Al-Qur`an, hadits yang shohih, ijma’, dan kias yang jelas. Kebanyakan perselisihan fiqhiyah sifatnya seperti ini, misalnya: masalah menggerak-gerakkan jari saat tasyahhud, bersedekap saat i’tidal, mengepalkan tangan ketika mau berdiri dalam sholat, dan yang semisal dengannya.
(15) Yakni perkara yang keharamannya diketahui tanpa harus mempelajarinya, misalnya: membunuh, mencuri, berzina, riba, minum khamar, dan yang semisalnya.
(16) Maksudnya, orang tersebut tidak menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan dalih dirinya belum sanggup mengamalkan apa yang dia akan ucapkan.